Senin, 05 September 2022

25 Pepatah Sunda dengan Arti dan Aksara Sunda I

Peribahasa atau pepatah Sunda merupakan bagian penting dari budaya dan tradisi masyarakat Sunda di Indonesia. Peribahasa Sunda memuat kebijaksanaan dan nilai-nilai kearifan lokal yang diajarkan dari generasi ke generasi. Melalui tuturan peribahasa, masyarakat Sunda dapat menjaga dan melestarikan gagasan dalam kebudayaan mereka, serta mendapatkan pengetahuan dari pengalaman masa lalu untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. Mari kenali 25 pepatah atau peribahasa Sunda berikut ini.


ᮃᮓᮒ᮪ ᮊᮊᮥᮛᮥᮀ ᮊᮥ ᮄᮌ.

Adat kakurung ku iga.
Perilaku terkurung oleh tulang rusuk.
— Kebiasaan seseorang sulit dihilangkan karena sudah menjadi bagian dari dirinya.


ᮃᮌᮥᮜ᮪ ᮊᮥ ᮕᮚᮥᮀ ᮘᮥᮒᮥᮒ᮪.

Agul ku payung butut.
Membanggakan payung jelek.
— Perilaku menyombongkan diri padahal kehidupannya serba kekurangan.


ᮃᮝᮤ ᮞᮓᮕᮥᮛᮔ᮪ ᮒᮛ ᮜᮨᮙ᮪ᮕᮨᮀ ᮊᮘᮦᮂ.

Awi sadapuran tara lempeng kabéh.
Bambu-bambu yang serumpun tidak semuanya lurus.
— Walaupun sekeluarga, tiap anggotanya tidak akan memiliki harta dan penghidupan yang sama.


ᮃᮞ ᮊᮛᮌ᮪ ᮛᮌᮔ᮪ᮘᮦᮔ᮪ᮒᮀ ᮒᮤ ᮜᮍᮤᮒ᮪.

Asa karagragan béntang ti langit.
Seperti kejatuhan bintang dari langit.
— Merasa sangat bahagia karena mendapatkan suatu yang luar biasa.


ᮘᮔ᮪ᮓ ᮞᮞᮙ᮪ᮕᮤᮛᮔ᮪ ᮑᮝ ᮌᮌᮓᮥᮠᮔ᮪.

Banda sasampiran nyawa gagaduhan.
Harta benda sampiran, nyawa kepunyaan.
— Baik harta benda maupun nyawa adalah dalam kuasa Tuhan YME.


ᮘᮨᮔ᮪ᮒᮤᮊ᮪ ᮎᮥᮛᮥᮊ᮪ ᮘᮜᮞ᮪ ᮔᮥᮔ᮪ᮏᮥᮊ᮪.

Bentik curuk balas nunjuk.
Lentik telunjuk balas menunjuk.
— Seseorang yang suka memerintah, tetapi sebenarnya tidak bisa mengerjakan sendiri atau tidak ingin turut mengerjakan.


ᮎᮤᮊᮛᮎᮊ᮪ ᮔᮤᮀᮌᮀ ᮘᮒᮥ ᮜᮅᮔ᮪-ᮜᮅᮔ᮪ ᮏᮓᮤ ᮜᮨᮌᮧᮊ᮪.

Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok.
Air menetes menghantam batu perlahan-lahan menjadi cekung juga.
— Usaha kecil yang dilakukan secara terus-menerus perlahan-lahan pasti akan membuahkan hasil.


ᮎᮥᮜ᮪ ᮓᮧᮌ᮪ᮓᮧᮌ᮪ ᮒᮤᮀᮌᮜ᮪ ᮄᮌᮨᮜ᮪.

Cul dogdog tinggal igel.
Mengabaikan genderang, tersisa tarian.
— Seseorang yang meninggalkan pekerjaan wajib untuk suatu yang remeh-temeh.


ᮓᮁᮙ ᮝᮝᮚᮍᮔ᮪ ᮘᮆ.

Darma wawayangan baé.
Hanya berperan sebagai wayang saja.
— Hidup hanya sekadar menjalankan saja, karena semua hal telah digariskan dan ditentukan oleh Tuhan YME.


ᮌᮥᮔᮥᮀ ᮒᮩ ᮘᮩᮔᮀ ᮓᮤᮜᮨᮘᮥᮁ, ᮞᮌᮛ ᮒᮩ ᮘᮩᮔᮀ ᮓᮤᮛᮥᮊ᮪ᮞᮊ᮪, ᮘᮥᮚᮥᮒ᮪ ᮒᮩ ᮘᮩᮔᮀ ᮓᮤᮛᮨᮙ᮪ᮕᮊ᮪.

Gunung teu beunang dilebur, sagara teu beunang diruksak, buyut teu beunang dirempak.
Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak, leluhur tidak boleh dilanggar.
— Manusia harus menjaga kelestarian alam dan adat tradisi.


ᮠᮜᮧᮓᮧ ᮞᮒᮅᮔ᮪ ᮜᮔ᮪ᮒᮤᮞ᮪ ᮊᮥ ᮠᮥᮏᮔ᮪ ᮞᮕᮧᮆ.

Halodo sataun lantis ku hujan sapoé.
Kemarau setahun dihapus hujan sehari.
— Kebaikan yang telah lama dilakukan menjadi tidak berarti karena melakukan kejahatan sekali (atau sebaliknya).


ᮠᮦᮛᮀ ᮎᮄᮔ ᮘᮩᮔᮀ ᮜᮅᮊ᮪ᮔ.

Hérang caina beunang laukna.
Bening airnya dapat ikannya.
— Keberhasilan yang didapatkan tanpa menimbulkan kerugian bagi orang lain.


ᮊ ᮎᮄ ᮏᮓᮤ ᮞᮜᮩᮝᮤ ᮊ ᮓᮛᮒ᮪ ᮏᮓᮤ ᮞᮜᮨᮘᮊ᮪.

Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak.
Ke air jadi selubuk, ke darat jadi selebak.
— Kehidupan bersama atau bermasyarakat yang rukun dan kompak.


ᮊ ᮠᮛᮩᮕ᮪ ᮍᮜ ᮞᮏᮩᮏᮩᮂ, ᮊ ᮒᮥᮊᮀ ᮍᮜ ᮞᮏᮩᮀᮊᮜ᮪.

Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala sajeungkal.
Ke depan mengambil setelapak kaki, ke belakang mengambil sejengkal.
— Bersikap waspada dan hati-hati dalam mengambil keputusan.


ᮊᮥᮓᮥ ᮞᮩᮘᮩᮂ ᮙᮨᮙᮨᮂ ᮓᮠᮁ, ᮊᮥᮓᮥ ᮔᮨᮕᮤ ᮙᮨᮙᮨᮂ ᮄᮔ᮪ᮓᮤᮒ᮪.

Kudu seubeuh memeh dahar, kudu nepi memeh indit.
Harus kenyang sebelum makan, harus sampai sebelum pergi.
— Seseorang harus merencanakan matang-matang ke depan terlebih dahulu sebelum melaksanakan sesuatu.


ᮜᮙᮥᮔ᮪ ᮠᮨᮔ᮪ᮒᮩ ᮍᮊᮜ᮪ ᮙᮧᮃᮜ᮪ ᮍᮊᮩᮜ᮪.

Lamun henteu ngakal moal ngakeul.
Kalau tidak berpikir tidak akan menanak nasi.
— Jika tidak mau berpikir atau bekerja, maka tidak akan mendapatkan penghidupan.


ᮜᮙᮥᮔ᮪ ᮊᮨᮚᮨᮀ ᮒᮀᮒᮥ ᮕᮛᮨᮀ.

Lamun keyeng tangtu pareng.
Kalau sungguh-sungguh pasti dapat.
— Seseorang yang bersungguh-sungguh pasti akan mencapai yang diinginkannya.


ᮙᮀᮌᮤᮂ ᮜᮥᮃᮀ ᮒᮤᮔ ᮘᮥᮛᮀ.

Manggih luang tina burang.
Menemukan pengalaman dari ranjau bambu.
— Mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru dari kejadian yang tidak menyenangkan.


ᮙᮥᮔ᮪ ᮊᮤᮛᮥᮂ ᮒᮤ ᮌᮤᮛᮀ ᮊᮧᮙᮧ ᮊ ᮠᮤᮜᮤᮁᮔ.

Mun kiruh ti girang komo ka hilirna.
Jika sudah keruh sejak di hulu, maka akan lebih keruh lagi di hilir.
— Jika pemimpin buruk, maka masyarakatnya akan lebih buruk lagi.


ᮔᮨᮃᮍᮔ᮪ ᮜᮥᮃᮀ ᮒᮤᮕᮕᮓ ᮅᮛᮀ.

Neangan luang tipapada urang.
Mencari pengalaman dari orang lain.
— Mendapatkan ilmu atau pengalaman dari orang lain.


ᮔᮤᮀᮌᮜ᮪ᮊᮩᮔ᮪ ᮠᮚᮙ᮪ ᮓᮥᮓᮥᮒᮔᮩᮔ᮪.

Ninggalkeun hayam dudutaneun.
Meninggalkan ayam yang sedang dicabuti bulunya.
— Gambaran orang yang meninggalkan pekerjaan yang tanggung, pekerjaan yang hampir selesai.


ᮕᮥᮕᮥᮜᮥᮁ ᮙᮨᮙᮨᮂ ᮙᮔ᮪ᮒᮥᮔ᮪.

Pupulur memeh mantun.
Upah sebelum selesai.
— Meminta gaji sebelum mengerjakan tugas.


ᮞᮒᮧ ᮘᮥᮞᮔ ᮓᮌᮤᮀ, ᮏᮜ᮪ᮙ ᮘᮥᮞᮔ ᮆᮜ᮪ᮙᮥ.

Sato busana daging, jalma busana élmu.
Hewan pakaiannya daging, manusia pakaiannya ilmu.
— Hewan dinilai dari dagingnya (raganya), sedangkan manusia dinilai dari pengetahuan yang dimilikinya (pikirannya).


ᮞᮤᮛᮩᮙ᮪ ᮇᮌᮦ ᮓᮤᮒᮤᮔ᮪ᮎᮊ᮪-ᮒᮤᮔ᮪ᮎᮊ᮪ ᮒᮩᮄᮀ ᮙᮂ ᮒᮀᮒᮥ ᮍᮦᮌᮦᮜ᮪.

Sireum ogé ditincak-tincak teuing mah tangtu ngégél.
Semut juga jika diinjak-injak pasti akan menggigit.
— Orang kecil atau minoritas yang dideskriminasi meskipun lemah pasti akan melawan juga.


ᮒᮩ ᮅᮀᮌᮥᮒ᮪ ᮊᮜᮤᮔ᮪ᮓᮥᮃᮔ᮪, ᮒᮩ ᮌᮨᮓᮌ᮪ ᮊᮃᮍᮤᮔᮔ᮪.

Teu unggut kalinduan, teu gedag kaanginan.
Tak goyah oleh gempa, tak bergerak oleh angin.
— Keyakinan dan keteguhan hati yang mantap, tidak dapat dipengaruhi siapa pun.

Rabu, 17 Agustus 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa IV

Pepatah atau peribahasa Jawa mencerminkan kearifan lokal budaya Jawa yang kaya. Pepatah-pepatah ini mencakup nilai-nilai kesusilaan, kebijaksanaan, dan nasihat yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pepatah Jawa sering kali mengajak pendengar atau pembaca untuk merenungkan tindakan, sikap, atau keputusan mereka. Mari kenali 25 pepatah atau peribahasa Jawa berikut ini.


꧋ꦲꦭ​ꦧꦼꦭꦺꦴ​ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦗꦫꦤ꧀꧉​

Ala belo becik jaran.
Jelek anak kuda bagus kuda dewasanya.
— Seseorang yang masih anak-anak terlihat jelek ketika dewasa mungkin saja akan terlihat rupawan. Banyak orang yang mulai terlihat cantik/tampan ketika sudah melewati masa puber.


꧋ꦲꦭꦶꦁ​​ꦲꦭꦶꦁ​​ꦒꦺꦴꦝꦺꦴꦁ​​ꦮꦫꦶꦔꦶꦤ꧀꧉​

Aling-aling godhong waringin.
Bersembunyi di balik daun beringin.
— Seseorang yang berdalih atau menutupi sesuatu tetapi menggunakan alasan-alasan yang tidak meyakinkan atau tidak masuk akal.


꧋ꦲꦤ​ꦱꦺꦛꦶꦛꦶꦏ꧀ꦢꦶꦢꦸꦩ꧀ꦱꦼꦛꦶꦛꦶꦏ꧀​ꦲꦤ​ꦲꦏꦺꦃ​ꦢꦶꦢꦸꦩ꧀ꦲꦏꦺꦃ꧉​

Ana sethithik didum sethithik, ana akèh didum akèh.
Ada sedikit dibagikan sedikit, ada banyak dibagikan banyak.
— Penggambaran kepemimpinan yang adil dan jujur dengan membagikan hasil sesuai dengan banyaknya hal yang didapatkan (tidak melakukan korupsi atau semacamnya).


꧋ꦕꦼꦧ꧀ꦭꦺꦴꦏ꧀ꦲꦭꦸ꧉​

Ceblok alu.
Jatuh alu.
— Bekerja sama untuk suatu tujuan dengan cara berganti-gantian dalam bekerja.


꧋ꦢꦒꦁ​​ꦠꦸꦤ​ꦲꦤ꧀ꦢꦸꦩ꧀ꦧꦛꦶ꧉​

Dagang tuna andum bathi.
Berdagang rugi, membagikan laba.
— Seseorang yang tidak mementingkan keuntungan, melainkan mementingkan beramal dan berderma kepada orang banyak.


꧋ꦢꦺꦴꦚ​ꦲꦺꦴꦫ​ꦩꦸꦁ​​ꦱꦒꦺꦴꦝꦺꦴꦁ​​ꦏꦺꦭꦺꦴꦂ꧉​

Donya ora mung sagodhong kélor.
Dunia tidak hanya seluas daun kelor.
— Dunia itu tidaklah sempit. Jangan berputus asa karena dunia memiliki banyak pilihan, banyak kesempatan, dan banyak harapan.


꧋ꦢꦸꦒꦁ​​ꦢꦼꦩꦁ​꧈​​ꦲꦺꦱꦼꦩ꧀ꦩꦤ꧀ꦠꦿꦶ꧈​​ꦱꦼꦩꦸ​ꦧꦸꦥꦠꦶ꧉​

Dugang demang, èsem mantri, semu bupati.
Tendangan demang, senyuman mantri, raut wajah bupati.
— Semakin tinggi pangkat atau kedudukan seseorang, maka cara berkomunikasinya semakin terhormat dan semakin halus.


꧋ꦒꦒꦃꦏꦗꦶꦧꦃ​ꦩꦶꦁ​ꦏꦸꦃ​ꦏꦠꦼꦩ꧀ꦥꦸꦃ꧉​

꧋ꦱꦒꦃꦏꦗꦶꦧꦃ​ꦩꦶꦁ​ꦏꦸꦃ​ꦏꦠꦼꦩ꧀ꦥꦸꦃ꧉​

Gagah/sagah kajibah mingkuh katempuh.
Karena kuat/menyanggupi terkena kewajiban, karena menghindar terkena tanggung jawab.
— Seseorang yang awalnya sudah menyanggupi mampu mengerjakan suatu pekerjaan harus menyelesaikan pekerjaan tersebut sampai tuntas.


꧋ꦒꦗꦃ​ꦥꦼꦫꦁ​​ꦏꦫꦺꦴ​ꦒꦗꦃ꧈​​ꦏꦚ꧀ꦕꦶꦭ꧀ꦩꦠꦶ​ꦲꦶꦁ​​ꦠꦼꦔꦃ꧉​

Gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengah.
Gajah berperang dengan gajah, kancil mati di tengah.
— Ketika orang besar berseteru dengan orang besar lainnya untuk memperebutkan kekuasaan, pengaruh, atau wilayah, maka yang akan tertimpa musibah adalah rakyat kecil yang sebenarnya tidak punya urusan dengan perseteruan tersebut.


꧋ꦒꦶꦫꦶ​ꦭꦸꦱꦶ​ꦗꦤ꧀ꦩ​ꦠꦤ꧀ꦏꦼꦤ​ꦲꦶꦔꦶꦤ꧀ꦤ꧉​

Giri lusi janma tan kena ingina.
Gunung, cacing, dan manusia tidak boleh dihina.
— Jangan menghina siapapun, baik yang terlihat seperti orang besar maupun yang terlihat seperti orang kecil.


꧋ꦒꦸꦪꦺꦴꦤ꧀ꦥꦫꦶꦏꦼꦤ꧉​

Guyon parikena.
Candaan tetapi mengena.
— Candaan yang sebenarnya mengisyaratkan sindiran atau petuah yang bermanfaat.


꧋ꦏꦭꦃ​ꦕꦕꦏ꧀ꦩꦼꦤꦁ​​ꦕꦕꦏ꧀꧉​

Kalah cacak menang cacak.
Kalah dicoba menang dicoba.
— Setiap pekerjaan sebaiknya dicoba sebaik mungkin terlebih dahulu, tidak perlu terlalu khawatir hasil akhirnya akan menang atau kalah, untung atau rugi.


꧋ꦏꦪ​ꦱꦸꦫꦸꦃ꧈​​ꦭꦸꦩꦃ​ꦏꦸꦫꦼꦧ꧀ꦧꦺ​ꦧꦺꦢ꧈​​ꦪꦺꦤ꧀ꦒꦶꦤꦼꦒꦼꦠ꧀ꦥꦝ​ꦫꦱꦤꦺ꧉​

Kaya suruh, lumah kurebé béda, yèn gineget padha rasané.
Seperti sirih, meski sisi bawah dan atasnya berbeda (warna), jika digigit rasanya sama saja.
— Walaupun satu dan lain hal tampak berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Hal ini dapat diumpamakan juga dengan suami dan istri yang memiliki pola pikir berbeda, tetapi apapun yang terjadi di rumah tangga akan sama-sama dirasakan oleh kedua belah pihak.


꧋ꦭꦸꦮꦶꦃ​ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦥꦒꦼꦂ​ꦩꦁ​ꦏꦺꦴꦏ꧀ꦠꦶꦤꦶꦩ꧀ꦧꦁ​​ꦥꦒꦼꦂ​ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦏ꧀꧉​

Luwih becik pager mangkok tinimbang pager témbok.
Lebih baik pagar mangkuk daripada pagar tembok.
— Keamanan masyarakat akan terwujud dengan baik jika satu sama lain saling membantu dan bertetangga dengan rukun, bukan dengan meninggikan dan memperkokoh pagar rumah.


꧋ꦭꦸꦁ​​ꦭꦸꦔꦤ꧀ꦥꦸꦁ​ꦒꦼꦭ꧀ꦏꦶꦢꦁ​​ꦥꦲꦸꦭ꧀꧉​

Lung-lungan punggel kidang paul.
Tanaman merampat sudah putus kijangnya kembali.
— Sesuatu yang sudah berkurang biasanya akan berkurang lagi.


꧋ꦩꦠꦶ​ꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ​​ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀​​ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ​​ꦥꦠꦶ꧉​

Mati sajroning urip, urip sajroning pati.
Mati di dalam hidup, hidup di dalam mati.
— Ajaran untuk mengesampingkan keduniawian dan mengutamakan kepentingan yang bersifat rohani atau jiwa.


꧋ꦩꦺꦴꦩꦺꦴꦁ​꧈​​ꦩꦺꦴꦩꦺꦴꦂ꧈​​ꦩꦺꦴꦩꦺꦴꦠ꧀꧉​

Momong, momor, momot.
Mengasuh, bergaul, menampung.
— Tiga mutu kepemimpinan, yakni mampu mengasuh dan membimbing, mampu bergaul dengan masyarakat, dan mampu menampung segala masukan, keluh kesah, dan permasalahan yang dihadapi masyarakat.


꧋ꦔꦁ​ꦱꦸ​ꦧꦚꦸ​ꦲꦶꦁ​​ꦏꦿꦚ꧀ꦗꦁ​꧉​

Ngangsu banyu ing kranjang.
Mengambil air menggunakan keranjang.
— Seseorang yang belajar tetapi ilmunya tidak dipraktikkan.


꧋ꦤꦿꦶꦩꦲꦶꦁꦥꦤ꧀ꦢꦸꦩ꧀꧉​

Nrima ing pandum.
Menerima yang dibagikan.
— Menerima dengan lapang dada segala hal yang baik atau buruk, dalam ukuran yang banyak maupun sedikit, karena semua telah digariskan oleh Tuhan YME.


꧋ꦥꦸꦚ꧀ꦗꦸꦭ꧀ꦲꦶꦁ​​ꦲꦥꦥꦏ꧀​ꦩꦿꦺꦴꦗꦺꦴꦭ꧀ꦲꦶꦁ​​ꦲꦏꦼꦉꦥ꧀꧉​

Punjul ing apapak, mrojol ing akerep.
Menonjol di antara yang umum, keluar di antara yang sering.
— Seseorang yang luar biasa di antara kawanannya yang biasa saja.


꧋ꦠꦸꦤ​ꦱꦠꦏ꧀ꦧꦛꦶ​ꦱꦤꦏ꧀꧉​

Tuna satak bathi sanak.
Kehilangan uang mendapatkan saudara.
— Walaupun keuntungan berkurang, tetapi mendapatkan saudara, kenalan, atau relasi. Misalnya mengeluarkan uang untuk menjamu seseorang kemudian orang tersebut menjadi relasi bisnis.


꧋ꦏꦼꦩꦿꦶꦱꦶꦏ꧀ꦠꦤ꧀ꦥꦏꦔꦶꦤ꧀ꦤꦤ꧀꧉

Kemrisik tanpa kanginan.
Gemerisik padahal tidak terkena angin.
— Seseorang yang selalu menonjolkan kebaikan diri, karena khawatir orang akan membicarakan keburukannya.


꧋ꦱꦼꦥꦶ​ꦲꦶꦁ​​ꦥꦩꦿꦶꦃ​ꦫꦩꦺ​ꦲꦶꦁ​​ꦒꦮꦺ꧉​

Sepi ing pamrih ramé ing gawé.
Sepi di pamrih ramai di kerja.
— Bekerja memberikan yang terbaik tanpa memikirkan imbalannya.


꧋ꦠꦺꦒ​ꦭꦫꦤꦺ꧈​​ꦲꦺꦴꦫ​ꦠꦺꦒ​ꦥꦠꦶꦤꦺ꧉​

Téga larané, ora téga patiné.
Tega sakitnya, tetapi tidak tega matinya.
— Dalam sebuah perseteruan, seseorang mungkin menginginkan lawannya merasakan keburukan atau kekalahan, tetapi sebenarnya tidak ingin lawannya tumpas atau benar-benar menderita karena masih memiliki rasa belas kasih dan persaudaraan.


꧋ꦮꦶꦠ꧀ꦠꦺ​ꦲꦝꦏꦃ​ꦮꦺꦴꦃꦲꦺ​ꦲꦝꦶꦏꦶꦃ꧈​​ꦮꦶꦠ꧀ꦠꦺ​ꦲꦝꦶꦏꦶꦃ​ꦮꦺꦴꦃꦲꦺ​ꦲꦝꦏꦃ꧉​

Wité adhakah wohé adhikih, wité adhikih wohé adhakah.
Pohonnya besar buahnya kecil, pohonnya kecil buahnya besar.
— Seseorang tidak dapat dinilai dari apa yang terlihat saja. Mungkin saja seseorang yang terlihat dari luar memiliki sesuatu yang sedikit sebenarnya memiliki sesuatu yang banyak.

Selasa, 14 Juni 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa III

Peribahasa atau pepatah biasanya berupa kalimat pendek yang mengandung maksud tertentu dan telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Dalam kebudayaan Jawa, pepatah biasanya mengandung nasihat atau pelajaran yang berharga, serta menggambarkan pengalaman hidup dan kebijaksanaan yang telah diwariskan dari waktu ke waktu. Peribahasa atau pepatah adalah bagian penting dari budaya Jawa yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara ringkas namun kuat. Berikut 25 contoh pepatah atau peribahasa Jawa disertai dengan arti dan aksara Jawa-nya.


꧋ꦲꦗ​ꦫꦸꦩꦁꦱ​ꦧꦶꦱ꧈​ꦤꦔꦶꦁ​ꦧꦶꦱ​ꦲ​ꦫꦸꦩꦁꦱ꧉

Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa.
Jangan merasa bisa, tapi bisalah merasakan.
— Ajakan untuk selalu mawawas diri dan jangan merasa sombong.


꧋ꦲꦗꦂꦧꦶꦱꦔꦭꦃ​ꦲꦏꦺ​ꦝꦱꦂ꧉

Ajar bisa ngalahaké dhasar.
Belajar bisa mengalahkan bakat.
— Berlatih dan belajar dengan giat bisa mengungguli orang yang mengandalkan bakat.


꧋ꦕꦸꦫꦶꦒꦩꦤ꧀ꦗꦶꦁ​ꦮꦫꦁꦏ꧈ꦮꦫꦁꦏꦩꦤ꧀ꦗꦶꦁꦕꦸꦫꦶꦒ꧉

Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keris menempati sarung, sarung menempati keris.
— Setiap orang memiliki perannya masing-masing. Dalam hal ini khususnya mengibaratkan antara pemerintah dan rakyatnya.


꧋ꦢꦶꦗꦸꦥꦸꦏ꧀ꦲꦶꦮꦏꦺ​ꦲꦗ​ꦔꦤ꧀ꦠꦶ​ꦧꦸꦛꦼꦒ꧀ꦧꦚꦸꦤꦺ꧉

Dijupuk iwaké aja nganti butheg banyuné.
Ambil ikannya jangan sampai keruh airnya.
— Ajaran untuk menyelesaikan masalah atau mencapai sesuatu tanpa menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan.


꧋ꦢꦸꦫꦸꦁ​ꦲꦕꦸꦤ꧀ꦝꦸꦏ꧀ꦲꦕꦤ꧀ꦝꦏ꧀꧉

Durung cundhuk acandhak.
Belum bertemu (sudah) memegang.
— Belum mengerti atau memahami suatu persoalan, tetapi sudah ikut campur atau turut berbicara.


꧋ꦲꦼꦩ꧀ꦧꦤ꧀ꦕꦶꦤ꧀ꦝꦺ​ꦲꦺꦩ꧀ꦧꦤ꧀ꦱꦶꦭꦢꦤ꧀꧉

Emban cindhé emban siladan.
Diemban (dengan) cindai, diemban (dengan) irisan bambu.
— Seseorang yang membeda-bedakan; bersikap baik ke orang yang dia senangi dan bersikap buruk kepada orang yang dia tidak suka.


꧋ꦒꦸꦩꦺꦩ꧀ꦧꦿꦁ​ꦲꦺꦴꦫ​ꦲꦢꦁ꧉

Gumembrang ora adang.
Berisik (tetapi) tidak menanak nasi.
— Seseorang yang banyak berbicara dan mendaku dirinya mampu melakukan ini-itu tetapi sebenarnya tidak bisa melakukannya atau tidak ada hasilnya.


꧋ꦗꦩꦤ꧀ꦲꦶꦏꦸꦲꦺꦴꦮꦃ​ꦒꦶꦁꦱꦶꦂ꧉

Jaman iku owah gingsir.
Jaman itu selalu berubah.
— Keadaan masa lalu tidak selalu bisa diterapkan atau diperbandingkan dengan masa kini karena setiap zaman memiliki nilai dan kebiasaannya masing-masing.


꧋ꦏꦗꦸꦒꦿꦸꦒꦔꦸꦤꦸꦁ​ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁ꧉

Kajugrugan gunung kembang.
Terkena jatuhan gunung bunga.
— Seseorang yang mendapatkan keuntungan atau berkah yang luar biasa.


꧋ꦏꦺꦩ꧀ꦭꦝꦺꦪꦤ꧀ꦔꦗꦏ꧀ꦱꦼꦩ꧀ꦥꦭ꧀꧉

Kemladhéan ngajak sempal.
Benalu mengakibatkan patah.
— Seseorang yang hidup menumpang atau selalu mengandalkan orang lain untuk mengerjakan kewajibannya akan mendatangkan kesusahan untuk orang yang ditumpangi.


꧋ꦏꦿꦶꦮꦶꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦢꦢꦶꦒꦿꦺꦴꦗꦺꦴꦒꦤ꧀꧉

Kriwikan dadi grojogan.
Aliran kecil menjadi air terjun.
— Permasalahan yang mulanya kecil menjadi permasalahan yang besar.


꧋ꦏꦼꦧꦺꦴ​ꦤꦸꦱꦸ​ꦒꦸꦢꦺꦭ꧀꧉

Kebo nusu gudèl.
Kerbau menyusu ke anaknya.
— Orang tua yang meminta bantuan atau dinafkahi oleh anaknya.


꧋ꦏꦺꦴꦝꦺꦴꦏ꧀ꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁ​​ꦧꦛꦺꦴꦏ꧀꧉

Kodhok sajroning bathok.
Katak di dalam tempurung kelapa.
— Seseorang yang sangat berpikiran sempit dan tidak mau menerima pemikiran atau wawasan yang lebih luas.


꧋ꦊꦒꦺꦴꦤ꧀ꦭꦼꦩꦂ​ꦭꦸꦥꦸꦠ꧀ꦏꦠꦶꦮꦂ꧉​

Legon lemar luput katiwar.
Tunas kelor (untuk) perlengkapan upacara tidak terlantar.
— Seseorang yang mempunyai keterampilan atau nilai manfaat tidak mungkin terlantar hidupnya, pasti akan dicari orang dan mendapatkan pekerjaan.


꧋ꦩꦚ꧀ꦕꦭꦥꦸꦠꦿꦩꦚ꧀ꦕꦭ꧉

Mancala putra, mancala putri.
Berubah penampilan menjadi laki-laki, berubah penampilan menjadi perempuan.
— Mampu menyesuaikan diri dengan siapa pun atau di lingkungan mana pun. Hal ini juga disebut dalam pewayangan sebagai salah satu ilmu sakti.


꧋ꦲꦔꦧꦼꦤ꧀ꦱꦶꦔꦠꦶꦁ​ꦲꦤ꧀ꦢꦏ꧉

Ngaben singating andaka.
Mengadu tanduknya banteng.
— Menghasut orang yang berpengaruh untuk berkelahi dengan sesama orang yang berpengaruh.


꧋ꦲꦁ​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦲꦶ​ꦠꦥꦏ꧀ꦲꦶꦁ​ꦏꦸꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦔ꧀ꦭꦪꦁ꧉

Nggolèki tapaking kuntul nglayang.
Mencari jejak burung kuntul terbang.
— Melakukan hal yang tidak mungkin. Arti lainnya, mencari atau berusaha memahami sesuatu yang ada tetapi tidak terlihat (seperti Tuhan).


꧋ꦗꦗꦃ​ꦢꦺꦱ​ꦩꦶꦭꦁ​​ꦏꦺꦴꦫꦶ꧉​

Njajah désa milang kori.
Menjelajah desa/tempat menghitung pintu.
— Berkelana ke berbagai tempat untuk mengamati atau mempelajari berbagai hal sampai hal yang terkecil sekalipun.


꧋ꦲꦤꦸꦠꦸꦠ꧀ꦠꦶ​ꦭꦪꦁ​ꦔꦤ꧀ꦥꦼꦝꦺꦴꦠ꧀꧉

Nututi layangan pedhot.
Mengejar layangan putus.
— Mengejar sesuatu yang tidak sepadan dengan susah payahnya.


꧋ꦲꦺꦴꦭꦺꦃ​ꦲꦺꦠꦸꦁ​ꦔꦺ​ꦭꦸꦥꦸꦠ꧀ꦱꦸꦤ꧀ꦢꦸꦏꦺ꧉

Oleh étungé luput sunduké.
Mendapat hitungannya, meleset tusukannya.
— Sudah menyusun rencana dengan teliti, tetapi dalam pengerjaannya meleset.


꧋ꦉꦗꦼꦏꦶ​ꦲꦶꦏꦸ​ꦲꦺꦴꦫꦧꦶꦱꦢꦶꦠꦶꦫꦸ꧉

Rejeki iku ora bisa ditiru.
Rezeki itu tidak bisa ditiru.
— Orang akan mendapatkan rezeki yang berbeda-beda. Walaupun usaha orang dapat ditiru tetapi rezekinya tidak bisa ditiru.


꧋ꦫꦸꦧꦸꦃ​ꦫꦸꦧꦸꦃ​ꦒꦼꦝꦁ꧉

Rubuh-rubuh gedhang.
Roboh-roboh pisang.
— Seseorang yang beribadah hanya ikut-ikutan saja tanpa memahami maknanya.


꧋ꦱꦶꦁ​​ꦔꦶꦢꦸꦭ꧀ꦔꦶꦢꦸꦭ꧀ꦭ꧈​​ꦱꦶꦁ​​ꦔꦺꦠꦤ꧀ꦔꦺꦠꦤ꧀ꦤ꧉​

Sing ngidul ngidula, sing ngétan ngétana.
Yang mau pergi ke selatan ke selatanlah, yang mau pergi ke timur ke timurlah.
— Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan menjalani pilihannya.


꧋ꦱꦸꦒꦶꦃ​ꦮꦸꦮꦸꦱ꧀ꦤꦔꦶꦁ​ꦢꦺꦤ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦂꦥꦏꦺꦴꦭꦶꦃ꧉

Sugih wuwus nanging dèn sampar pakolih.
Kaya di perkataan tapi yang menyapu yang memperoleh.
— Seseorang yang banyak bicara tetapi tidak bekerja sehingga tidak mendapatkan hasil.


꧋ꦲꦸꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦲꦶꦁ​ꦥꦮꦂꦠ꧈​ꦱꦸꦢꦤꦶꦁ​ꦏꦶꦫꦶꦩꦤ꧀꧉

Undhaking pawarta, sudaning kiriman.
Bertambahnya kabar, berkurangnya kiriman.
— Berita biasanya ditambah-tambahi informasinya, sedangkan hadiah biasanya berkurang (misalnya karena dikorupsi).

Rabu, 04 Mei 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa II

Pepatah dan peribahasa Jawa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa. Melalui kata-kata bijak yang tersusun dalam bentuk kalimat pendek, pepatah atau peribahasa Jawa ialah kristalisasi nilai-nilai kehidupan dan filosofi yang diamalkan sejak lama dari generasi ke generasi. Mari jelajahi kekayaan pepatah dan peribahasa Jawa pada 25 contoh berikut.


꧋ꦲꦢꦶꦒꦁ​꧈​​ꦲꦢꦶꦒꦸꦁ​꧈​​ꦲꦢꦶꦒꦸꦤ꧉​

Adigang, adigung, adiguna.
Merasa paling kuat, merasa paling agung, merasa paling penting.
— Janganlah sombong merasa paling kuat, paling agung, dan paling penting.


꧋ꦲꦩ꧀ꦧꦼꦒ꧀ꦲꦢꦶꦭ꧀ꦥꦫꦩꦂꦠ꧉​

Ambeg adil paramarta.
Bernafas adil mulia.
— Memiliki kepribadian yang adil dan mulia.


꧋ꦲꦤꦏ꧀ꦥꦺꦴꦭꦃ​ꦧꦥꦏ꧀ꦏꦼꦥꦿꦝꦃ꧉​

Anak polah bapak kepradhah.
Anak bertingkah, ayah menanggung akibatnya.
— Tingkah laku anak akan ditanggung oleh orang tuanya.


꧋ꦧ꧀ꦭꦧ​ꦮꦸꦢ꧉​

Blaba wuda.
Dermawan telanjang.
— Seseorang yang dianggap terlalu dermawan atau murah hati sampai-sampai kebutuhannya sendiri tidak terpenuhi.


꧋ꦧ꧀ꦭꦁ​​ꦏꦼꦝꦶꦧ꧀ꦭꦁ​​ꦲꦺꦴꦫ​ꦏꦺꦴꦔꦁ​꧉​

Blang-kedhiblang ora kongang.
Selalu sibuk, tidak dapat.
— Orang yang sibuk mengerjakan ini dan itu, tetapi pada akhirnya tidak mendapatkan apa pun atau yang diinginkan.


꧋ꦧ꧀ꦭꦶꦭꦸ​ꦠꦲꦸ꧈​​ꦥꦶꦤ꧀ꦠꦼꦂ​ꦢꦸꦫꦸꦁ​​ꦔ꧀ꦭꦏꦺꦴꦤ꧀ꦤꦶ꧉​

Blilu tau, pinter durung nglakoni.
Bodoh pernah, pintar belum menjalani.
— Belum mempelajari secara teori atau formal, tetapi sudah pandai mengerjakan sesuatu karena praktik dan sering mencoba-coba. Arti lain, orang yang sudah praktik di lapangan akan lebih pintar daripada orang yang mempelajari sesuatu secara teori saja.


꧋ꦢꦃꦮꦺꦤ꧀ꦲꦠꦶ​ꦲꦺꦴꦥꦺꦤ꧀꧉​

Dahwèn ati opèn.
Suka mencerca, sebenarnya hatinya ingin memiliki.
— Mereka yang suka mengganggu atau mencerca seseorang sebenarnya menginginkan apa yang dimiliki orang tersebut.


꧋ꦝꦸꦮꦸꦂ​ꦮꦼꦏꦱ꧀ꦱꦤ꧀ꦤꦺ꧈ꦲꦼꦤ꧀ꦝꦺꦭ꧀ꦮꦶꦮꦶꦠ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦺ꧉

Dhuwur wekasané, endhèk wiwitané.
Tinggi akhirnya, pendek awalnya.
— Sesuatu yang dimulai dengan kecil dan sederhana memiliki akhir yang besar dan mulia. Hasil yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil.


꧋ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦧꦚꦸ​ꦲꦥꦶꦏꦸꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦮꦫꦶꦃ꧈​​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦒꦼꦤꦶ​ꦲꦢꦼꦢꦩꦂ꧉​

Golèk banyu apikulan warih, golèk geni adedamar.
Mencari air berbekalkan air, mencari api berbekalkan pelita.
— Ketika bercita-cita mendapatkan sesuatu, seseorang harus memastikan bahwa dirinya telah memiliki ilmu dan modal yang dibutuhkan untuk menggapainya. Arti lainnya, seseorang harus menguasai pengetahuan dasar sebelum melakukan suatu tugas.


꧋ꦒꦸꦥꦏ꧀ꦥꦸꦭꦸꦠ꧀ꦠꦺ​ꦲꦺꦴꦫ​ꦩꦺꦭꦸ​ꦩꦔꦤ꧀ꦤꦁ​ꦏꦤꦺ꧉​

Gupak puluté ora mèlu mangan nangkané.
Terkena getahnya, tidak ikut makan nangkanya.
— Bersusah payah karena suatu pekerjaan, tetapi tidak ikut merasakan hasilnya.


꧋ꦗꦼꦂ​ꦧꦱꦸꦏꦶ​ꦩꦮ​ꦧꦺꦪ꧉​

Jer basuki mawa béya.
Memanglah kesejahteraan membutuhkan biaya.
— Untuk memperoleh sesuatu, entah itu kebaikan, kemuliaan, keberhasilan, seseorang harus melakukan pengorbanan terlebih dahulu. Peribahasa ini dijadikan slogan provinsi Jawa Timur.


꧋ꦏꦼꦒꦼꦝꦺꦤ꧀ꦲꦼꦩ꧀ꦥꦾꦏ꧀꧈​​ꦏꦸꦫꦁ​​ꦕꦒꦏ꧀꧉​

Kegedhèn empyak, kurang cagak.
Terlalu besar rangka atap, kurang tiangnya.
— Kemauan lebih besar daripada kemampuan.


꧋ꦏ꧀ꦭꦸꦁ​ꦱꦸ​ꦏ꧀ꦭꦸꦁ​ꦱꦸ​ꦪꦺꦤ꧀ꦲꦸꦝꦸ꧉​

Klungsu-klungsu yèn udhu.
Biarpun sebesar biji asam tetap menyumbang.
— Seruan untuk tetap berkontribusi atau menyumbang walaupun kecil dan sedikit.


꧋ꦩꦼꦩꦪꦸ​ꦲꦪꦸꦤ꧀ꦤꦶꦁ​​ꦧꦮꦤ꧉​

Memayu hayuning bawana.
Memperindah keindahan dunia.
— Dunia diciptakan oleh Tuhan YME hakikatnya sudah indah. Sementara itu, manusia memiliki tugas untuk memelihara keindahan tersebut dan menambah nilai keindahan ke dunia, misalnya dengan berbuat kebajikan, berkesenian, atau mengembangkan ilmu pengetahuan.


꧋ꦩꦶꦏꦸꦭ꧀ꦝꦸꦮꦸꦂ꧈​​ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦼꦩ꧀ꦗꦼꦫꦺꦴ꧉​

Mikul dhuwur, mendhem jero.
Memikul tinggi, memendam dalam.
— Menjunjung tinggi kebaikan orang tua dan merahasiakan keburukan atau aibnya. Peribahasa ini juga bisa digunakan tidak sebatas untuk lingkungan keluarga.


꧋ꦤꦧꦺꦴꦏ꧀ꦚꦶꦭꦶꦃ​ꦠꦔꦤ꧀꧉​

Nabok nyilih tangan.
Memukul meminjam tangan.
— Melakukan suatu keburukan dengan memanfaatkan orang lain untuk melakukan keburukan tersebut.


꧋ꦔꦢꦶ​ꦱꦭꦶꦫ꧈​​ꦔꦢꦶ​ꦧꦸꦱꦤ꧉​

Ngadi salira, ngadi busana.
Memperindah diri, memperindah pakaian.
— Meningkatkan mutu diri atau kepribadian seseorang hendaknya dibarengi pula dengan memperindah bagian luar seperti pakaian, penampilan, dsj.


꧋ꦔꦭꦃ꧈​​ꦔꦭꦶꦃ꧈​​ꦔꦩꦸꦏ꧀꧉​

Ngalah, ngalih, ngamuk.
Mengalah, menyingkir, mengamuk.
— Jika mendapatkan masalah dengan orang lain, seperti diganggu atau semacamnya, seseorang hendaknya mengalah terlebih dahulu, kemudian pergi menghindari orang tersebut, bila masih tetap diganggu maka barulah dihadapi secara fisik.


꧋ꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸ​ꦲꦶꦏꦸ​ꦏꦼꦭꦏꦺꦴꦤ꧀ꦤꦺ​ꦏꦤ꧀ꦛꦶ​ꦭꦏꦸ꧉​

Ngèlmu iku kelakoné kanthi laku.
Mencari ilmu itu terwujud dengan tindakan.
— Proses belajar akan sempurna jika sudah diterapkan atau berwujud dalam tindakan.


꧋ꦔ꧀ꦭꦸꦫꦸꦒ꧀ꦠꦤ꧀ꦥ​ꦧꦭ꧈​​ꦩꦼꦤꦁ​​ꦠꦤ꧀ꦥ​ꦔꦱꦺꦴꦫꦏ꧀ꦏꦺ꧉​

Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraké.
Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan.
— Seseorang yang bijaksana bisa menang walau tanpa kekuatan besar dan kemenangan itu tidak akan membuat orang lain merasa dihormati.


꧋ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ​ꦪ​ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ꧈​​ꦤꦶꦁ​​ꦲꦗ​ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ꧉​

Ngono ya ngono, ning aja ngono.
Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu.
— Seseorang boleh saja berperilaku semaunya, tetapi jangan sampai berlebihan.


꧋ꦲꦺꦴꦧꦃ​ꦩꦩꦃ꧉​

Obah mamah.
Bergerak mengunyah.
— Seseorang yang masih hidup pasti bisa berusaha dan mendapat rezeki.


꧋ꦱꦢꦸꦩꦸꦏ꧀ꦧꦛꦸꦏ꧀꧈​​ꦱꦼꦚꦫꦶ​ꦧꦸꦩꦶ꧉​

Sadumuk bathuk, senyari bumi.
Sesentuhan kening, sejari bumi.
— Seruan untuk mempertahankan kehormatan dan apa yang dimiliki walaupun itu diganggu atau diusik sedikit saja. Hal ini bisa tentang pasangan atau kepemilikan tanah.


꧋ꦮꦼꦭꦱ꧀ꦠꦼꦩꦃꦲꦤ꧀ꦭꦭꦶꦱ꧀꧉​

Welas temahan lalis.
Belas kasihan berujung tumpas.
— Seseorang yang berbelas kasih dan memberikan pertolongan malah mendapatkan kesengsaraan.


꧋ꦮꦼꦫꦸꦃ​ꦲꦶꦁ​​ꦒꦿꦸꦧꦾꦸꦏ꧀꧈​​ꦲꦺꦴꦫ​ꦮꦼꦫꦸꦃ​ꦲꦶꦁ​​ꦉꦩ꧀ꦧꦸꦒ꧀꧉​

Weruh ing grubyuk, ora weruh ing rembug.
Tahu ikut-ikutan saja, tapi tidak tahu apa yang dibicarakan.
— Seseorang yang asal mengikuti atau melakukan sesuatu, tetapi sesungguhnya tidak memahami permasalahan atau maksud dari sesuatu tersebut.

Selasa, 19 April 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa I

Pepatah dan peribahasa Jawa adalah salah satu bentuk warisan budaya yang kaya dan mendalam dari budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah Jawa sering digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran, pengalaman, dan nilai-nilai kebijaksanaan yang telah tertanam di antara masyarakat Jawa. Melalui pepatah dan peribahasa, banyak kearifan lokal yang mampu menawarkan pandangan tentang kehidupan, kesusilaan, hubungan antarmanusia, serta keterhubungan manusia dengan alam dan kehidupan sekitarnya. Berikut 25 pepatah dan peribahasa Jawa beserta arti dan tulisan dalam aksara Jawa-nya.


꧋ꦲꦝꦁ​​ꦲꦝꦁ​​ꦠꦺꦠꦺꦱ꧀ꦱꦺ​ꦲꦼꦩ꧀ꦧꦸꦤ꧀꧉​

Adhang-adhang tètèsé embun.
Menunggu tetesnya embun.
— Menunggu datangnya sesuatu yang sedikit.


꧋ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦢꦶꦫꦶ​ꦢꦸꦩꦸꦤꦸꦁ​​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦭꦛꦶ꧈​​ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦫꦒ​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦧꦸꦱꦤ꧉​

Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.
Nilai diri berada pada bibir, nilai badan berada pada pakaian.
— Kehormatan diri seseorang bergantung pada pada tutur katanya, kehormatan badan/ragawi seseorang bergantung pada pakaiannya/penampilannya.


꧋ꦲꦭꦁ​​ꦲꦭꦁ​​ꦢꦸꦢꦸ​ꦲꦭꦶꦁ​​ꦲꦭꦶꦁ​꧉​

Alang-alang dudu aling-aling.
Halangan bukanlah penghalang/penutup.
— Halangan yang ditemui dalam menjalani hidup bukanlah penghalang untuk terus maju dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.


꧋ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦮꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦼꦭꦏꦺꦴꦤ꧀꧉​

Alon-alon waton kelakon.
Pelan-pelan asalkan terlaksana.
— Tidak apa-apa melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, asalkan dilaksanakan dengan baik dan tuntas.


꧋ꦲꦩ꧀ꦧꦼꦒꦸꦒꦸꦏ꧀ꦔꦸꦛꦮꦠꦺꦴꦤ꧀꧉​

Ambeguguk ngutha waton.
Diam tak bergerak seperti benteng batu.
— Orang yang memiliki pendirian dan sikap yang tidak tergoyahkan sama sekali.


꧋ꦲꦗ​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦮꦃ꧈​​ꦩꦼꦁ​ꦏꦺꦴ​ꦢꦢꦶ​ꦲꦺꦴꦮꦃ꧉​

Aja golék wah, mengko dadi owah.
Jangan mencari wah, nanti jadi berubah.
— Jangan mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan pujian atau perhatian dari orang lain, nanti akan kehilangan diri dan pegangan.


꧋ꦲꦤ​ꦕꦠꦸꦂ​ꦩꦸꦁ​ꦏꦸꦂ꧉​

Ana catur mungkur.
Ada perbincangan, membelakangi.
— Menghindari pembicaraan atau desas-desus yang buruk, tidak ingin terlibat meggunjingkan keburukan orang lain.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦶꦤ꧈​​ꦲꦤ​ꦲꦸꦥ꧉​

Ana dina, ana upa.
Ada hari, ada nasi.
— Tidak perlu khawatir berlebihan dengan rezeki, karena setiap hari kita hidup dan bekerja pasti akan mendapatkan rezeki.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦲꦸꦭꦠ꧀ꦠꦺ꧈ꦲꦺꦴꦫ​ꦲꦤ​ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦺ꧉​

Ana daulaté, ora ana begjané.
Ada berkatnya, tetapi tidak ada keberuntungannya.
— Seseorang yang memiliki berkat, kemampuan, dan pemberian untuk mendapatkan sesuatu, tetapi masih terhalang oleh keberuntungannya.


꧋ꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦩꦁ​ꦱ꧉​

Angon mangsa.
Menggembalakan musim.
— Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak atau memutuskan sesuatu.


꧋ꦲꦉꦥ꧀​ꦗꦩꦸꦂꦫꦺ​ꦲꦼꦩꦺꦴꦃ​ꦮꦠꦁ​ꦔꦺ꧉

Arep jamuré emoh watangé.
Mau jamurnya, tidak mau batangnya.
— Mau mendapatkan enaknya, tetapi tidak mau menanggung bagian yang tidak enaknya.


꧋ꦲꦱꦸ​ꦒꦼꦝꦺ​ꦩꦼꦤꦁ​​ꦏꦼꦫꦃꦲꦺ꧉​

Asu gedhé menang kerahé.
Anjing besar menang perkelahiannya.
— Mereka yang berpangkat tinggi, orang penting, para pembesar, dll. pasti lebih mudah menang dalam berpekara dengan orang yang lebih kecil atau masyarakat umum.


꧋ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦏꦼꦠꦶꦠꦶꦏ꧀ꦲꦭ​ꦏꦼꦠꦫ꧉​

Becik ketitik ala ketara.
Baik terlihat, buruk juga terlihat.
— Perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk sama-sama akan terlihat pada waktunya.


꧋ꦧꦤ꧀ꦝ​ꦠꦶꦠꦶꦥ꧀ꦥꦤ꧀​ꦚꦮ​ꦒꦝꦸꦃꦲꦤ꧀​ꦥꦁ​ꦏꦠ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦶꦂꦫꦤ꧀꧉​

Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran.
Harta titipan, nyawa pinjaman, pangkat gantungan/hiasan.
— Pencapaian duniawi tidaklah abadi, semuanya adalah pemberian dan titipan dari Yang Maha Kuasa.


꧋ꦧꦼꦫꦱ꧀ꦮꦸꦠꦃ​ꦲꦫꦁ​​ꦩꦸꦭꦶꦃ​ꦩꦫꦁ​​ꦠꦏꦼꦂꦫꦺ꧉​

Beras wutah arang mulih marang takeré.
Beras tumpah jarang kembali ke takarannya.
— Sesuatu yang sudah berubah atau rusak akan sulit kembali ke wujud atau hitungannya yang semula.


꧋ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦩꦼꦏ꧀ꦱ​ꦏ꧀ꦭꦼꦧꦸꦱ꧀꧉​

Cincing-cincing meksa klebus.
Menggulung-gulung (celana), tetap saja basah kuyup.
— Maksud hati ingin berhemat atau hidup irit, tetapi justru malah semakin banyak pengeluaran.


꧋ꦝꦪꦸꦁ​​ꦲꦺꦴꦭꦺꦃ​ꦏꦼꦝꦸꦁ​꧉​

Dhayung olèh kedhung.
Dayung memperoleh telaga.
— Seseorang yang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan pengalamannya.


꧋ꦒꦺꦴꦁ​​ꦭꦸꦩꦏꦸ​ꦠꦶꦤꦧꦸꦃ꧉​

Gong lumaku tinabuh.
Gong berjalan ditabuh.
— Seseorang yang pandai yang banyak dimintai saran di mana-mana ia berada. Arti lainnya, orang yang berbicara atau menceritakan berbagai hal tanpa diminta.


꧋ꦗꦠꦶ​ꦏꦠ꧀ꦭꦸꦱꦸꦥ꧀ꦥꦤ꧀ꦭꦸꦪꦸꦁ​꧉​

Jati katlusupan luyung.
Kayu jati terkena serpihan kayu aren.
— Seseorang yang semulanya baik mendapatkan pengaruh buruk dari orang jahat.


꧋ꦏꦱꦤ꧀ꦝꦸꦁ​​ꦲꦶꦁ​​ꦫꦠ꧈​​ꦏꦧꦼꦤ꧀ꦠꦸꦱ꧀ꦲꦶꦁ​​ꦲꦮꦁ​​ꦲꦮꦁ​꧉​

Kasandhung ing rata, kabentus ing awang-awang.
Tersandung di permukaan rata, terbentur di langit.
— Mendapatkan rintangan atau cobaan di tempat yang sebenarnya baik dan aman.


꧋ꦩꦼꦕꦺꦭ꧀ꦩꦤꦸꦏ꧀ꦩꦶꦧꦼꦂ꧉​

Mecèl manuk miber.
Memotong burung yang terbang.
— Seseorang yang serba-bisa atau memiliki kemampuan yang luar biasa.


꧋ꦱꦢꦮ​ꦢꦮꦤꦺ​ꦭꦸꦫꦸꦁ​​ꦲꦶꦱꦶꦃ​ꦭꦸꦮꦶꦃ​ꦢꦮ​ꦒꦸꦫꦸꦁ​꧉​

Sadawa-dawané lurung isih luwih dawa gurung.
Sepanjang-panjangnya lorong, masih lebih panjang tenggorokan.
— Berita atau pembicaraan yang dituturkan oleh orang-orang pasti akan menyebar jauh.


꧋ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦲꦢꦱ꧀​ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦧꦪꦼꦩ꧀꧉​

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem.
Menyembur-nyembur adas, menyiram-nyiram bayam.
— Harapan seseorang yang terkabulkan karena berkat dan doa dari banyak orang yang mendukung dan menyayanginya.


꧋ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦸꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦩꦼꦠ꧀꧉​

Sluman-slumun slamet.
Sembarangan tetapi selamat.
— Bersikap sembarangan, ugal-ugalan, tidak berhati-hati, tetapi tetap mendapatkan keselamatan.


꧋ꦮꦱ꧀ꦠꦿ​ꦧꦼꦝꦃ​ꦏꦪꦸ​ꦥꦺꦴꦏꦃ꧉

Wastra bedhah kayu pokah.
Kain robek kayu patah.
— Seseorang yang mengalami keburukan karena tingkah lakunya sendiri.

Rabu, 30 Maret 2022

Lima Rumpun Aksara Nusantara


Aksara Latin adalah aksara utama di seluruh kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Filipina, telah beralih dari aksara lokal ke aksara Latin pada zaman penjajahan bangsa Eropa. Hal itu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan saudari-saudari mereka di kawasan Asia Tenggara Daratan. Mulai dari Myanmar hingga Thailand (kecuali Vietnam) berhasil tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan aksara leluhur hingga sintas ke zaman modern. Walaupun demikian, fakta ini janganlah membuat kita lupa tentang keberadaan aksara-aksara asli yang pernah atau masih bertahan di kawasan Asia Tenggara Kepulauan, khususnya di Indonesia dan Filipina.

Aksara-aksara asli di kawasan Asia Tenggara Kepulauan ini dapat dikelompokkan menjadi sejumlah keluarga atau rumpun berdasarkan kemiripan dan kedekatan sejarah. Secara kolektif, aksara-aksara ini sering disebut sebagai “Aksara Nusantara” oleh orang Indonesia yang keseluruhannya diturunkan dari aksara pendahulunya, yakni aksara Kawi. Uli Kozok dalam buku Warisan leluhur: sastra lama dan aksara Batak membagi aksara-aksara Nusantara tersebut menjadi lima rumpun, yakni rumpun Carakan, rumpun Kaganga, rumpun Batak, rumpun Lontara, dan rumpun Filipina.

Rumpun Carakan
Rumpun aksara Carakan—juga dikenal dengan nama Hanacaraka—digunakan untuk menulis sejumlah bahasa di bagian selatan Indonesia, khususnya di wilayah sekitaran pulau Jawa dan pulau Bali. Hanacaraka diambil dari deret lima huruf pertama dalam aksara ini, yang secara harfiah bermakna ana caraka alias “ada utusan.”

Saat ini terdapat dua bentuk baku dari rumpun aksara Carakan, yaitu aksara Jawa dan aksara Bali. Keduanya telah terdaftar dalam Unicode. Aksara Jawa digunakan untuk menulis bahasa Jawa (sebagai aksara Jawa), bahasa Madura (sebagai Carakan Madhurâ), bahasa Cirebon (sebagai Carakan Cirebon), dan bahasa Sunda (sebagai Cacarakan Sunda). Untuk bahasa Sunda, penggunaan Cacarakan Sunda sudah jarang dijumpai karena aksara Sunda Baku sudah digunakan secara meluas dan menggantikannya. Selain bahasa-bahasa itu, bahasa Tengger dan bahasa Osing juga bisa ditulis menggunakan aksara Jawa. Sementara, aksara Bali umum digunakan untuk bahasa Bali dan bahasa Sasak di Lombok. Orang Sasak menyebut aksara ini sebagai aksara Jejawan Sasak, walaupun secara bentuk lebih mirip dengan aksara Bali saat ini.

Rumpun Kaganga
Rumpun aksara Kaganga digunakan secara meluas di bagian selatan Pulau Sumatra, yakni dalam wilayah provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Kaganga diambil dari deret tiga huruf pertama dalam aksara-aksara Kaganga. Aksara dalam rumpun ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, sehingga dari satu daerah ke daerah lain mungkin memiliki sedikit perbedaan rupa huruf dan gaya penulisan. Meskipun demikian, garis besar rancangan aksara ini masih bisa terlihat di kesemua ragamnya.

Tiga aksara yang paling umum dikenal dari rumpun aksara Kaganga adalah aksara Lampung, aksara Rejang, dan aksara Incung. Aksara Lampung digunakan untuk menuliskan bahasa Lampung yang dituturkan di provinsi Lampung. Sementara itu, aksara Rejang digunakan untuk menuliskan bahasa Rejang yang dituturkan di sebagian wilayah Bengkulu dan Sumatra Selatan. Aksara Incung digunakan untuk menuliskan bahasa Kerinci dan bahasa Melayu yang dituturkan di provinsi Jambi. Sebagian dari naskah Melayu tertua yang dikenal dengan nama Naskah Tanjung Tanah juga mengandung aksara Incung. Di luar ketiganya, terdapat banyak ragam aksara lainnya yang memiliki sedikit perbedaan dan dikenal dengan namanya sendiri, seperti aksara Ogan, aksara Komering, aksara Besemah, dan lain-lain. Upaya menyeragamkan dan membakukan aneka ragam aksara dalam rumpun Kaganga ini mungkin saja bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan dengan aksara Batak. Sejauh ini, dari keseluruhan ragam tersebut, hanya aksara Rejang yang telah terdaftar dalam Unicode, sehingga ragam aksara Rejang menjadi lebih dikenal di mayantara.

Rumpun Batak
Rumpun aksara Batak sejatinya memiliki lima ragam aksara, yakni aksara Toba, aksara Angkola-Mandailing, aksara Simalungun, aksara Pakpak-Dairi, dan aksara Karo. Akan tetapi, kelimanya kini telah dibakukan menjadi satu dan berhasil didaftarkan ke Unicode di bawah satu nama persatuan, yaitu “aksara Batak”. Walau didaftarkan dalam satu payung, keunikan masing-masing aksara (misalnya variasi bentuk) tetap dipertahankan. Upaya penyeragaman ini barangkali memiliki peluang yang lebih besar daripada rumpun Kaganga karena gaya penulisan atau tipografinya cukup seragam.

Aksara-aksara Batak digunakan untuk menuliskan seluruh rumpun bahasa Batak, kecuali bahasa Alas. Orang-orang Alas kemungkinan telah lama memeluk agama Islam dan menggantikan aksara Batak dengan aksara Arab Melayu. 

Rumpun Lontara
Rumpun aksara Lontara terbentang dari daerah Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Nusa Tenggara. Namanya diambil dari media tulis daun lontar yang juga biasa dijumpai di pulau Jawa atau Bali untuk menuliskan tuturan sejarah, agama, atau karangan lainnya. Rumpun aksara ini memiliki dua ragam utama, yakni aksara Makassar (disebut juga dengan Jangang-jangang) dan aksara Bugis. Akan tetapi, aksara Makassar telah lama ditinggalkan sejak abad ke-19 bahkan oleh orang-orang Makassar sendiri. Mereka kemudian ikut menggunakan aksara Bugis untuk menuliskan naskah-naskah berbahasa Makassar. Saat ini, aksara Makassar lebih lazim disebut aksara Makassar Kuno untuk membedakannya dengan aksara Bugis yang dianggap lebih baru. Aksara Lontara lantas bersinonim dengan aksara Bugis yang digunakan meluas di Sulawesi Selatan untuk menuliskan bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa Mandar.

Aksara Lontara juga diperkenalkan hingga ke luar daerah Sulawesi Selatan. Kemungkinan pengetahuan tentang aksara ini terbawa oleh para saudagar di pelabuhan-pelabuhan Nusa Tenggara. Hubungan ini menghasilkan tertularnya budaya tulis-menulis ke pulau Sumbawa dan Flores. Ragam turunan dari aksara Lontara di Sumbawa terbagi menjadi dua, yaitu aksara Satera Jontal yang lebih bersudut untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan aksara Mbojo yang lebih membulat untuk menuliskan bahasa Bima/Mbojo. Di pulau Flores, aksara Lontara menurunkan aksara Lota yang digunakan untuk menuliskan dua bahasa yang berhubungan erat, yaitu bahasa Ende dan bahasa Li’o. Tiga ragam Lontara di Nusa Tenggara ini pada umumnya mempertahankan rancangan khas masing-masing sekalipun dapat dikatakan masih satu kesatuan dengan aksara Lontara Sulawesi Selatan. 

Rumpun Filipina
Sesuai namanya, rumpun aksara Filipina dapat ditemukan di Kepulauan Filipina. Ada kalanya, nama Baybayin atau Suyat digunakan sebagai istilah yang lebih lokal untuk memayungi seluruh aksara-aksara dalam rumpun ini. Sebagai catatan, Baybayin mungkin dapat dianggap tidak seinklusif nama Suyat (bandingkan dengan istilah ‘surat’ dalam bahasa Indonesia) karena terlalu condong pada kebudayaan tertentu. Sedangkan Suyat lebih sering digunakan untuk menyebut seluruh aksara historis non-Latin di Filipina, termasuk ke dalamnya aksara berbasis abjad Arab.

Anggota aksara dalam rumpun ini antara lain aksara Baybayin, aksara Kulitan, aksara Haninu'o, aksara Buhid, dan aksara Tagbanwa. Aksara Baybayin seringkali digunakan sebagai istilah yang melingkupi beberapa aksara yang dianggap berasal dari satu sumber yang sama, yakni aksara Kurditan, Basahan, Badlit, dan yang paling dikenal yaitu aksara Baybayin Tagalog. Aksara Baybayin Tagalog adalah ragam paling dikenal dan paling sering terlihat karena digadang-gadang pemerintahannya sebagai aksara nasional. Kesemuanya ini dipercaya diturunkan dari aksara Kawi sebagaimana empat rumpun aksara lain yang ditemukan di Indonesia. Bukti-bukti penggunaan aksara Kawi pada masa lampau di Kepulauan Filipina dapat dilihat pada prasasti Lempengan Tembaga Laguna dan stempel gading Butuan.

Rumpun aksara Filipina ragam Baybayin disebut pernah digunakan di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Bolaang Mongondow. Meskipun benar bahasa Bolaang Mongondow merupakan rumpun bahasa Filipina, tetapi belum pernah ada bukti naskah atau bukti bendawi lainnya yang dapat mengonfirmasi penggunaan aksara Baybayin di wilayah penutur Bolaang Mongondow.

Jumat, 11 Februari 2022

Belajar Aksara Mbojo

Di bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, terdapat salah satu suku yang bahasanya memiliki aksara tersendiri. Suku tersebut adalah suku Bima, atau orang setempat lebih mengenalnya dengan istilah Dou Mbojo. Suku Mbojo utamanya menduduki daerah Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Nama “Bima” sendiri sebenarnya adalah sebutan yang disematkan oleh orang luar kawasan Mbojo untuk penduduk di daerah tersebut. Sebutan ini kemudian menjadi lebih terkenal dan digunakan hingga saat ini.

Aksara Mbojo bisa dibilang adalah aksara yang tengah dilestarikan kembali, setelah sempat terlupakan oleh masyarakat Mbojo selama beberapa abad. Aksara Mbojo utamanya digunakan untuk menulis bahasa Bima atau Nggahi Mbojo sekiranya sejak abad ke-14. Aksara ini merupakan penyesuaian dari aksara Lontara yang diperkenalkan oleh orang-orang dari Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Bima mulai memeluk Islam dan berubah menjadi kesultanan, penggunaan aksara Mbojo diganti menjadi aksara Arab-Melayu, yang puncaknya terjadi pada pertengahan abad ke-17. Semenjak itu, naskah-naskah berbahasa Melayu juga mulai menggeser penggunaan bahasa Mbojo sebagai bahasa pernaskahan kesultanan (Prasetya, 2022:112).

Berkenalan Kembali dengan Aksara Mbojo
Aksara Mbojo adalah aksara berjenis abugida, yakni aksara yang menuliskan bunyi bahasa berdasarkan suku kata. Setiap suku katanya terdiri dari satu aksara dasar yang umumnya membawa huruf mati dan aksara sandang yang umumnya membawa huruf hidup. Oleh karena itu, aksara Mbojo pada dasarnya bekerja dengan cara yang sama dengan aksara-aksara tradisional lainnya di Indonesia, seperti aksara Batak, Bali, Jawa, dan khususnya aksara Lontara Bugis. Kesemuanya itu ditulis dari kiri ke kanan dan secara tradisional tidak mengenal tanda spasi.

Aksara Mbojo tidak mengenal huruf ki /q/, ve /v/, eks /x/, dan zet /z/. Jika suatu kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya memiliki huruf ki, maka aksara yang akan digunakan adalah huruf ka /k/; sedangkan jika terdapat huruf zet, maka akan diubah menjadi huruf je /j/.

Aksara Dasar
Beberapa aksara dasar dapat dibaca dengan dua ragam pembacaan, yakni /ba/ dan /mba/, /da/ dan /nda/, /ga/ dan /ngga/. Sebagai contoh, Nggahi Mbojo (berarti ‘bahasa Bima’) ditulis dengan ga-hi bo-jo. Oleh sebab itu, seseorang harus memahami bahasa Mbojo terlebih dahulu untuk dapat mengucapkan secara tepat tiap aksara sesuai konteksnya.

Untuk menuliskan bunyi /i/, /u/, /e/, dan /o/, dapat menggunakan huruf /a/ dengan tambahan aksara sandang yang sesuai bunyi masing-masing.

Aksara Sandang
Aksara sandang adalah lambang-lambang khusus yang ditambahkan pada aksara dasar untuk menambahkan atau mengubah bunyi. Semua aksara dasar secara otomatis telah mengandung bunyi /a/ jika tidak ditambahkan lambang sandang tertentu.

Lambang lingkaran di atas atau di bawah berfungsi untuk mematikan huruf hidup, sehingga huruf /ka/ dengan lingkaran di atas menjadi huruf /k/ saja. Sementara itu, lambang mirip burung yang diletakkan di bawah aksara berfungsi untuk menggandakan konsonan. Sebagai contoh, kata tawakkal  ditulis dengan penggandaan pada huruf /ka/ dan pemati pada huruf /la/.

Lambang adalah lambang ulang yang berfungsi untuk mengulang suku kata atau keseluruhan kata sebelumnya. Lambang ini kemungkinan berasal dari lambang serupa dalam aksara Jawa pangrangkep yang berasal dari angka dua dalam aksara Arab /٢/. Contoh penggunaan mengulang keseluruhan kata, ulama-ulama ditulis . Contoh penggunaan mengulang suku kata (tanpa membawa aksara sandang), rora  atau bebe .

Tanda Baca
Aksara Mbojo mengenal setidaknya empat tanda baca. Titik dua dan titik tiga berfungsi kurang lebihnya seperti koma atau titik pada aksara Latin yang memisahkan antara satu kalimat/frasa dengan kalimat/frasa yang lain. Sementara itu, titik dua garis berfungsi sebagai pengakhir kalimat. Pendapat lain menyatakan bahwa titik dua garis berfungsi untuk menandai akhir alinea (kumpulan kalimat). Tanda akhir bagian yang berbentuk seperti ketupat berfungsi untuk menandai akhir dari bagian tulisan atau akhir dari keseluruhan tulisan.


Berikut beberapa contoh penggunaan aksara Mbojo untuk menjelaskan nama-nama peralatan dapur dalam bahasa Mbojo berserta artinya dalam bahasa Indonesia.

 
Aksara Mbojo Hari ini
Saat ini aksara Mbojo mulai dihidupkan kembali melalui beragam program, baik oleh pemerintah maupun kegiatan swadaya masyarakat, mulai dari diterbitkannya buku mengenai warisan aksara Mbojo, bimbingan teknis aksara Mbojo di kalangan pemerintahan dan tenaga pendidikan, perlombaan menulis dalam aksara Mbojo, penulisan aksara Mbojo (diserta aksara Arab-Melayu) di plang-plang jalan di Kota Bima, serta juga rencana untuk memasukkan aksara Mbojo dalam kurikulum lokal di sekolah.

Kiri: Plang tiga aksara di Kota Bima, menampilkan aksara Latin di paling atas, aksara Jawi-Melayu di tengah dan aksara Mbojo di paling bawah [sumber Facebook Tanao Aksara Mbojo Bima]. Kanan: Aksi vandalisme orang tidak bertanggung jawab mencoret bagian aksara Mbojo pada 2022 [sumber Facebook Dewi Ratna Muchlisa].

Meskipun demikian, tidak semua kalangan menyukai gerakan pelestarian ini. Sebagian kalangan mempunyai sentimen negarif terhadap gerakan penghidupan kembali aksara Mbojo ini; bahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja mencoret aksara Mbojo pada sejumlah plang-plang jalan yang sudah terpasang. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi segenap masyarakat Mbojo agar dapat menghargai warisan budaya dengan lebih adil.

Catatan Kaki
Prasetya, Sukma Pedana, dkk. 2022. Geografi Kesejarahan Indonesia. Lakeisha.
Abubakar, Syukri. Aksara Bima Usaha Menemukenali dan Mengembangkannya.


Jumat, 07 Januari 2022

Kesalahan Umum dalam Merancang Desain Dwibahasa

Umumnya masyarakat Indonesia mampu berbicara dalam dua atau tiga bahasa, yakni bahasa daerah tempat mereka tumbuh, bahasa Indonesia yang dipelajari lewat sekolah dan media massa, serta tambahannya ialah bahasa asing, entah itu bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Kenyataan ini sedikit banyak juga tercermin dalam bahasa tulis, sehingga contoh-contoh kedwibahasaan—atau ketribahasaan—dalam dunia desain grafis Indonesia juga tak jarang dijumpai.

Sebuah persoalan kemudian muncul ketika seorang desainer grafis dihadapkan dengan permintaan desain yang harus tersedia dalam dua atau tiga bahasa. Tentu permintaan ini bukanlah permintaan biasa yang umumnya hanya terdiri dari satu bahasa saja, mungkin hanya bahasa Indonesia atau hanya bahasa Inggris. Banyak desainer grafis kemudian memperlakukan tulisan yang berbeda bahasa ini selayaknya suatu bahasa yang sama. Hal ini bisa jadi memunculkan rancangan-rancangan yang wagu dan kurang sedap dibaca. Sejumlah kesalahan umum yang dilakukan dalam merancang desain dwibahasa dan bagaimana kiat menghindarinya akan diuraikan dalam paparan-paparan kilat berikut.

Menggunakan Tanda Kurung
Sebagian desain grafis menggunakan tanda kurung atau tanda baca lainnya (biasanya tanda miring / atau tanda pisah -) untuk menyekat bahasa kedua, sehingga terlihat terpisah dari bahasa utama. Hal ini merupakan kesalahan lumrah yang barangkali terbawa dari kebiasaan-kebiasaan penulisan dokumen. Atau, desainer grafis melihat permintaan desain dengan tulisan isi yang masih mentah menggunakan tanda kurung tersebut. Lantas ia meneruskan penggunaannya pada media desain yang lain untuk keperluan pampangan (display) yang sesungguhnya mempunyai kebiasaan tata letak agak berbeda. 

Kiri: Gerbang keberangkatan Bandara Halim Perdana Kusuma via BeritaTrans. Kiri: Gerbang Keberangkatan Bandara Lombok via Detik.
Untuk menunjukkan bahwa kedua tulisan adalah bahasa yang berbeda, cara yang bisa ditempuh cukup sebatas pemberian ruang kosong di antaranya keduanya, pembedaan letak, pembedaan gelap-terang yang halus, pembedaan warna, atau pembedaan format tipografi tulisan. Garis tipis kadang juga bisa dimanfaatkan untuk memberi jarak yang jelas antarbahasa. Hal ini utamanya penting untuk pembuatan papan tanda yang bersifat kedaruratan yang butuh dibaca dengan cepat; juga ketika kedua bahasa yang ditampilkan menggunakan aksara yang sama, misalkan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda sama-sama menggunakan aksara Latin.

Tidak Menampilkan Hubungan Antarbahasa yang Sesuai
Menampilkan bahasa-bahasa yang berbeda pada sebuah bidang desain biasanya terkikat oleh peraturan tertentu, baik dalam tingkat nasional maupun regional. Desainer grafis umumnya harus memproduksi rancangan yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Kiri: Plang Bank BRI di Bali. Kanan: Papan nama toko KFC di Brunei.
Menampilkan Jenjang
Banyak negara yang memiliki bahasa-bahasa yang beraneka ragam memiliki aturan bahasa yang ketat. Sebagai contoh di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia untuk keperluan iklan, papan tanda dll. yang dapat didampingi dengan kehadiran bahasa daerah atau bahasa asing, sehingga kehadiran materi desain dalam bahasa daerah atau bahasa asing saja menjadi tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Di Brunei Darussalam, aksara Jawi wajib dicantumkan di papan tanda, plang toko, dll. dalam ukuran yang lebih besar daripada aksara Latin, dengan warna yang lebih jelas daripada aksara Latin dan diletakkan di atas aksara Latin. Hal ini seakan hendak mengukuhkan kedudukan bahasa Melayu-Jawi di atas bahasa asing Inggris-Latin. Hal itu memiliki kemiripan dengan peraturan daerah di Bali yang mewajibkan penggunaan serta peletakan aksara Bali di atas aksara Latin pada papan nama kantor dan fasilitas umum, sekalipun ukuran tulisan masih bisa dikompromikan selama masih tampak berimbang satu sama lain.

Menampilkan Kesetaraan
Ada kalanya, bahasa-bahasa dalam suatu wilayah diatur agar memiliki kedudukan yang kurang lebih setara, seperti bagaimana kebijakan bahasa Singapura (bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Tamil, dan bahasa Tionghoa) atau kebijakan bahasa Selandia Baru (bahasa Inggris dan bahasa Maori). Kesetaraan ini juga harus diwujudkan dalam desain grafis. Pengaturan format teks yang berbeda akan menimbulkan kesan bahwa salah satu bahasa dianggap lebih unggul daripada bahasa yang lain. Misalnya, orang akan menganggap suatu desain tidak adil jika pilihan bahasa Inggris dicetak tebal (sehingga lebih menonjol), sedangkan pilihan bahasa Maori dicetak tipis (sehingga kurang menonjol). Hal itu bisa dianggap mengisyaratkan adanya upaya mengesamping hak ekspresi kebudayaan suatu komunitas di atas komunitas lainnya. Oleh sebab itu, kedua tampilan bahasa harus diformat secara sama baik dari segi ukuran, gelap-terang, pemilihan fontasi, dll. bahkan penataan teks yang direkomendasikan ialah secara sejajar menyamping, bukan menurun. 

Masalah Keterbatasan Area Rancangan
Salah satu momok dalam mendesain sesuatu adalah keterbatasan area rancangan. Desainer grafis perlu mencoba-coba berbagai cara untuk memberikan titik temu paling masuk akal antara permintaan desain, luas area rancangan, dan konsistensi dari keseluruhan gaya dan gagasan desain. Banyak contoh desain yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari telah mengorbankan salah satu unsurnya sehingga tampak kurang memanjakan mata. Satu yang paling umum adalah ‘menggeprek’ teks demi mengepaskan tulisan dengan area rancangan yang tersedia sehingga proporsi bawaannya menjadi penyok tidak keruan.



Setidaknya terdapat tiga unsur yang patut Anda seimbangkan ketika merancang desain multibahasa: (1) tulisan isi dari permintaan desain, (2) luas area rancangan yang tersedia, dan (3) konsistensi terhadap gaya desain. Upaya-upaya yang mungkin bisa ditempuh ketika menjumpai permasalahan keterbatasan ini berangkat pada tiga unsur tersebut dan pemilihan unsur apa yang paling masuk akal untuk ‘dikorbankan’ alias dikompromikan.

Perbedaan Gaya Fontasi Antaraksara
Ketika bekerja dengan desain dwibahasa, tak jarang kita berhadapan dengan desain dwiaksara pula. Desainer-desainer grafis di Yogyakarta dan Bali mungkin lebih berpengalaman berhadapan dengan rancangan dwiaksara ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia, sebab penggunaan kembali aksara Jawa dan aksara Bali sedang digencarkan.

Salah satu contoh papan peringatan yang baik dengan masing-masing aksaranya (Latin-Tionghoa-Tamil) memiliki gaya yang setipe, yaitu berkesan modern, tanpa kontras atau ciri-ciri kaligrafis. Walaupun mungkin beberapa tulisan tampak sedikit penyet.
Satu hal yang mungkin menjadi sandungan ketika melakukan rancangan-rancangan dwiaksara adalah tidak adanya banyak gaya yang tersedia untuk aksara-aksara daerah. Satu contoh saja, di Bali terdapat banyak materi dwiaksara. Tulisan bahasa Indonesia beraksara Latin banyak dicetak dalam fontasi bergaya nirkait, sebut saja Helvetica, yang mampu memberikan kesan modern, tetapi fontasi aksara Bali kebanyakan hanya tersedia dalam gaya kaligrafisnya saja sehingga ketika keduanya dipadukan visualnya terasa sedikit timpang. Seakan-akan bahasa yang beraksara Latin pembawa kemodernan dan aksara Bali tetap tinggal di dunia tradisi. Hal itu sah-sah saja jika memang ingin memberi kesan etnik dengan menyorot identitas adat dan kesenian turun-temurun. Akan tetapi, jika digunakan untuk reklame rumah makan cepat saji kekinian atau papan nama perkantoran, tentu ada keputusan desain yang lebih baik daripada itu. Untung saja dalam satu dasawarsa ini, semakin banyak fontasi bergaya modern yang lahir, misalnya Noto Sans Balinese generasi kedua, dan boleh digunakan oleh sesiapa saja.

Komputer Tidak Mendukung Aksara Tertentu
Tentu tofu—alias tahu—lambang 􏿮 adalah mimpi buruk bagi mereka yang mendesain dwiaksara, atau sekedar sama-sama aksara Latin tetapi menggunakan diakritik khusus seperti â (a caping) dalam bahasa Madura atau ŵ (w caping) dalam bahasa Nias. Lambang tersebut berarti fontasi yang digunakan tidak memiliki karakter atau aksara tersebut. Oleh karena itu, seorang desainer juga harus memberikan perhatian dalam proses cetak atau pembuatan materi dwibahasa, apakah tulisan-tulisan khususnya akan dikerjakan dengan tepat di tempat percetakan.