Jumat, 28 April 2017

Falsafah di Balik Pa Cerek & Nga Lelet

Aksara Jawa ialah tata tulis yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Dalam riwayatnya yang panjang, aksara Jawa juga pernah digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu, Sunda, Madura, Sasak, dan Tionghoa. Perkembangan aksara Jawa dalam bentuk penerbitan karya tulis buku dan semacamnya harus terhenti dengan pilunya pada zaman penjajahan Jepang. Hal ini cukup berbeda dengan Belanda yang cenderung memberikan prasarana untuk perkembangan kebudayaan bumiputra.
Jika dibandingkan dengan aksara Latin Indonesia yang sedang Anda baca sekarang ini, aksara Jawa tergolong lebih rumit. Selain disebabkan bentuk huruf-hurufnya yang mirip-mirip satu sama lain sehingga proses dekode menjadi lebih sukar, aksara Jawa punya kerumitan lain. Aksara Jawa memiliki aturan-aturan pelik yang memiliki pengecualian-pengecualian yang istimewa pada pertemuan-pertemuan tertentu. Salah dua pengecualian itu adalah Pa Cerek dan Nga Lelet.


Sebelum membahas mengenai dua hal istimewa ini, alangkah baiknya sekilas kita mengenal tata tulis aksara Jawa. Aksara Jawa berbeda dengan aksara Latin. Aksara Jawa terkelompok dalam golongan tata tulis abugida, masih sekeluarga besar dengan aksara-aksara India dan aksara Thai; dan bahkan bisa dikatakan masih sesaudara jauh dengan aksara Hangul asal semenanjung Korea. Aksara abugida memiliki ciri-ciri kesukukataan alias silabis, yakni satu huruf terdiri dari satu suku kata. Suku kata terdiri dari bunyi konsonan dan bunyi vokal. Misalkan untuk menuliskan kata Ja-wa dalam aksara Jawa hanya membutuhkan dua huruf, sementara membutuhkan empat huruf pada aksara Latin. Untuk menciptakan bunyi hidup yang berbeda-beda, umumnya dilakukan dengan menambah tanda tertentu pada huruf, mirip seperti huruf Arab pada Alquran. Lihat contoh untuk menuliskan kalimat, "kang koki ke kakek Kukuh" seperti di bawah ini. Huruf ka ditambah dengan harakat tertentu sehingga memiliki bunyi yang diinginkan.


Pa Cerek dan Nga Lelet adalah simpangan yang diterima secara umum sebagai salah satu kaidah pakem dalam ortografi aksara Jawa. Pa Cerek dan Nga Lelet adalah aksara ganten yang berperan mengganti kasus pertemuan aksara dan sandhangan tertentu. Pa Cerek adalah aksara pengganti untuk bunyi re seperti pada kata bahasa Indonesia "karena" atau "remaja." Kalau biasanya, untuk menuliskan suku kata dengan konsonan ra hanya tinggal menambahkan sandhangan swara sehingga berbunyi ra ri ru re atau ro. Namun khusus suku kata dengan huruf ra plus pepet (sandhangan pembentuk suara /ə/), hurufnya berganti menjadi huruf Pa Cerek. Pa Cerek memiliki pasangan yang juga serupa dengan pasangan huruf pa pada umumnya, tetapi dibubuhi jumbai pada bagian bawahnya.



Sementara itu Nga Lelet berkenaan dengan huruf la. Nga Lelet adalah huruf khusus untuk menggantikan aksara la yang bertemu dengan sandhangan swara pepet, contohnya jika dalam bahasa Indonesia adalah bunyi le pada kata "lelaki" atau "lebur." Aksara pengganti untuk ini adalah huruf nga dengan pasangan na. Namun kedua gabungan itu tidak dibaca sebagaimana huruf nga dan pasangan na bertemu, melainkan dibaca sebagai le. Berbeda dengan Pa Cerek, Nga Lelet tidak mempunyai ragam pasangan sehingga hanya dapat terjadi apabila suku kata sebelumnya adalah suku kata terbuka/tidak berakhir dengan konsonan.

Contoh di bawah ini menjelaskan bentuk asli dan bentuk pasangan dari huruf Pa Cerek. Sedangkan untuk huruf Nga Lelet hanya memiliki bentuk asli saja, tanpa bentuk pasangan yang khusus. Contoh pertama Pa Cerek bertuliskan "arep adang" dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "akan menanak," dan contoh kedua berbunyi "mangan rempela" yang artinya "makan ampela." Untuk contoh Nga Lelet bertuliskan "masku lemu" yang artinya "abangku gendut," dan yang kedua berbunyi "adol lemah" yang berarti "menjual tanah."


Dari wawancara dengan bapak Wijotohardjo, pengawai bagian redaksi majalah mingguan bahasa Jawa Panjebar Semangat, Pa Cerek dan Nga Lelet mengandung makna falsafi kehidupan orang Jawa. Beliau menuturkan pada sebuah intermeso, bahwa Pa Cerek harus menggantikan huruf ra ketika bertemu dengan pepet sebab ra itu mewakili rasa. Rasa tidak boleh ditutupi, melainkan harus diungkapkan. Rasa yang ditutupi hanya terjadi apabila nyawa tidak dikandung badan. Rasa dalam hal inipenulis tafsirkantidak hanya mengenai emosi dan penginderaan saja, melainkan meliputi pendapat, hati dan sikap batin yang terjadi dari dalam diri. Rasa apabila sudah ditutup, maka hidup juga ditutup. Selama masih memiliki hidup, maka rasa harus terus berlanjut. Itulah mengapa baik didahului akhiran suku kata vokal atau konsonan, Pa Cerek harus terus ada.

Hal berbeda terjadi untuk Nga Lelet. La dengan pepet mewakili kata lawang. Lawang atau dalam bahasa Indonesia pintu, adakalanya harus ditutup dan adakalanya harus dibuka. Pintu di sini dapat kita tafsirkan tidak hanya sebagai celah tempat keluar masuk dari dan ke dalam suatu ruangan, melainkan juga dapat ditafsirkan keterbukaan diri, ada saatnya bersikap terbuka dan ada saatnya menahan diri. Itulah mengapa huruf Nga Lelet tidak perlu digunakan jika suku kata sebelumnya ditutup dengan konsonan. Pada kasus tersebut, Nga Lelet berganti lagi menjadi bentuk asalnya yaitu pasangan huruf la dan sandhangan swara pepet. Untuk lengkapnya lihat contoh sebelumnya.

Pa Cerek dan Nga Lelet adalah dua contoh sederhana dari falsafah hidup orang jawa yang dimaknai dari aksara Jawa dan kaidahnya. Tentu selain yang dua itu, terdapat banyak sekali pelajar hidup orang Jawa lainnya yang dapat kita hayati bahkan hanya dari sebentuk aksara.

_____________________________________________

Wawancara dilakukan dengan bapak Wijotohardjo selaku staf redaktur pada tanggal 13 April 2017 di kantor Panjebar Semangat, Bubutan, Surabaya. Beliau adalah pegawai terlama di Panjebar Semangat yang masih giat bekerja hingga sekarang.

Dalam artikel ini, ditampilkan aksara Jawa dengan fontasi Nawatura karya Aditya Bayu. Dapat disaksikan di https://www.behance.net/gallery/45981265/Javanese-font-Nawatura

Senin, 21 November 2016

Mengenal Tegal Melalui Huruf

Ilham dalam berkarya bisa datang dari mana saja, mulai dari yang paling jauh hingga yang paling dekat dengan kehidupan kita. Hariyanto, salah seorang pengusaha percetakan dan grafikawan asal Adiwerna, Tegal, Jawa Tengah, tergerak untuk menciptakan rupa-rupa fontasi dengan mengambil ilham dari kampung halaman tercinta.

Nama Kabupaten Tegal mungkin termasyhur karena dua hal, yakni wartegnya [warung Tegal] yang menyediakan makanan-makanan berat mengenyangkan dengan harga nisbi terjangkau dan juga bahasa Banyumasannya atau bahasa Ngapak, yang dituturkan dalam logat yang sangat kental dan khas. Akan tetapi, itu bahkan tidak merangkum sedikit dari gagasan tentang apa sesungguhnya Tegal. Oleh karenanya, Hariyanto tergugah untuk memperkenalkan Tegal kepada khalayak, supaya kita semua tahu bahwa Tegal bukan melulu tentang warteg dan ngapak.

Langkah yang diambil Hariyanto tergolong istimewa. Ia menciptakan pelbagai desain huruf dengan mengambil ilham dari bab-bab sederhana yang bisa ditemukan sehari-hari di Kabupaten Tegal. Desain huruf perdananya bernama Huaci. Fontasi pampangan ini terilhami dari salah satu penganan khas Kabupaten Tegal, yakni tahu aci. Bentuk tahu aci berlaku sebagai pengganti kait-kait pada ujung-ujung huruf yang dirancangnya.

Tahapan perancangan desain huruf Huaci, dari penghayatan bentuk, reng-rengan di atas kertas hingga fontasi.
Karya keduanya bernama Gili Tugel. Dalam bahasa Jawa Tegal, Gili berarti pertigaan dan Tugel berarti terputus. Pertigaan ini adalah salah satu pertigaan penting di Kabupaten Tegal. Konon, pada masa silam, di sanalah tempat pertarungan sengit antara Adipati Martalaya [Kadipaten Tegal] dan Adipati Martapura [Kadipaten Jepara] karena bertelingkah paham tentang kebijakan upeti kerajaan Mataram. Baca kisah lengkapnya di sini. Hariyanto merancang desain huruf Gili Tugel dengan mengganti sekujur tubuh huruf menjadi bentuk badan jalan; dengan pengandaian tiap pertemuan antarbatang huruf sebagai sebuah pertigaan, lengkap dengan markanya.


Selanjutnya ada fontasi Pagi-pagi. Fontasi ini terilhami oleh bentuk muka bangunan Pasar Pagi Tegal yang menyerupai bidak catur. Bangunan Pasar Pagi Tegal ini merupakan bangunan bersejarah. Bangunan ini dahulunya adalah benteng Kaloran bekas kerajaan Mataram pada zaman penjajahan kompeni. Akan tetapi, bangunan ini kini sudah mengalami banyak perombakan yang menjadikannya tidak lagi tampak seperti bentuk semula.

Fontasi Pagi-pagi, yang terilhami dari arsitektur muka bangunan Pasar Pagi Tegal
Masih mengambil ilham dari sejenis bangunan, Hariyanto berhasil mengubah dengan uletnya tugu Poci menjadi sebentuk desain huruf yang apik. Tugu Poci adalah tetenger yang akan Anda lihat ketika memasuki kota Slawi, tepatnya di depan Masjid Agung Slawi dan di depan monumen Gerakan Banteng Nasional. Tetenger yang majelis ini dibangun dengan penajaan dari pabrik teh dengan nama yang sama. Tugu Poci yang kentara dan terpampang jelas di pinggir jalan ini membuat siapa pun yang bertamu ke Slawi seakan-akan disambut keramahan suguhan teh hangat yang bersahabat. Kabarnya, dahulu kala pernah ada perseteruan yang kemudian menemukan islah berkat duduk bareng berbincang dari hati ke hati sambil meminum teh dari sebuah poci. Tak ayal, rasam minum teh dengan poci terasa sangat bermakna bagi masyarakat Slawi. Karya Hariyanto yang terinspirasi tugu Poci ini diberi nama Slawi Ayu.


Beberapa fontasi lainnya ciptaan Hariyanto, di antaranya adalah Rejeka [bergaya tulisan tangan], Soto Tegal [terilhami oleh soto khas Tegal], dan Batigal [batik Tegal]. Segenap fontasi karya Hariyanto ini diterbitkan di bawah nama FonTegal [sebelumnya Tegal True Font] dan bisa dilihat selengkapnya melalui halaman Facebook ini. Dengan karya-karyanya, Hariyanto berencana menuliskan sebuah karangan buku dan memperkenalkan Tegal melalui wahana desain huruf, di samping juga memberikan sumbangsih terhadap khazanah perfontasian di Indonesia.

Catatan:
Semua gambar diperoleh dari halaman Facebook FonTegal

Selasa, 25 Oktober 2016

Yang Istimewa dari Lambang Kementerian Pekerjaan Umum

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia barangkali tidak memiliki lambang yang cukup necis, yang membuat para perancang grafis masakini bersorak wah! Padahal, kalau diamat-amati kementerian yang satu ini sesungguhnya mempunyai lambang yang istimewa, tetapi kita terlalu sering melewatkannyasecara harfiah. Lambang Kementerian Pekerjaan Umum atau yang sering disingkat PU ini dapat dengan mudah kita jumpai entah tercetak pada jembatan atau tapal kilometer di kanan-kiri jalan di sekujur Indonesia.


Departemenatau Kementerian PU [nama-nama lembaga Indonesia sering berganti dan memuskilkan; mari kita sebut Kementerian untuk selanjutnya walaupun pada waktu itu disebut departemen] tergolong sebagai pioner pada masanya. Kementerian yang sudah disemai sejak zaman penjajahan Belanda ini adalah kementerian pertama di Republik Indonesia yang memiliki lambang khusus untuk mewakili nama dan citra lembaganya. Pada bulan Agustus 1966, Kementerian Pekerjaan Umum mengadakan sayembara perancangan lambang PU yang pertama. Akan tetapi, panitia tidak mengambil dan menetapkan lambang dari para pemenang sayembara yang pertama. Panitia tersebut lantas mengadakan sayembara untuk kali kedua pada bulan September di tahun yang sama. Pada sayambara yang kedua itu, panitia akhirnya mendapatkan pemenang yang diharapkan. Karya Achmad Dzulfikar terpilih menjadi lambang Kementerian Pekerjaan Umum setelah penyesuaian-penyesuaian yang diminta. Hal ini dimantapkan dalam Kepmen PU No 150/A/KPTS/10 November 1966.



Gagasan utama dari rancangan lambang kementerian ini adalah sebentuk baling-baling. Baling-baling yang berwarna biru tua ini menandakan keadilan sosial, keteguhan hati, kesetiaan pada tugas dan ketegasan dalam bertindak. Sedangkan latar belakang kuning kunyit menandakan keagungan yang juga mengandung arti ke-Tuhanan yang Maha Esa, kedewasaan dan kemakmuran. Namun tunggu dulu, mengapa baling-baling memiliki daun-daun yang berlain-lainan ukuran? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan pokok-pokok aerodinamika? Inilah keistimewaannya.

Lambang yang diciptakan Achmad Dzulfikar hampir tepat lima dasawarsa silam ini menerapkan teori Gestalt pada rancangannya. Dibalik keberhasilannya menciptakan lambang yang sederhana tetapi mengena ini, menyelinap rangkaian huruf P.U [huruf P besar, tanda titik, dan huruf U besar] yang terbentuk dari perbedaan terang-gelap antara bidang baling-baling dan latarnya. Hal ini membuat lambang Kementerian Pekerjaan Umum sangat patut dibahas. Ini semacam cangkokan nan elok dari dua jenis lambang sekaligus: lambang-tulisan [logotipe] dan lambang-gambar [logomark] yang dirangkai menggunakan penerapan teori Gestalt. Dan rasa-rasanya hanya perancang ulung yang mampu menguasainya, terlebih pada masa-masa itu keilmuan dan pencaharian di bidang desain grafis baru dalam tahap ancang-ancang.

Meskipun bukan sarjana desain grafis, Achmad Dzulfikar yang seorang insinyur ini telah membuktikan sesuatu dalam sejarah pembikinan lambang di Indonesia. Daya ciptanya tidak dipertanyakan. Maka benar saja pada 2014 lalu, mantan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menganugrahkan penghargaan kepada Achmad Dzulfikar yang dianggap telah berjasa menciptakan lambang Kementerian PU. Lambang ini mungkin bukan lambang yang mentereng, tetapi dijamin bisa terus berlagak sepanjang masa tanpa bergaya kedaluwarsa.

Achmad Dzulfikar menerima penghargaan dari Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto

foto diambil dari http://pu.go.id