Minggu, 26 Juni 2016

Dua Arah Inspirasi

Dari mana datangnya inspirasi? Tidak peduli berasal dari kalangan pekerja apa, kita semua membutuhkan inspirasi untuk pikiran, kejiwaan dan daya cipta kita setiap harinya. Gagasan yang timbul dalam benak sesungguhnya tidak serta-merta lahir, melainkan ia adalah proses pengalaman dan pemahaman kita tentang dunia sekitar. Terlebih mereka yang bekerja di dunia kreatif, inspirasi adalah makanan pokok yang menenagai keberlangsungan proses berkarya.
 
Pada umumnya inspirasi dalam mendesain huruf datang dari dua arah: melihat huruf atau melihat yang bukan huruf. Banyak desainer huruf kekinian yang terilhami dari desain huruf yang sudah lampau. Biasanya mereka melakukan revitalisasi fontasi lama [biasanya masih dalam bentuk tulisan tangan atau huruf logam], kemudian menjadikannya fontasi yang berformat digital.

Hal itu banyak sekali dilakukan oleh perancang-perancang Barat; semisal revitalisasi desain huruf Caslon menjadi Libre Caslon oleh Pablo Impallari dan Rodrigo Fuenzalida atau desain huruf Garamond menjadi Adobe Garamond oleh Robert Slimbach. Hal ini membuat desain huruf lama, terlebih yang termasyhur, memiliki banyak versi digital sehingga warisan desainnya terus berkesinambungan. 

Perbandingan fisiologis pelbagai versi Garamond.
Ilustrasi dinukil dari http://barneycarroll.com/garamond.htm


Berbeda dengan revitalisasi yang bertujuan untuk mengabadikan bentuk huruf semirip mungkin dengan aslinya, desainer-desainer yang lain memilih mengambil contoh desain yang sudah ada untuk kemudian dijadikan bahan utama membuat fontasi baru dengan tambahan ciri khas yang berbeda. Bodoni mengambil banyak inspirasi dari desain huruf Didot, sebelum pada akhirnya menemukan ciri khasnya sendiri dalam desain-desainnya.

Di Indonesia, revitalisasi pernah dilakukan oleh Gumpita Rahayu melalui perancangan sebuah fontasi lama pada papan petunjuk di gedung lawas Warenhuis de Vries. Ia lantas mendigitalisasi dan melengkapi karakter-karakternya menjadi fontasi baru bernama Oud Warenhuis. Selain itu, kegiatan merevitalisasi desain huruf jalanan, atau kerap disebut tipografi vernakular, sedang mendapat perhatian di kalangan sarjana desain Indonesia. Beberapa tahun silam, sejumlah karya mahasiswa-mahasiswi DKV ITB, yang mengangkat khazanah tipografi vernakular, dipamerkan di Konferensi Tipografi Internasional di Yunani.

Sementara itu, inspirasi yang bersumber dari unsur bukan huruf bisa datang dari banyak hal: benda-benda sekitar rumah, tetumbuhan di taman, hingga barangkali hewan piaraan. Hal ini membikin desain menjadi lebih ekspresif. Pada zaman Art Nouveau, alam sangat dipuja. Desain huruf biasanya dirancang berdasarkan lekuk-lekuk yang dijumpai di alam, seperti kembang atau sulur-sulur. Hal ini menghasilkan bentuk huruf yang begitu berbeda dari masa-masa sebelumnya.

Fruitygreen, salah satu fontasi gubahan Andy AW. Masry, secara halus terinspirasi dari bentuk buah-buahan. Beberapa fontasi lain, didesain mendekati bentuk inspirasi aslinya. Contohnya adalah fontasi Rambut Kusut oleh Rio Suzandy yang terinspirasi dari rambut yang awut-awutan dan fontasi Circuit Board oleh Budi Purwito yang terilhami dari desain papan sirkuit cetak.

Huruf "K" dalam fontasi Rambut Kusut oleh Rio Suzandy
Beberapa desainer Indonesia bahkan berhasil mengubah khazanah budaya setempat menjadi bentuk-bentuk huruf yang elok dan istimewa. Rumah tradisional Gadang telah menginspirasi Suryo Wahono dalam merancang fontasi Minangkabau dan Ananda A. Ramadhani dalam merancang fontasi Rugamika. Begitu pula dengan fontasi Parangrusak oleh Imam Zakaria dan Tapis oleh Monica Cathlin; masing-masing fontasi terinspirasi dari kriya dengan nama yang sama.