Rabu, 13 Mei 2020

Logam Huruf Jawa I: Aksara Pribumi dan Teknologi Eropa

Ketika VOC mulai berdiri di Jawa pada abad 17 M, bahasa-bahasa yang digunakan di Nusantara hanya bisa dicetak dengan huruf Latin atau Arab, aksara Jawa belum mendapatkan perhatian khusus meski telah dipelajari untuk memperlancar komunikasi dengan para penguasa Jawa. Materi beraksara Jawa—jika diperlukan—hanya bisa dibuat dengan jasa para juru tulis dan penyalin pribumi. Ketika kajian mendalam mengenai bahasa Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada akhir abad 18 M, timbullah keinginan untuk menciptakan huruf cetak aksara Jawa agar materi sastra Jawa dapat dengan mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Berbagai tokoh pemerintahan, budayawan, dan misionaris mulai terlibat dalam upaya menciptakan teknologi cetak baru tersebut. Meskipun demikian, hanya sedikit dari tokoh-tokoh awal itu yang memiliki pemahaman mendalam mengenai aksara Jawa ataupun proses perancangan tipografis, dan sedikit pula di antara para tokoh tersebut yang saling bekerja sama dalam lingkungan yang kondusif. Dengan latar belakang semacam itu, masa pengembangan huruf cetak aksara Jawa memakan waktu sekitar 20 tahun, antara tahun 1817 sampai 1837, hingga suatu sistem cetak yang siap-pakai mulai digunakan secara luas di Jawa (Mollen 2000).

Huruf lepas (movable type) aksara Jawa paling awal bermula atas prakarsa Sekretaris Jenderal Batavia, JC Baud (1789–1859), yang mendelegasikan tugas perancangan aksara Jawa kepada Paul van Vlissingen (1797–1876). Rupa huruf Vlissingen rampung dan pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825. Pada periode waktu yang sama, misionaris Gottlob Brückner (1783-1857) juga tengah merancang rupa huruf aksara Jawa untuk Injil berbahasa Jawa yang ia garap. Dengan bantuan Baptist Missionary Society di Serampore, India, Brückner merampungi rupa huruf dan injilnya pada tahun 1829. Kedua rupa huruf tersebut, meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masanya, menerima kritik dari berbagai pakar yang menulis bahwa desain huruf yang mereka buat tidak memuaskan. Rupa huruf Vlissingen dinilai memiliki proporsi yang canggung, rupa huruf Brückner menggunakan langgam yang terlalu ‘Pesisir’[1], dan bentuk keduanya secara umum dianggap kurang bagus. Rupa huruf Vlissingen dan Brückner juga tidak memiliki sejumlah aksara yang dibutuhkan untuk menulis karya sastra klasik Jawa sehingga dianggap tidak cocok untuk mencetak berbagai sastra sebagaimana yang diharapkan oleh para pakar, walaupun cukup memadai untuk mencetak teks Jawa sehari-hari.


Dua rupa huruf aksara Jawa awal
Seiring kajian budaya dan bahasa Jawa kian berkembang, hal ihwal desain huruf aksara Jawa semakin banyak didiskusikan oleh para ahli dalam upaya untuk meningkatkan mutu cetak aksara Jawa. Pakar menimbang-nimbang apakah rupa huruf Vlissingen dan Brückner dapat disunting menjadi lebih baik atau tidak. Jika tidak, maka sebuah rupa huruf yang sepenuhnya baru akan dibuat. Tokoh seperti JFC Gericke (1798-1857) berpendapat bahwa rupa huruf baru sebaiknya dibuat dari awal dan menyarankan agar para perancang huruf cetak Jawa mencontoh tulisan tangan Surakarta yang dikagumi oleh berbagai penulis masa itu sebagai salah satu langgam aksara Jawa yang paling indah. Gericke, yang mendirikan Instituut der Javaansche Taal te Soerakarta (Lembaga Bahasa Jawa di Surakarta) pada tahun 1832, merupakan salah satu pakar bahasa Jawa yang paling terkemuka di kalangan Eropa masa itu dan sering dimintai pendapat mengenai desain aksara Jawa, meski sejumlah saran Gericke sulit diterapkan dalam lingkungan desain. Mengenai proporsi, Gericke menulis bahwa pasangan minimal memiliki tinggi tiga kali aksara dasar. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi para pencetak dan desainer karena rupa huruf semacam itu akan menghabiskan banyak bidang kertas dan membuat proses percetakan sangat mahal. Gericke juga memiliki saran spesifik untuk tidak menambahkan kontras garis tebal-tipis dalam desain aksara Jawa sebagaimana yang Brückner coba dalam typefacenya. Desain tipografis ideal Eropa masa itu selalu menyertakan kontras tebal-tipis yang kentara karena pengaruh tulisan tangan serif humanis Italia, dan tampaknya Gericke kurang setuju untuk mengikutsertakan aspek desain Latin ini ke dalam aksara Jawa.


 Bentuk aksara Jawa Surakarta yang ditulis dan dikirimkan oleh Gericke ke salah satu kontaknya untuk mengilustrasikan proporsi Surakarta yang ia anggap baik. Gambar disadur dari Molen (2000).
Pada tahun 1836, Taco Roorda (1801-1874) yang lama tinggal di Surakarta mulai menaruh perhatian pada masalah rupa huruf aksara Jawa. Roorda adalah seorang teolog, budayawan, dan guru besar Akademi Royal Delft (kini Universitas Teknologi Delft) dengan spesialisasi bahasa-bahasa Timur, termasuk bahasa Jawa. Ia bertukar surat dengan Gericke dan menjalin hubungan dengan percetakan Enschedé sebelum memulai proses perancangan rupa huruf Jawa. Pada tahun 1838, ia berhasil menyelesaikan rupa hurufnya. Roorda menggunakan dasar bentuk Surakarta yang disarankan Gericke namun dengan proporsi yang dipangkas agar dapat memuat lebih banyak karakter dalam satu halaman. Ia tetap menggunakan garis tebal-tipis mungkin karena keinginan untuk membuat teks Latin dan Jawa terlihat selaras dalam teks dwibahasa. Gericke awalnya memiliki beberapa kritik untuk rupa huruf Roorda, tetapi tampaknya ia tidak lagi bersikeras dengan pandangan awalnya dan pada akhirnya ia pun merestui penggunaan rupa huruf Roorda

Rupa huruf yang Roorda buat disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama berbagai kalangan pembaca. Dalam laporan yang ia tulis mengenai proses penggarapannya, Roorda menyebutkan beberapa faktor yang turut mempercepat proses desainnya: ia telah mengumpulkan berbagai masukan dan kritik yang telah ditulis pendahulunya, sebagai budayawan ia paham dengan bahasa Jawa dan berpengalaman dengan aksara-aksara Asia, dan dia juga menulis bahwa kemampuan menggambarnya ‘tidak terlalu jelek’ (Molen 2000). Beberapa tahun kemudian, Roorda dan Martinus Hübner dari Enschedé membuat rupa huruf kedua bergaya miring, dan hal ini pun disambut dengan baik.

Rupa huruf aksara Jawa yang Roorda garap.


 Bentuk dan proporsi tulisan tangan Surakarta dari tahun 1816 disandingkan dengan rupa huruf Roorda dari tahun 1838 (didigitalisasi menjadi Tuladha Jejeg oleh RS Wihananto dan Javanese Text oleh Microsoft).
Dengan tuntasnya masalah huruf cetak, publikasi dalam aksara Jawa pun bermekaran di seantero pulau dan banyak rakyat pribumi biasa terpapar dengan bacaan beraksara Jawa. Sebelum percetakan aksara Jawa muncul, perlu diingat bahwa kebanyakan teks Jawa hanya dibuat dalam jumlah terbatas di kalangan ningrat atau pelajar. Hadirnya percetakan aksara Jawa yang didukung oleh prasarana seperti rupa huruf Roorda membuat bacaan beraksara Jawa jauh lebih mudah didapat oleh rakyat biasa dan hal ini turut membuat masyarakat menjadi lebih melek huruf. Pemerintahan Hindia Belanda juga meresmikan penggunaan aksara Jawa (bersama dengan Arab-Melayu dan Latin) dalam fungsi administrasi dan sehari-hari sehingga percetakan aksara menerima dukungan dan bantuan yang signifikan dari tokoh pemerintahan Belanda (Moriyama 2003). Rupa huruf Roorda terbukti memuaskan dan awet digunakan oleh berbagai penerbit dan percetakan Jawa selama lebih dari seabad ke depannya dalam berbagai media dari surat resmi pemerintahan, makalah akademisi, hingga koran, majalah, iklan, dan uang.


Huruf cetak Jawa dalam penggunaan resmi. Atas: buletin pemerintahan Surakarta Kabar Paprentahan (edisi November 1934). Kanan: uang Gulden Hindia Belanda seri Wayang (1933-1939) yang larangan pemalsuannya ditulis dalam huruf Jawa, Arab, Latin, dan Honji Tiongkok.


Huruf cetak dalam penggunaan populer. Atas kiri: halaman judul majalah Kajawén (edisi Oktober 1927). Atas kanan: halaman isi majalah Kajawén. Bawah kiri: iklan bohlam lampu. Bawah kanan: iklan bubur havermut (oatmeal).

Plat huruf karya Roorda (disusun dalam posisi tercermin sebelum dicetak pada kertas).
Foto oleh Troy Leinster.
_______________________________________
Catatan Kaki
[1] Bentley-Taylor (1967) menuliskan bahwa pelukis Raden Saleh (1807-1880) pernah dimintakan pendapat mengenai purwarupa injil Brückner ketika sang pelukis sedang tinggal di Den Haag, Belanda. Raden Saleh berkomentar bahwa injil Brückner dapat dimengerti, namun terdapat beberapa kesalahan, tata bahasanya terlalu eropa, dan gayanya terlalu pesisir. Brückner memang lahir dan lama tinggal di Semarang, sehingga kemungkinan besar bahasa dan aksara Jawa yang ia kenal dengan baik adalah varian pesisir.

Tulisan di atas ditulis dan disumbangkan oleh Aditya Bayu Perdana.
Pranala: Instagram dan Behance.
Versi jurnal tulisan ini telah dipublikasikan dalam Manuskripta Vol 10 No 1 (2020).