Sabtu, 26 Januari 2019

Darmawisata Tipografi di Malaysia

Malaysia telah lama masyhur akan keanekaragaman budayanya. Semenangjungnya yang panjang menjulai membuatnya menjadi persilangan dan persinggahan warga dari banyak belahan dunia sejak dahulu kala. Suku Tionghoa, India, Arab, di samping suku-suku Bumiputera, mewarnai seluruh denyut nadi kehidupan negara jiran yang begitu semarak ini. Keberagaman bisa dilihat misal dari kulinernya, mulai dari kari, Bak Kut Teh hingga nasi lemak; atau arsitekturnya, misal seperti arsitektur Melayu di Kampung Baru atau arsitektur Baba Nyonya di Melaka.

Keberagaman ini tak luput juga dalam hal tipografi. Kebudayaan masing-masing kelompok masyarakat yang mengakar kuat mendorong masing-masingnya untuk mempertahankan bahasa dan aksara mereka sendiri. Sebagai bandingannya, di Indonesia, warna-warni kebudayaan lokal cenderung memudar demi menjunjung "kebudayaan nasional" dengan bahasa Indonesianya dan aksara Latinnya. Lain hal dengan Malaysia yang berhasil merayakan keberagaman sebagaimana mestinya.

Satu sudut jalan di Kuala Lumpur saja, para pelancong akan dengan mudah menemui empat aksara hadir di jalanan mereka: aksara Tionghoa, aksara Jawi (modifikasi aksara hijaiah untuk bahasa Melayu), aksara Tamil dan aksara Latin. Masing-masingnya tampil dengan mencolok, mencoba menggait perhatian pelintas. Hal ini kiranya juga membuat kita sadar bahwa masing-masing dari kita setidaknya buta huruf untuk suatu aksara. Meskipun demikian, kita masih bisa menikmati sisi rupawi dari tipografi tersebut tanpa perlu membacanya.

Pada bulan Juli 2018 lalu, saya dan teman saya berkesempatan untuk melawat ke Malaysia dalam rangka mengikuti serangkaian lokakarya di Malaysian Global Innovation & Creativity Centre (MaGIC), Cyberjaya, Selangor. Dari lawatan itu, saya mencuri waktu untuk berkeliling dan mendokumentasikan hal-ihwal huruf di Malaysia (Cyberjaya, Putrajaya, Shah Alam, Kuala Lumpur dan Melaka), mengulik lanskap bahasanya, serta tipografi secara umum, dari yang sangat sepele hingga yang begitu menarik perhatian.


Jumatan pertama di Malaysia, di Masjid Putra, Putrajaya. Panduan arah ini ditulis dalam dua bahasa, bahasa Melayu dan Inggris, dan dua aksara, aksara Jawi dan aksara Latin; sebuah contoh kedwibahasaan (Melayu dan Inggris) dan kedwiaksaraan (digrafia; penggunaan dua aksara atau lebih untuk menuliskan satu bahasa, yakni Melayu, yang ditulis dalam aksara Jawi dan Latin).


Tanda berhenti ini sebenarnya biasa saja, hanya saja rasanya yang semacam ini saya baru pertama lihat karena di Indonesia umumnya menggunakan kata STOP yang bahasa Inggris itu. Kata stop menghemat 50% huruf daripada berhenti, sehingga huruf-hurufnya bisa tampak lebih besar dan mencolok. Malaysia mungkin menitikberatkan pada aspek identitas bahasanya daripada kepraktisannya. Itu yang bisa kita pelajari dari satu rambu lalu lintas di Cyberjaya ini.



Gambar sebelah kiri adalah contoh klasik papan tanda bahaya di Malaysia (dan juga Singapura) yang menampilkan bahasa Melayu bahaya, bahasa Inggris danger, bahasa Tionghoa 险 危, bahasa Tamil அபாயம் dan bahasa Punjabi ਖ਼ਤਰਾ. Kemancabahasaan ini sangatlah memukau. Saya jadi teringat pada salah satu plang serupa di gardu-gardu listrik zaman kolonial Surabaya, dan beberapa bagian Jawa lainnya. Gambar kanan yang diambil dari felkizavinanda.blogspot.com ini salah satu contoh klasik kemancabahasaan di Indonesia yang tampaknya tidak sintas seperti di Malaysia modern. Plang listrik ini bertuliskan bahasa Belanda levensgevaar, bahasa Melayu/Indonesia awas elestrik, dan bahasa Jawa ꦱꦶꦁꦔꦼꦩꦺꦏ꧀ꦩꦠꦶ꧉ / sing ngemék mati / yang memegang mati.


Berfoto bersama penunjuk arah berbahasa Inggris, Melayu dan Tamil di Tamarind Square, Cyberjaya. Saya percaya salah satu petunjuk sebuah penghormatan dan kesetaraan dalam keragaman budaya adalah adanya kata-kata dari bahasa tersebut yang ditampilkan di muka umum dalam ukuran yang sama besarnya dengan bahasa internasional atau bahasa nasional (tentu selama area desainnya memadai).

Tidak hanya haluan motorsikal, melainkan juga penanda konteks bahwa tulisan ini
berada di wilayah negara Malaysia.



Digrafia di Malaysia tergolong kuat dilihat dari cukup mudahnya menemui lambang-lambang perusahaan yang menggunakan dua aksara, Latin dan Jawi. Disimak dari segi fungsinya, sesungguhnya digrafia ini tergolong melewah alias mubazir, menimbang semua orang yang bisa membaca aksara Jawinya sudah pasti bisa membaca Latinnya. Akan tetapi, bukan itu memang tujuan dari digrafia. Tujuan kedwiaksaraan itu bersifat politis dan ideologis. Usaha-usaha untuk menghadirkan dan mempertahankan aksara yang mulai tergantikan oleh Latin di ruang publik adalah cara memberikan identitas pada sesuatu yang polos. Misalkan lambang Bank Rakyat hanya ditulis dalam aksara Latin, maka asosiasi dengan identitas kemelayuan, kemalaysiaan, keislaman atau bahkan kearaban akan berkurang.

Contoh penerapan kebijakan bahasa Brunei Darussalam, KFC yang ditulis
dalam dua aksara, Latin dan Jawi. Gambar diambil dari nfjowner.blogspot.com

Meskipun demikian, Akta Bahasa Kebangsaan 1963/67 seksi 9 menyatakan bahwa aksara nasional Malaysia adalah Rumi/Latin dan penggunaan Jawi sekadar diperbolehkan: menjadikan aksara Jawi sebagai alternatif saja. Hal ini agaknya berbeda dengan Brunei Darussalam yang cenderung mengambil langkah yang lebih konservatif dengan menjadikan aksara Jawi sebagai satu dari dua aksara nasional di samping aksara Latin, ditambah dengan aturan-aturan pendukung yang terperinci dalam kebijakan bahasa mereka. Kebijakan bahasa itu meliputi: memperbolehkan penggunaan dua bahasa, Inggris-Melayu; mewajibkan penggunaan dua aksara, Latin-Jawi untuk bahasa Melayu, kewajiban mencantumkan aksara Jawi di papan tanda dll. dalam ukuran yang lebih besar daripada aksara Latin, warna yang lebih jelas daripada aksara Latin dan diletakkan di atas aksara Latin, serta melarang kehadiran aksara dan bahasa selain Melayu-Jawi dalam ukuran yang lebih besar daripada setengah ukuran huruf Melayu-Jawi (Building Control [Advertisement, Billboard and Signboard] Regulation 2016). Peraturan ini membuat kehadiran aksara Jawi lebih melimpah di Brunei Darussalam daripada di Malaysia.


Penggunaan aksara hijaiah untuk bahasa Arab dan aksara Latin untuk bahasa Inggris
pada sebuah restoran/toko di Cyberjaya.
The Real Shisha Bar, dalam aksara Latin lir-Arab, di Cyberjaya.

Kemasan bumbu masak instan menampilkan bahasa Melayu dalam aksara Latin, bahasa Tamil,
bahasa Inggris dan bahasa Tionghoa.

Toko cendera mata di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur.
Restoran Khulafa di Shah Alam, dekat Bulatan Megawati. Restoran ini memiliki logo-tulisan yang sangat unik, berbentuk dari gabungan huruf Latin K dan huruf hijaiah خـ kha, melambangkan konsep kedwiaksaraan itu sendiri.



Kemasan camilan Maruku ini sangat unik, berwarna putih polos dengan desain di atasnya berwarna merah. Tata letak tipografi dan gaya ilustrasinya yang tampak jadul, ditambah dengan kehadiran bahasa Melayu Latin/Jawi, Tionghoa dan Inggris yang membikinnya tambah semarak.


Central Market beraksara Latin dengan pilihan tipografi nirkait, mengesankan hal-hal modern;
sementara aksara Tionghoanya disetel dalam gaya kaligrafi klasik yang mengesankan konservatisme budaya.





Perpaduan tipografi pada rancangan papan tanda cukup menarik untuk dibahas. Ada dua jenis contoh perpaduan tipografi di sini. Contoh pertama adalah Central Market, Kuala Lumpur dan penunjuk arah Christ Church, Melaka. Keduanya memadukan huruf nirkait (sans-serif) untuk aksara Latin dan tipografi kaligrafis untuk aksara Tionghoa, mungkin bergaya 行書 (xíngshū) dari abad ke-1 M atau 楷體 (kǎitǐ) dari abad ke-2 M. Hal ini memberikan kesan bahwa meski bahasa Inggris telah mendekap modernitas dengan meninggalkan jejak-jejak tradisi kaligrafi, bahasa Tionghoa hadir dalam konteks tersebut dalam tampilan setua hampir dua alaf yang lalu: sebuah simbol kebanggaan akan tradisi dan budaya leluhur. Kehadiran gaya kaligrafis tersebut sesungguhnya bertolak belakang dengan hakikat papan tandayang seyogianya menggunakan huruf nirkait sebagaimana kejelasan dan kecepatan informasi untuk ditangkap dalam sekejap mata adalah hal yang paling utama.

Contoh kedua adalah No Shoes Allowed dan Dilarang Merokok, yang secara tipografis dianggap kafah karena, baik tipografi Latin maupun Tionghoa, disetel dalam gaya nirkait sezaman yang mendukung fungsi dari papan tanda itu sendiri.

Sentuhan masa lalu yang begitu renyah dan gemilang dalam tipografi vernakular di Kuala Lumpur ini.
Besar, bangga dan mandiri

Desain aksara Tionghoa yang lebih kontemporer, nirkait membulat yang ramah.


If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart. Nelson Mandela


Vandalisme di jalanan dekat Petaling, Kuala Lumpur.
Kita Sudah Pindah, Melaka.
Kemultibahasaan hingga ke toilet.
Masjid Kampung Kling, Melaka, dalam aksara Latin dan Jawi yang didekorasi.
Jalan Tukang Emas, Melaka, dengan aksara Jawi di bagian atas.




Utamakan budaya sendiri: aksara Tamil tampil paling atas pada plang kuil Hindu ini.

Praying hours ... PS: No Smoking.
Plang ini mengingatkan saya akan kata-kata seorang teman, "aku percaya pada Tuhan yang multibahasa"
Sedikit cuplikan aksara Thai di Melaka.
Memperingatkan orang-orang dalam bahasa masing-masing. Fakta yang disimpulkan:
bahasa Tionghoa paling hemat tempat, disusul bahasa Inggris, Melayu dan Tamil.
這是在馬六甲下雨的信件
Jembatan Chan Koon Cheng (曾昆清橋), 1908, Melaka; di keempat sudutnya ada prasasti
dalam bahasa Tamil, Melayu, Inggris dan Tionghoa.
Sebuah tiang gedung dengan ukiran beraksara hanzi di Melaka.

Melayani segala bangsa.












Gereja Santo Paulus di Melaka adalah wisata tipografi yang baik untuk mempelajari desain dan bentuk huruf capitalis quadrata yang diukir pada banyak batu nisan Portugis abad ke-16. Di Indonesia, batu nisan serupa sepertinya bisa dilihat di Museum Wayang, Jakarta.



Perbesaran detail ukiran huruf pada batu nisan Portugis di Gereja Santo Paulus, Melaka.
Hatta demikianlah darmawisata tipografi singkat saya selama di Malaysia. Kuala Lumpur yang terik, padat dan modern. Cyberjaya, Putrajaya dan Shah Alam yang apik, tetapi seperti kurang terasa degup budayanya. Lalu Melaka~ Ah Melaka begitu memesona. Semoga akan berjumpa di lain kesempatan.

Membeli air kelapa, dicampur biji selasih.
Jika ada salah di kata, mohon maaf dan terima kasih.


Terima kasih telah memperhatikan! Terima kasih juga pada kawan-kawan yang membuat perjalanan ini menjadi mungkin dan menyenangkan: Ijad, Faisal, Eliza, kawan-kawan di MaGic, dan khususnya Farid dan Widad yang telah menemani berputar-putar di Kuala Lumpur.

Senin, 06 Agustus 2018

G. W. Ovink: Mode dalam Desain Huruf


Istilah "mode" (bahasa Inggris: Fashion), jika tidak merujuk hal ihwal busana secara umum, memiliki makna yang cenderung kurang baik. Istilah ini merujuk pada rancangan yang dangkal dan berumur pendek, yang dipikirkan secara komersil dan spekulatif untuk khalayak yang cepat berubah-ubah. Selain itu, istilah ini juga bisa merujuk pada khayalan yang ditautkan pada benda-benda utiliter yang rancangan simpel dan tahan lamanya akan lebih murah dan sangkil sehingga lebih disukai karena alasan-alasan sosial.

"Gaya", di sisi lain, adalah pertanda yang dimaknai secara baik untuk satu kesatuan prinsip-prinsip bentuk dari masa tertentu. Kesatuan ini agaknya timbul secara alami jika prinsip-prinsipnya tidak tercipta dari kehendak khalayak luas, melainkan dari pemikiran falsafi elit kebudayaan, menggunakan kemampuan sosial, ekonomi dan teknis terbaik dan termaju dari masanya. Gaya adalah gelar kehormatan yang dianugerahkan kemudian hari bagi upaya sukses dalam menciptakan hal-hal yang benar dan bernilai abadi. Mode sengaja mencari kesenangan-kesenangan baru dan biasanya berkehendak untuk mengorbankan hal-hal baik yang sudah ada untuk tujuan tersebut. Gaya berasal dari ketidaksengajaan tatkala seniman-seniman bergemelut dengan masalah-masalah mendasar dari sebuah masa dan mencari pemecahan masalahnya. Mode menggantikan satu sama lain tiap tahunnya, sementara gaya mengembangkan dirinya setidaknya sepanjang genenasi. Mode, maka dari itu, hanya menjadi riak-riak kecil di permukaan dari gelombang panjang pengembangan gaya.

Apabila mode hanya menghambur-hamburkan energi, material, dan pemalsuan terhadap nilai-nilai budayawi adiluhung, maka kita dapat nyatakan sekarang: tidak boleh ada mode dalam dunia desain huruf. Para pencetak harus membatasi diri mereka dengan segelintir desain huruf saja, yang sudah terbukti mutunya, baik untuk penggunaan paparan maupun pampangan, yang mampu menjembatani komunikasi antara penulis dan pembaca. Trennya sekarang adalah menggunakan desain huruf yang sederhana. Bahkan banyak orang yang berharap adanya penetapan satu desain huruf di seluruh dunia untuk penerapan yang universal.

Sebenarnya situasinya tidak sesederhana itu, sih. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah generasi kita mampu menciptakan kesatuan gaya sungguhan dengan keberagaman di dalamnya. Gaya-gaya besar dalam sejarah diciptakan oleh dan untuk ribuan orang; gereja dan raja menentukan selera dengan tegas. Kesenian dan desain industri hari ini adalah perkara jutaan lembaga demokratis, kesemuanya dengan perangainya sendiri, serta latar belakang sosial dan nasional sendiri. Di antara yang jutaan ini, kita akan sukar menemukan hanya satu gaya tunggal saja sebagaimana istilah ini biasanya dimaknai.

Dan bahkan kalaupun ada, apakah mode lantas dianggap bukan sebagai hasil sampingan yang tak terhindarkan dari perjuangan menuju desain kontemporer yang―jika semuanya berjalan lancar―menciptakan gaya sejati? Mode kemudian tentu tidak bisa bertahan untuk tujuannya sendiri, melainkan pantas disebut sebagai peristiwa yang membarengi secara alamiah segala kegiatan desain.

Mode terdapat dalam desain ketika menyangkut murni persoalan kebentukan, unsur perseorangan terlalu dititikberatkan. Apabila hal ini dilakukan secara sistematis, maka hasilnya disebut mode dan apabila (misalnya, dalam kesenian bebas) hal ini dilakukan dengan daya cipta yang tidak memadai atau karena senimannya hanya mengejar tujuan pribadi, maka hasilnya disebut manerisme. 

Mungkin Anda akan keberatan mengenai hal ini bahwasanya desain huruf bukanlah masalah penciptaan artistik yang mengizinkan unsur indivisualisme, melainkan murni permasalahan desain yang utiliter, yang seharusnya suprapribadi. Saya mohon untuk membedakannya. Dalam percetakan, bentuk tipografi yang murni utiliter sukar ditemukan (maksud saya yang keseluruhan bentuknya ditentukan oleh faktor-faktor seperti kejelasan, jumlah kata dan ketercetakan). Sesuatu yang mendekati utilitas murni baru terjadi pada situasi yang darurat, seperti tipografi pada materi paparan dan iklan baris surat kabar, direktori nomor telepon dan papan tanda jalan. Di luar itu, selalu ada keterbukaan, batasan bebas di mana solusi absah yang berbeda-tetapi-setara dimugkinkan. Ada citarasa yang masuk bersamaan dengan preferensi pribadi pembaca, alhasil ada kebutuhan atas perubahan dan keberagaman.

Tatkala model huruf nirkait vintase 1928 dibuat, mereka mengiranya akan bertahan selamanya. Sekali lagi, harapan yang sama juga dirayakan untuk model huruf nirkait 1958, tetapi ujung-ujungnya juga akan terbukti bahwa mereka hanyalah kanak-kanak pada masanya. Kita tidak perlu memutuskan di sini apakah mereka hanyalah buatan mode ataukah pengusung gaya sejati. Yang menjadi penting adalah bahwasanya ketika prinsip kebentukan tunggal yang berlaku universal berusaha dicari secara serius, ketika para perancang hanya ingin menggapai sarana komunikasi tepat guna tanpa adanya dorongan artistik perseorangan, hasilnya memperlihatkan banyak keragaman. Bahkan hal ini menjadi bahan perbincangan, huruf-huruf nirkait baru yang manakah yang mulai kuno dan yang manakah yang waktunya belum tiba. Artinya: perancangnya ingin keabsahan suprapribadi; mereka menghendaki gaya; mungkin usaha-usaha mereka nantinya akan dianggap sebagai gaya, tetapi dalam prosesnya mereka juga menciptakan mode dan manerisme.

Pertanyaan perihal kebebasan dalam desain huruf―dan oleh karenanya juga pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan mode dalam produksi tipografi―ditentukan saat ini oleh situasi yang sama sekali berbeda daripada saat sebelum Perang Dunia II.

Di zaman 1930-an, tiap-tiap pencetak harus menawarkan beberapa fontasi pampangan dengan potongan terbaru (apa yang disebut orang Perancis dengan caractère de fantaisie atau dalam bahasa Inggris fancy types), setidaknya untuk komposisi tangan dan seringkali juga untuk komposisi mesin. Alhasil, setiap perusahaan huruf dan pabrik mesin komposisi harus menyediakan fontasi sejenis itu dalam programnya. Dengan pengecualian, terdapat huruf-huruf yang digambar dengan tangan secara khusus untuk garapan tertentu, lalu ditambahkan ke dalam bentuk materi tipografi seperti gravir-foto.
Perhitungan kasar memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 22 tahun di antara 1918 dan 1940 terdapat sekiranya 40 perusahaan huruf dan pabrik mesin komposisi; mereka memproduksi lebih dari ribuan rancangan asli yang tiap rancangannya membutuhkan persiapan berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun. Selama 24 tahun sejak 1945, kita tidak pernah mendekati jumlah produsen atau rancangan sebanyak itu.

Di samping komposisi logam-panas, saat ini kita memiliki fotokomposisi[1] dan reproduksi hastakarya leter yang lumayan murah dan mudah. Biaya komposisi dengan alat logam-panas ya seperti itulah, sementara alat fotokomposisi yang lebih mahal hanya menyediakan model huruf yang secara luas digunakan dan yang memiliki nilai abadi. Di sisi lain, model huruf yang jarang digunakan diedarkan dalam perlengkapan fotoleter yang murah dan sederhana atau dibeli dalam bentuk per kata dari firma-firma tertentu, atau juga digambar secara khusus untuk garapan tersendiri.

Hal tersebut menghasilkan hal yang kurang bagus. Pelaksanaan yang cermat dan disiplin diri yang selalu menjadi prasyarat dalam desain huruf pada komposisi logam-panas tidak lagi diperlukan. Mengerjakan leter untuk reproduksi fotografis menjadi begitu mudah dan cepat, dan tekniknya tidak memiliki batasan pada kebebasan artistik. Karenanya, model huruf mode terlihat lebih ganjil, tidak matang, dan tidak tertib daripada yang sebelumnya. Wilayah penggunaannya pun menyusut.

Ada satu hal lain. Model huruf mode biasanya mencerminkan tangan pribadi penggubahnya. Namun, desainer tipografis memiliki kepribadian kreatif mereka sendiri, yang sulit menerima ungkapan bawaan asing dari perancang fontasi lainnya. Ia memilih model huruf yang tawar. Jika ia menghendaki kesan yang ceria, berhias-hias, atau mencolok, maka ia akan menggunakan kekosongan ekspresi dari model huruf itu sendiri untuk kemudian ia atur dengan cara yang ceria, berhias-hias, atau mencolok.

Beberapa model huruf awalnya merupakan mode, yang kemudian jadi terlembagakan. Model-model huruf tersebut kini menjadi tuntutan utama bagi setiap pencetak. Jadi, misalnya model-model huruf pada kartu litografis dan lempengan tembaga, tulisan tangan khas Inggris, model huruf nirkait yang sempit dan yang lebar, dll. Kita tidak lagi melihatnya sebagai model huruf mode sebagaimana asal-asulnya dari abad ke-19 dan awal mula abad ke-20. Mereka telah menjadi tradisional. Hal yang sama kemungkinan dapat terjadi lagi untuk model huruf yang lebih kekinian. Dalam kasus mana pun, dampak langsung dari perkembangan ini adalah model huruf yang telah terlembagakan untuk keperluan percetakan masyarakat dan judul utama tadi mengakibatkan rancangan-rancangan yang lebih baru untuk keperluan yang sama menjadi begitu berlebih-lebihan.

Ada pun faktor keempat yang mempengaruhi merosotnya penghargaan dan penggunaan model huruf mode saat ini. Hal itu adalah dominasi sementara dari kecenderungan lebih klasik dalam berkesenian cetak. Klasikisme ini, seperti halnya semua pendahulunya dalam sejarah, mencari rancangan yang didasari aturan-aturan yang tak lekang oleh waktu. Sebagaimana mahzab ini menghormati akal budi dan kecendekiaan, tujuan huruf dianggap hanya sebatas melayani pembacaan dan pemahaman terhadap naskah-naskah rasional secara intelektual. Umumnya pendapat ini diutarakan dengan begini, bahwa huruf dimaksudkan untuk dibaca; bahwasanya huruf hanya untuk komunikasi―dan "komunikasi" dalam arti sempit adalah sebatas membuat orang-orang berakal saling berbagi gagasan.
Sebagai pengimbang dari gerakan rasionalistik ini, romantisisme memberontak dengan amuk besar melawan kesederhanaan yang necis tersebut. Ia melaksanakannya dengan menciptakan bentuk-bentuk yang beringas, yang lemah atau biasa, yang sepenuhnya tidak masuk akal, yang membuatnya tampak buruk untuk setiap mata orang "normal" dan sekali lagi mengurangi wilayah kegunaannya.

Untuk kesemua alasan ini, jumlah konsumsi model huruf mode prapabrikasi telah berkurang selama beberapa dasawarsa terakhir, baik dalam artian relatif maupun mungkinkinan juga dalam hitungan total.

Apakah hal ini berarti model huruf mode telah almarhum dan digantikan oleh satu bentuk huruf yang kekal dan absah secara universal? Tidak sedikit pun.

Sepanjang perjalanan sejarah, huruf dan leter tidak pernah digunakan untuk pembacaan belaka; tidak untuk sekarang dan tidak pula untuk masa mendatang. Huruf juga mampu menjadi sebatas tanda untuk membangkitkan gagasan dan gambar-gambar dalam kepala dan untuk mendatangkan reaksi lanjutan.

Huruf juga mampu menjadi magnet bagi mata, untuk mengarahkan perhatian pada apa-apa yang penting.

Huruf juga mampu menjadi isi-isian hiasan dalam sebuah bidang, murni bermain sekadar sebagai garis dan pola.

Pada kasus-kasus tersebut, kejelasan optimal dan kemudahan dikenali tidaklah penting; bentukan huruf-hurufnya tidak perlu sederhana, familiar, absah secara universal dan mudah diterima. Untuk tujuan-tujuan tertentu, huruf barangkali tampak tidak jelas, tidak rasional, absah hanya pada takaran tertentu; ya, huruf tersebut dapat pula tidak simpatik, jelek dan memuakkan.

Dengan demikian, kita kembali pada pertanyaan ihwal mode dalam desain huruf. Huruf tak hanya dimiliki dalam lingkungan objektif kejelasan optimal, yang didasari oleh fakta-fakta statistik. Tidak cukup para sikolog dan oftalmolog memaparkan bagaimana huruf seharusnya terlihat dan menyuruh juru gambar teknis yang dungu untuk merancang huruf berdasarkan perincian mereka. Huruf juga berada dalam lingkungan subjektif desain yang bebas untuk memberikan kesan, tetapi hal-hal seperti itu tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Oleh karenanya, bersamaan dengan desain yang bebas, akan timbul gejala-gejala dari mode yang tak terhindarkan.

Hal ini akan berbahaya ketika kekuatan emosi merasa terancam oleh rasionalisme garis keras dan oleh sebab itu menjadi begitu berlebih-lebihan dalam perlawanannya. Kita harus mengakui adanya hak bagi kekuatan emosi yang bebas dan mengizinkannya mengambil tindakan pada bidang-bidang yang tepat. Artinya: kita harus mengakui bahwa teori dan praktik mana pun tergolong salah ketika mendaku hanya bentuk huruf yang paling sederhana dan jelaslah sebagai satu-satunya kebenaran. Pemikiran rasionalisme puritan seperti itu sudah lewat―dan mungkin akan tergantikan segera oleh kekuatan irasionalisme romantik. Barangkali dalam beberapa tahun mendatang kita akan berperang melawan ketidakadilan dari emosionalitas artistik yang berkuasa, sambil membela hak-hak akal budi.

Apa dampak praktis yang dihasilkan dari konsep mode dalam desain huruf?
Praktik nyata tidak boleh dicegah oleh teori yang berlaku. Di negara-negara Barat, sebut saja kata mencolok seperti Hippies, Beatniks, Flower Childern, Provotariat, Carnaby Street, dll., telah lama menyediakan saluran untuk perasaan mereka dalam kenangan Art Nouveau dan disetel dalam kelompok huruf yang keseluruhannya tidak mudah terbaca. Terbitan-terbitan Barat untuk barang-barang mewah, juga barang-barang massal, pun tidak menghindari mode dalam desain huruf. Logika komersial kapitalisme tidak akan mau dipandu oleh teori komunikasi mana pun, kecuali penjualan tertinggi.

Akhirnya, sekolah seni dan sekolah percetakan masih mengajarkan seni leter dengan semua-mua perkakas historisnya ihwal Capitalis Quadrata, Rustik, Unsial dan Paruh-unsial, Karoling dan huruf kecil humanistik, huruf kursif Kanselir; Renaisans, Barok dan huruf Roman klasik, Masri (Egyptian), dan nirkait; di Jerman, di sana sini, masih diajarkan Tekstura, Fraktur, dan Swabaher; dari kesemuanya itu, teori seharusnya dianggap sebagai sekadar kumpulan keingintahuan. Mungkin juga hal itu hanyalah konservatisme bawaan dari semua lembaga pendidikan yang membuat mereka melestarikan kepingan-kepingan historis sebagai teladan. Agak memalukan, hal ini umumnya dibenarkan dengan mengemukakan bahwa berlatih dalam model-model tersebut akan mempertajam kesadaran akan bentuk secara umum.

Namun barangkali juga benar, biarlah jelas dahulu bahwa dalam praktiknya, ada bidang-bidang tertentu di mana seseorang masih menggunakan lebih dari sekadar Baskerville atau model huruf nirkait.

Maka, tidaklah perlu terlalu khawatir tentang dampak dari teori puritan dalam praktik nyata manakala masih tidak terlalu banyak perancang yang menciptakan bentuk bebas, dan begitu pula bentuk-bentuk mode, begitu juga dengan selera yang buruk. Mereka menciptakan huruf bersambung―huruf-huruf berhias, terbuka, berbayang; huruf dengan goresan tangan diri yang tidak biasa―dan mereka sadar sedang melakukan sesuatu yang terlarang. Hal itu menghalangi gaya mereka. Kita harus meringankan perancang-perancang malang ini dari derita jiwa.

Akan pula bermanfaat bila membantu mereka yang, takut akan teori, tidak berani membuat model hurufyang mereka ingin buat dan yang mungkin jauh lebih cocok untuk tujuan mereka  daripada model huruf nirkait yang mereka pakai sekarang.

Mengapa pula kita tidak mengizinkan sedikit taman bermain untuk bentuk langgam nasional? Ketika Perancis ingin mengembangkan model huruf Nepoleonik, Inggris dengan langgam Georgiah dan Viktoriah, Jerman dengan khazanah bentuk fraktur yang tiada habis-habisnya, maka mereka harus melakukannya tanpa didakwa dengan tuduhan nasionalisme reaksioner. Selama bentuk langgam ini digarap dalam semangat kontemporer, tidak boleh ada batasan untuk kegiatan semacam itu.

Jika pintu kebebasan dalam desain huruf telah dibuka ulang, ini tidak serta merta berarti, saya ulangi, bahwa akan ada banyak kebebasan tipografi untuk komposisi logam-panas dan untuk mesin fotokomposisi yang cepat. Hal ini, bagaimana pun, merupakan langkah besar ke depan ketika daya cipta nyata dibebaskan dari tekanan berat teori puritan.

 __________________________

Artikel ini diterjemahkan dari "Fashion in Type Design" dalam The Journal of Typographic Research Oktober 1969 hal. 371-377. Artikel tersebut ditulis berdasarkan pidato Dr. Gerrit Willem Ovink dalam kongres ke-11 Association Typographique Internationale di Praha, Cekoslowakia, pada bulan Juni 1969.


[1] adalah salah satu cara percetakan yang mana susunan tulisan difoto untuk kemudian dijadikan plat logam

Sabtu, 30 Juni 2018

Bagaimana jika Tipografi adalah Kopi?


Pernahkah terpikir di benak Anda bagaimana jika tipografi disangrai, digiling dan kemudian diseduh menjadi beberapa jenis minuman kopi? Fontasi manakah yang akan terasa seperti espreso, kapucino atau amerikano? Apakah model huruf tegas bersudut-sudut akan terasa nendang seperti espreso? Dan model huruf nirkait supertipis akan terasa begitu manis dan penuh krim? Penelitian menarik dari Sarah Hyndman memberikan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan luar biasa itu.

Sarah Hyndman ialah seorang peneliti yang berfokus pada ceruk kecil antara ilmu sikologi dan tipografi. Di bawah nama Type Tasting, ia menggalakkan dan menerbitkan penelitian-penelitian tipografi yang ditinjau dari sudut pandang sikologi, khususnya yang berkaitan dengan kepancaindraan (multisensory) dan lintasmodal (crossmodal). Khalayak awam mungkin lebih mengenalkan dengan istilah sinestesia.

Salah satu penelitiannya dalam bidang ini mengujicoba bagaimana orang-orang mengandaikan tipografi sebagai kopi. Indra yang berlintasan dalam penelitian ini adalah indra penglihatan (mata) dan indra pengecap (lidah). Peserta survei Type Tasting diminta untuk mencocokkan sampel tipografi dengan rasa beberapa jenis kopi beserta dengan karakternya yang dianggap paling mirip. Sebanyak 54 orang dari penjuru dunia turut serta dalam survei ini. Penelitian ini diterbitkan di situs Type Tasting dengan judul tulisan How Do You Take Your Coffee? Berikut hasil dari penelitian tersebut, diambil langsung dari situs yang bersangkutan:


Tampak dari penjelasan di atas, fontasi dengan model yang tebal dan membulat dianggap cocok mewakili mutu kopi kapucino; ia terasa manis, berkrim, kekanak-kanakan dan tidak serius.


Sementara itu, fontasi dengan model yang kaku, bersudut dan tegap dianggap cocok mewakili mutu kopi amerikano atau espreso yang pahit, kuat, tanpa gula atau pemanis, dan tajam. Lain halnya dengan fontasi yang miring, membulat dan sedikit memiliki gaya sentuhan tangan manusia. Fontasi ini dianggap terasa seperti frapucino, yang begitu manis, penuh krim, dan rasa yang menarik.


Menariknya, fontasi sama yang sebelumnya dalam ragam tebal (gambar kedua tengah) dianggap cocok dengan mutu amerikano, dalam ragam tipisnya (gambar ketiga tengah) menjadi cocok dengan mutu kopi flat white: espreso yang pahit dengan tambahan busa susu.

Penelitian ini sesungguhnya sangat bermanfaat khususnya bagi desainer grafis dan pekerjaan yang masih selingkung dengan itu. Mengandai-andaikan pemilihan tipografi dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan indra penglihatan bisa membantu para desainer untuk memecahkan masalah suatu produk. Pertanyaan penting seperti apakah fontasi ini akan berbau sama dengan produk wewangian yang kemasannya sedang dirancang? Atau apakah rancangan logo ini sudah mewakili rasa renyah dan manis dari biskuit yang logonya akan diciptakan? Pengalaman mancaindrawi seperti itu akan mempermudah para calon pembeli untuk menentukan pilihannya.

Jadi, sudah minum fontasi apa pagi ini?