Selasa, 22 Oktober 2019

Pembakaran Bendera Tauhid dari Sudut Pandang Tipografi


Pada Senin 22 Oktober 2018, tepat setahun yang lalu, beberapa anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat putih. Kejadian bermula ketika seseorang membentangkan bendera tersebut pada saat peringatan Hari Santri Nasional di Alun-alun Limbangan, Garut, Jawa Barat. Hal itu kemudian membangkitkan amuk massa, sebab bagi mereka bendera tersebut bukanlah sekadar bendera bertuliskan kalimat suci, tetapi merupakan lambang dari gerakan dan ideologi yang diusung Hizbut Tahrir.

Massa pada mulanya hendak menginjak-injak bendera tersebut, tetapi beberapa anggota Banser berinisiatif untuk membakarnya. Rekaman pembakaran tersebut lalu merebak di internet dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat muslim menganggap pembakaran bendera tersebut merupakan sebuah penghinaan terhadap agama Islam. Tagar #bubarkanbanser sempat populer di Twitter dan beberapa unjuk rasa digelar di sejumlah kota di Indonesia terkait insiden ini.

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, melalui akun Twitter-nya menegaskan bahwasanya HTI tidak memiliki bendera dan bendera yang dibakar dalam peristiwa tersebut adalah bendera tauhid bernama Ar-Rayah (panji Rasulallah) yang berwarna hitam dan bertuliskan kalimat tauhid putih. Bendera tersebut didaulat sebagai bendera agama Islam, ujarnya.

Beragam Bendera Hitam
Masyarakat muslim mengenal setidaknya dua bendera, yakni Ar-Rayah (berwarna hitam) dan Al-Liwa (berwarna putih). Terlepas dari kesepakatan atau keabsahan bendera-bendera ini sebagai perwakilan dari agama/negara Islam, bendera-bendera ini memang semakin sering kita jumpai di bentang pandang Indonesia belakangan ini. Satu hal yang menarik ialah desain tipografi—atau dalam kosa Islami disebut khat—yang dipakai untuk menuliskan kalimat tauhid dalam aksara Arab itu cenderung memiliki keseragaman.

Padahal, bendera-bendera sejenis sesungguhnya memiliki berjubel variasi desain tipografi dalam perkembangannya. Kemasyhuran bendera berkalimat syahadat, khususnya yang berwarna hitam, tidak dapat dinafikan sebab bendera hitam itu dikabarkan akan mengiring kedatangan Imam Mahdi menjelang hari kiamat kelak. Berdasarkan risalah inilah, beberapa kelompok gerakan Islam mendaku, membajak atau memanfaatkan bendera hitam dengan bertuliskan La ila hailallaah Muhammad darasulullah sebagai fasad gerakan mereka. Walaupun pada kenyataannya, tidak digambarkan apakah bendera hitam yang dimaksudkan mengiring Imam Mahdi tersebut akan bertuliskan tauhid atau tidak; dan jika iya, jenis khat apa yang akan digunakan. Imaji tentang bendera ini lantas berkembang langgas. Beragam desain tipografi dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan bendera yang hendak disiarkan ke hadapan umat. Sebagian menambahkan kalimat lain, sebagian menambahkan gambar atau ornamen. Berikut ini beberapa contoh bendera hitam berkalimat Tauhid beserta gerakan penyokongnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, sebagian besar bendera-bendera ini memanglah dimanfaatkan oleh kelompok militan yang mengobarkan petaka di negara-negara Timur Tengah dan Afrika, seperti ISIS di Suriah dan Boko Haram di Nigeria. Penggunaan besar-besaran oleh kelompok-kelompok ini tentulah membuat citra bendera yang seharusnya dianggap mulia menjadi memburuk. Jarangnya bendera tersebut hadir dalam konteks yang bertamadun juga menyulitkan publik untuk menghubungkan gagasan tentang bendera tersebut dengan kesan yang elok-elok. Hubungan asosiatif antartandanya tidak terjalin sebagaimana mestinya.

Bahasa dan Parabahasa
Perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan si pembakar bendera jelas begitu kentara. HTI dan kelompok afiliasinya bersikukuh bahwa walau bagaimana pun, bendera tersebut tetap mengandung lafaz kudus. Kalimat lainnya: walaupun bendera tersebut hadir dalam konteks yang tidak ideal dan telah digaungkan oleh kelompok-kelompok ekstrem secara berulang-ulang selama bertahun-tahun, toh tetap saja mengandung kalimat yang tinggi derajatnya. Artinya, Hizbut Tahrir mengutamakan aspek kebahasaan belaka pada tulisan tersebut dan mengesampingkan apa-apa saja yang non-bahasa yang barangkali terpaut makna dengan tulisan tersebut. Persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan tipografis.

Tipografi mampu mendedah permasalahan bahasa tulis semacam ini. Para cendekiawan ilmu komunikasi telah lama memercayai bahwa komunikasi lisan terdiri dari dua hal yang nyaris tak terpisahkan, yaitu aspek verbal dan non-verbal. Penelitian oleh William Condon menunjukkan bahwa dalam komunikasi lisan, setiap ucapan (bahasa) didampingi oleh tanda-tanda non-bahasa seperti gerak-gerik, ekspresi muka, nada bicara dll. yang dapat memperkaya makna dalam komunikasi. Banyangkan seseorang berkata "Aku cinta kamu" dalam dua keadaan: pertama, dengan nada lemah lembut dan pipi merona, kedua, dengan nada tinggi, berteriak dan mengepalkan tangan. Satu mungkin akan membuat kita tersipu malu, sedangkan satunya membuat kita bergidik ketakutan. Mengapa dua hal dalam kalimat yang sama mendapatkan tanggapan yang berbeda? Karena dalam memaknai komunikasi, kita tidak hanya bertumpu dari bahasa saja.

Peristiwa yang demikian dapat pula dipadankan dalam dunia tipografi. Teks tidak hanya memuat apa yang terbaca, teks juga dapat dimaknai bagaimana ia tersaji secara visual. Padanan aspek verbal dan non-verbal dalam dunia bahasa tulis adalah tulisan (bahasa) dan paratulisan (parabahasa). Parabahasa sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis komunikasi non-verbal. Berbeda dengan jenis-jenis komunikasi non-verbal lainnya yang dapat berdiri sendiri, parabahasa tertaut dengan bahasa. Ia serupa dengan tipografi yang tidak dapat hadir tanpa adanya bahasa tulis, tanpa adanya aksara. Tipografi adalah parabahasa dalam dunia tulisan. Tipografi mampu menghembuskan makna-makna di luar makna bahasanya. Ia dapat menandakan nuansa bicara, kepribadian, gender, asal-usul dan banyak lagi. Sekarang banyangkan seseorang menulis "Aku cinta kamu" dalam dua fontasi: pertama dalam fontasi Parisienne oleh Astigmatic dan kedua dalam fontasi Horrorfind oleh Sinister Fonts (lihat gambar di bawah). Walaupun keduanya menyatakan kalimat yang sama, tetapi tentu kita mendapati nuansa makna yang berbeda, yang membuat kita merespons dengan cara yang berbeda pula.



Bagaimana Makna Tercipta
Kejadian pembakaran bendera tauhid boleh dikatakan disebabkan oleh perbedaan cara memaknai bendera tersebut. Satu golongan memaknai secara kebahasaan saja dan menepis segala kemungkinan tafsir makna yang melebar dan meluas ke mana-mana. Sedangkan, satu golongan lain memaknai hal-hal yang telah terasosiasi dengan bendera tauhid tersebut, memungkiri aspek kebahasaannya.

Mengesampingkan pesan-pesan yang dapat diulik di luar ketipografian, misalkan warna, bendera tauhid sungguhnya adalah sebuah karya tipografi. Bendera yang dipersoalkan memiliki gaya kaligrafi Sulus (Tsuluts ثلث) yang benar sering digunakan untuk menuliskan kalimat syahadat tauhid, seperti pada bendera Arab Saudi, Hamas, dan Barisan Pembebasan Islam Moro (beberapa contoh bendera yang tidak menggunakan warna hitam polos). Khat Sulus sering dijumpai menghias masjid-masjid dan naskah-naskah kitab kuno. Huruf-hurufnya yang berjejalan rapi, tebal-tipis yang berpatutan dan harakat-harakat dekoratifnya menciptakan kesan-kesan yang elegan dan nilai seni yang tinggi. Dipadukan dengan kalimat suci, kaligrafi ini lengkap baik dari sisi kebahasaan maupun kerupaannya. Akan tetapi, hal tersebut tampaknya belum cukup membuat semua golongan bersepakat dalam memaknainya.

Meskipun telah dilengkapi dengan kalimat suci dan tipografi yang apik, bendera tauhid sering berada pada konteks yang tidak ideal dan hal itu berulang kali dipaparkan ke hadapan awam. Secara pribadi, ketika membayangkan bendera tersebut, gambar-gambar yang terbayang di kepala saya adalah peperangan, konflik Timur Tengah, arak-arakan gerilyawan, dan keriuhan unjuk rasa; sukar rasanya menautkan simbol tersebut dengan kesan-kesan yang indah dan damai. Saya yakin, bukan saya sendiri yang mendapati hal serupa ini.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tanpa mempertimbangkan makna dari penggunaan aksara hijaiah itu sendiri yang mungkin tidak netral bagi sebagian orang (masyarakat Amerika Serikat mungkin was-was dengan tulisan Arab dan sebagian kalangan di Malaysia menolak huruf Jawi), bendera tauhid sebagai karya tipografi telah tertaut dengan sesuatu yang lain di luar makna lugasnya. Gerrit Willem Ovink pernah menjabarkan bagaimana tipografi pada kemasan parfum mampu membawa makna-makna ke luar aspek kebahasaan. Ia menjelaskan tiga hal: ikonisitas, alusi dan pengodean simbolik.

Ikonisitas (metafora) berbicara tentang bagaimana tipografi secara langsung memiliki kemiripan, baik kemiripan fisik maupun imajinatif, dengan sesuatu yang hendak diwakilinya. Jika Anda melihat bendera tauhid dengan bentuk kaligrafinya yang runcing-runcing, Anda akan terbayangkan kelopak bunga atau belati? Kuncup daun ataukah pedang? Pencitraan bendera tauhid lewat media arustama dll. yang telah memapar Anda selama ini akan memutuskan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sementara itu,  alusi (metonimi) berbicara tentang bagaimana tipografi terpaut pada gagasan-gagasan tertentu yang masih berhubungan dengan hal yang hendak diwakili. Jika Anda melihat bendera tauhid, gambaran apa yang lahir dari pengalaman tersebut, apakah Anda membayangkan gerakan damai ataukah gerakan yang membubarkan kedamaian? Yang terakhir, representasi simbolik berbicara tentang bagaimana rancangan tipografi tertentu disepakati kelompok masyarakat sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, tanpa memandang kemiripan (metafora) ataupun keterpautan dengan gagasan-gagasan lain (metonimi). Hal inilah yang kiranya paling genting dari kegemparan pembakaran bendera tauhid silam: tidak adanya kesepakatan antaranggota kelompok masyarakat tentang apa dan bagaimana itu bendera tauhid, yang didaku sebagai bendera agama Islam.

Saran
Dalam menengahi permasalahan pembakaran bendera tauhid yang ramai setahun lalu diperlukan rembukan yang matang antara kedua belah pihak. Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok afiliasinya seyogianya tidak cuci tangan dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bendera, sementara senantiasa mempromosikan panji-panji Ar-Rayah dalam pelbagai kesempatan. Keterikatan tanda yang kuat tentu tercipta di antara keduanya, antara bendera tersebut dan Hizbut Tahrir, serta gerakan-gerakan lainnya yang juga memanfaatkan bendera serupa. Sedangkan, apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota Banser juga tidak dapat dibenarkan, tindakan tanpa tenggang rasa tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kecerobohan yang menganggu keselarasan antaranggota masyarakat.

Kiranya jika memungkinkan, bendera Islam atau bendera tauhid perlu disepakati ulang oleh antarkalangan dalam masyarakat Islam secara umum, sehingga baik golongan HTI (atau eks-HTI) dan golongan Nahdlatul 'Ulama menemukan mufakat dalam mengiktirafkannya. Menimbang hadis yang meriwayatkan penggunaan bendera Ar-Rayah tidak menjelaskan apa-apa kecuali warnanya yang hitam, kreasi tipografi baru yang lebih netral dan modern untuk menuliskan kalimat syahadat pada bendera tersebut sangatlah memungkinkan. Tanpa mengubah makna harfiahnya, mungkin saja bendera Islam kelak dapat mengekor mode tipografi yang dipelopori Google, fontasi-fontasi nirkait geometris yang rapi, tawar, dan jernih; berusaha suci dari praduga makna.