Sabtu, 09 Desember 2017

Apresiasi WordArt


WordArt adalah salah satu fitur unik dalam Microsoft Word. Pekerjaan utama dari WordArt adalah memodifikasi tulisan sehingga terlihat lebih nyeni, sebagaimana arti namanya. WordArt memberi efek-efek tertentu, seperti bayang-bayang, garis pinggir, warna-warni, gradien, dan efek trimatra  pada tulisan terpilih sehingga tampak lebih aduhai. Selain itu, WordArt juga bisa membengkokkan, menarik, memiringkan, dan mengubah bentuk utama tulisan.


Cara menggunakan WordArt terbilang mudah. Cukup dengan menekan pilihan Insert WordArt. Dengan membuka kotak dialog WordArt, Anda akan disuguhi dengan pelbagai macam pilihan ciamik contoh tampilan-tampilan teks modifikasi. Fitur ini ternyata tidak hanya dimiliki oleh Microsoft Word, peranti lunak bebas OpenOffice memiliki fitur sejenis dengan nama FontWork. Sementara itu, Photoshop juga memiliki fitur demikian yang memungkinkan untuk mengubah-ubah bentuk teks.



WordArt adalah salah satu hasil budaya komputer yang termasyhur. Kita mengalami saat-saat SMP atau SMA, atau bahkan juga SD, dengan berbangga-bangga memamerkan hasil kesenian WordArt pada berkas presentasi atau sampul tugas sekolah kepada teman-teman. Operator-operator warung internet juga sering menggunakan WordArt untuk poster tempel sederhana pada bilik-bilik warnet. Desainer grafis vernakular juga tak kalah sering memanfaatkan WordArt untuk membikin undangan atau sampul CD-DVD musik bajakan. Belakangan, WordArt juga jamak digunakan sebagai salah satu unsur eklektik pada gerakan seni, jika bisa dikatakan demikian, estetika baru.
 

Estetika baru belum bisa dikatakan sebagai istilah yang kukuh. Estetika baru lebih berupa ejawantah pengaruh estetika dunia komputer pada karya-karya di dunia nyata, sehingga keduanya bercampur. Contoh estetika baru adalah seperti arsitektur gedung yang meniru bentuk piksel atau lukisan yang menggunakan efek glitch. WordArt jika mengilhami apa yang di luar komputer, instalasi tipografi misalnya, dapat dikatakan sebagai bagian dari estetika baru. Namun, kita tidak bermaksud ke arah sana. Kita ingin menyebut sesuatu untuk semacam estetika yang lahir dari budaya komputer dan internet itu sendiri, tanpa melihat apakah ia lahir ke dunia fisik atau tidak. Terdapat beberapa pilihan istilah di sini, di antaranya, estetika-jelek internet (internet ugly aesthetic)[1], estetika gadis Tumblr (teen-girl Tumblr aesthetic) [2], atau hanya estetika Tumblr (Tumblr aesthetic) saja, estetika seapunk, estetika vaporwave dan estetika internet.


Estetika ini adalah kesatuan tabrak visual yang tidak terarah, mencomot pelbagai macam unsur kerupaan dari berbagai konteks yang masing-masingnya saling tidak terhubung. WordArt sebagai salah satu keistimewaan budaya komputer awal, sering ditampilkan pada jenis estetika ini bersama dengan toolbox khas Microsoft Windows '98.

Beberapa karya grafis Zefan, mahasiswa UNJ, yang terilhami jenis estetika alternatif ini.
Barangkali sebagian desainer grafis profesional, baik yang menempuh sarjana atau pun swadidik, benar-benar terganggu dengan jenis estetika ini. Arustama yang mengagungkan mazhab Swis dengan International Typographic Style-nya tidak akan rida dengan penyelewengan estetika semacam itu. Mazhab Swis yang patuh pakem dan memiliki garis-garis khayali yang penuh kaidah mungkin tampak menggairahkan bagi sebagian orang. Akan tetapi, kita tidak boleh menyangkal bahwa karya-karya 'amatir' estetika Tumblr ini menawarkan gairah baru terhadap kesenian digital; dan ternyata tidak semua orang bisa menciptakan estetika dengan langgam yang satu ini. Butuh keahilan khusus dan penghayatan terhadap selera rupa yang tidak lazim dan mungkin dianggap kamseupay.


WordArt yang membentang ke sana ke mari dengan warna-warna norak memberikan pengalaman sikedelik yang terbawa dari tahun-tahun 1960-1970-an. WordArt adalah satu dari serangkaian hipnosis yang kita butuhkan untuk penyakit-jiwa keindahan modern yang kaku dan dingin. WordArt adalah tempat kita tertawa dan bermain, menemukan kembali kejenakaan yang riang pada karya desain yang telah lama terbelenggu aturan-aturan. Kita mungkin bisa menemukan seribu desainer grafis yang mampu menciptakan dan memahami keindahan baku dari Adobe Illustrator atau CorelDRAW; tetapi hanya sedikit dari seribu itu yang mampu menciptakan dan memahami keindahan dari WordArt.  


[1] Douglas, Nick. 2014. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1470412914544516
[2] Marshall, P. David, & Redmond, Sean A Companion to Celebrity. hal. 339

Kamis, 07 Desember 2017

Mengenal Langgam Retro



Mode adakalanya, atau bahkan seringkali, mengambil inspirasi dari masa lalu. Oleh karena itu, mode menjadi terulang. Pengulangan ini apabila dipergunakan secara piawai, tetap akan relevan dengan masa kini, malah akan menambah nilai keistimewaan dari sebuah karya desain atau seni.
Kita bisa sadari betapa penggemar masa silam ini kian terbilang di sekitar kita. Kita pasti punya kawan atau saudara yang menggunakan motor vespa atau motor honda kuno yang dirawat dengan sepenuh hati, menggunakan potongan cutbrai; atau juga mojang-mojang Bandung yang memperdayakan gaya busana khas 70-an dengan penuh percaya diri dan keceriaan.
Dalam dunia desain, kita mengenal istilah retro. Istilah retro merujuk pada desain-desain yang mengambil ilham dari produksi-produksi rancangan pada masa silam, dengan sedikit atau banyak penyesuaian dengan budaya dan perkembangan teknik masa kini. Retro di antaranya di bagi menjadi beberapa langgam kondang. Dalam karangan ini, langgam retro yang akan dibahas adalah Angkatan Estetika (Aesthetic Movement), Seni Nuvo (Art Nouveau) dan Seni Deko (Art Deco).

Angkatan Estetika (1860-1890) atau estetikisme ditandai dengan desain yang memiliki potongan-potongan bersudut, geometris, tipis dan rumit—saling bersinggungan seperti jemaring laba-laba. Objek-objek yang dimunculkan terilhami dari alam, selayaknya tumbuh-tumbuhan dan kadang kala juga burung. Langgam ini agaknya terpengaruh rancangan ketimuran khas Jepang. Karena ketemadunannya, langgam ini dapat ditata menjadi pola-pola yang begitu padat, yang dapat digunakan untuk membuat dekorasi pojokan yang elok; atau juga dapat diambil sejumput untuk pemanis pada sebuah desain yang bersih.



Contoh desain huruf dengan langgam ini sedikit sulit ditemukan karena inspirasi utamanya adalah alam sehingga menjadi mirip-mirip dengan langgam Seni Nuvo. Akan tetapi, petunjuk akan potongan-potongan yang bersudut dan bentuk huruf yang cenderung geometris akan membantu kita membedakannya. Huruf-huruf dengan potongan kaku, dipadukan dengan lengkungan atau olakan yang memberikan pengalaman baru terhadap perpaduan bentuk.



Langgam ini dapat dipergunakan untuk keperluan yang mancaragam. Kesan-kesan jadul atau pun modern dapat diperoleh dari penggunaan desain ini secara tepat. Rancangan menu sebuah restoran retro atau desain kemasan sabun ciptaan artisan tentu menjadi sangat relevan apabila menggunakan langgam ini.

Seni Nuvo (1890-1910) adalah gerakan seni garda-depan di sekitaran abad ke-20. Gerakan ini menampilkan kesenian yang dipenuhi unsur-unsur alam, sering kali ditata secara asimetris pada bingkai tinggi dan tipis. Rancangan-rancangan Seni Nuvo menampilkan daun, bunga dan sulur yang mengalir dan menjalar dengan campuran hiasan eksotik budaya ketimuran. Seni Nuvo mengesankan kemewahan, misteri dan dekadensi. Langgam ini dapat digunakan untuk mengesankan suatu desain berasal dari Perancis atau Belgia, atau kemewahan permulaan abad ke-20. 


Model huruf pada zaman ini ditandai dengan bentuk-bentuk yang alamiah. Huruf-hurufnya bercokol berkelindan seperti tumbuhan, meniru bentuk daun, bunga dan sulur. Huruf-huruf tidak patuh pada pakem tradisional yang memiliki ikatan kuat dengan kejurutulisan dan kaligrafi. Oleh karenanya, huruf-huruf dalam Seni Nuvo ini lebih cocok digunakan untuk keperluan huruf pampangan atau pameran; bukan teks atau paparan.

Seni Deko (1920-1930) termasyhur pada awal abad ke-20. Langgam ini dinamai pertama kali di Perancis pada tahun 1920-an, tetapi asalnya satu dasawarsa sebelumnya atau lebih jauh lagi. Langgam ini mengawinkan pengaruh geometris dari Angkatan Estetika dengan bidang-bidang bentuk dari Zaman Mesin (Machine Age); ditandai dengan penghiasan yang padat dan bentuk-bentuk yang bahadur. Pola-pola dapat dibentuk dari barisan puspani hingga bidang-bidang kubistik.



Model huruf pada zaman Seni Deko ini terpengaruh dari gerakan futurisme Italia dan konstruktivisme di Rusia. Model huruf yang sering ditampilkan adalah huruf nirkait atau sans-serif. Bangun huruf-hurufnya sederhana sehingga mudah dikenali dan dibaca. Namun, berbeda dengan proporsi umum dan terukur dari huruf nirkait, seperti Akzidenz-Grotesk atau Helvetica yang modernis, huruf-huruf nirkait pada era Seni Deko ini memiliki proporsi yang istimewa, yang umumnya digunakan memang untuk kepentingan huruf pampangan. Yang dimaksud dengan proporsi istimewa di sini adalah perbandingan bangun hurufnya tidak mirip dengan model huruf pada umumnya. Huruf besar bisa terlampau besar jika dibandingan dengan huruf kecilnya. Lebar dua lembungan huruf B bisa berbeda drastis antara atas dan bawahnya. Bentuk hurufnya dapat sangat geometris.

Langgam ini dapat disarankan untuk tujuan desain yang khusus, yakni berhubungan dengan era tersebut, seperti penggarapan desain poster film The Great Gatsby, yang memang berasal dari buku yang ditulis dan dilatari pada era tersebut. Meskipun pola dan hiasan Seni Deko ini sebenarnya memungkinkan untuk dipergunakan untuk keperluan lain yang bisa dikombinasikan dengan unsur desain yang lain.

Itulah tiga langgam retro yang dijelaskan dalam artikel ini, yang menurut hemat penulis, memiliki keistimewaan rupa tipografik yang lebih kentara dibandingan dengan era dan gerakan kesenian yang lain, entah itu neobarok atau pun neoklasik.

Jumat, 28 April 2017

Falsafah di Balik Pa Cerek & Nga Lelet

Aksara Jawa ialah tata tulis yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Dalam riwayatnya yang panjang, aksara Jawa juga pernah digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu, Sunda, Madura, Sasak, dan Tionghoa. Perkembangan aksara Jawa dalam bentuk penerbitan karya tulis buku dan semacamnya harus terhenti dengan pilunya pada zaman penjajahan Jepang. Hal ini cukup berbeda dengan Belanda yang cenderung memberikan prasarana untuk perkembangan kebudayaan bumiputra.
Jika dibandingkan dengan aksara Latin Indonesia yang sedang Anda baca sekarang ini, aksara Jawa tergolong lebih rumit. Selain disebabkan bentuk huruf-hurufnya yang mirip-mirip satu sama lain sehingga proses dekode menjadi lebih sukar, aksara Jawa punya kerumitan lain. Aksara Jawa memiliki aturan-aturan pelik yang memiliki pengecualian-pengecualian yang istimewa pada pertemuan-pertemuan tertentu. Salah dua pengecualian itu adalah Pa Cerek dan Nga Lelet.


Sebelum membahas mengenai dua hal istimewa ini, alangkah baiknya sekilas kita mengenal tata tulis aksara Jawa. Aksara Jawa berbeda dengan aksara Latin. Aksara Jawa terkelompok dalam golongan tata tulis abugida, masih sekeluarga besar dengan aksara-aksara India dan aksara Thai; dan bahkan bisa dikatakan masih sesaudara jauh dengan aksara Hangul asal semenanjung Korea. Aksara abugida memiliki ciri-ciri kesukukataan alias silabis, yakni satu huruf terdiri dari satu suku kata. Suku kata terdiri dari bunyi konsonan dan bunyi vokal. Misalkan untuk menuliskan kata Ja-wa dalam aksara Jawa hanya membutuhkan dua huruf, sementara membutuhkan empat huruf pada aksara Latin. Untuk menciptakan bunyi hidup yang berbeda-beda, umumnya dilakukan dengan menambah tanda tertentu pada huruf, mirip seperti huruf Arab pada Alquran. Lihat contoh untuk menuliskan kalimat, "kang koki ke kakek Kukuh" seperti di bawah ini. Huruf ka ditambah dengan harakat tertentu sehingga memiliki bunyi yang diinginkan.


Pa Cerek dan Nga Lelet adalah simpangan yang diterima secara umum sebagai salah satu kaidah pakem dalam ortografi aksara Jawa. Pa Cerek dan Nga Lelet adalah aksara ganten yang berperan mengganti kasus pertemuan aksara dan sandhangan tertentu. Pa Cerek adalah aksara pengganti untuk bunyi re seperti pada kata bahasa Indonesia "karena" atau "remaja." Kalau biasanya, untuk menuliskan suku kata dengan konsonan ra hanya tinggal menambahkan sandhangan swara sehingga berbunyi ra ri ru re atau ro. Namun khusus suku kata dengan huruf ra plus pepet (sandhangan pembentuk suara /ə/), hurufnya berganti menjadi huruf Pa Cerek. Pa Cerek memiliki pasangan yang juga serupa dengan pasangan huruf pa pada umumnya, tetapi dibubuhi jumbai pada bagian bawahnya.



Sementara itu Nga Lelet berkenaan dengan huruf la. Nga Lelet adalah huruf khusus untuk menggantikan aksara la yang bertemu dengan sandhangan swara pepet, contohnya jika dalam bahasa Indonesia adalah bunyi le pada kata "lelaki" atau "lebur." Aksara pengganti untuk ini adalah huruf nga dengan pasangan na. Namun kedua gabungan itu tidak dibaca sebagaimana huruf nga dan pasangan na bertemu, melainkan dibaca sebagai le. Berbeda dengan Pa Cerek, Nga Lelet tidak mempunyai ragam pasangan sehingga hanya dapat terjadi apabila suku kata sebelumnya adalah suku kata terbuka/tidak berakhir dengan konsonan.

Contoh di bawah ini menjelaskan bentuk asli dan bentuk pasangan dari huruf Pa Cerek. Sedangkan untuk huruf Nga Lelet hanya memiliki bentuk asli saja, tanpa bentuk pasangan yang khusus. Contoh pertama Pa Cerek bertuliskan "arep adang" dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "akan menanak," dan contoh kedua berbunyi "mangan rempela" yang artinya "makan ampela." Untuk contoh Nga Lelet bertuliskan "masku lemu" yang artinya "abangku gendut," dan yang kedua berbunyi "adol lemah" yang berarti "menjual tanah."


Dari wawancara dengan bapak Wijotohardjo, pengawai bagian redaksi majalah mingguan bahasa Jawa Panjebar Semangat, Pa Cerek dan Nga Lelet mengandung makna falsafi kehidupan orang Jawa. Beliau menuturkan pada sebuah intermeso, bahwa Pa Cerek harus menggantikan huruf ra ketika bertemu dengan pepet sebab ra itu mewakili rasa. Rasa tidak boleh ditutupi, melainkan harus diungkapkan. Rasa yang ditutupi hanya terjadi apabila nyawa tidak dikandung badan. Rasa dalam hal inipenulis tafsirkantidak hanya mengenai emosi dan penginderaan saja, melainkan meliputi pendapat, hati dan sikap batin yang terjadi dari dalam diri. Rasa apabila sudah ditutup, maka hidup juga ditutup. Selama masih memiliki hidup, maka rasa harus terus berlanjut. Itulah mengapa baik didahului akhiran suku kata vokal atau konsonan, Pa Cerek harus terus ada.

Hal berbeda terjadi untuk Nga Lelet. La dengan pepet mewakili kata lawang. Lawang atau dalam bahasa Indonesia pintu, adakalanya harus ditutup dan adakalanya harus dibuka. Pintu di sini dapat kita tafsirkan tidak hanya sebagai celah tempat keluar masuk dari dan ke dalam suatu ruangan, melainkan juga dapat ditafsirkan keterbukaan diri, ada saatnya bersikap terbuka dan ada saatnya menahan diri. Itulah mengapa huruf Nga Lelet tidak perlu digunakan jika suku kata sebelumnya ditutup dengan konsonan. Pada kasus tersebut, Nga Lelet berganti lagi menjadi bentuk asalnya yaitu pasangan huruf la dan sandhangan swara pepet. Untuk lengkapnya lihat contoh sebelumnya.

Pa Cerek dan Nga Lelet adalah dua contoh sederhana dari falsafah hidup orang jawa yang dimaknai dari aksara Jawa dan kaidahnya. Tentu selain yang dua itu, terdapat banyak sekali pelajar hidup orang Jawa lainnya yang dapat kita hayati bahkan hanya dari sebentuk aksara.

_____________________________________________

Wawancara dilakukan dengan bapak Wijotohardjo selaku staf redaktur pada tanggal 13 April 2017 di kantor Panjebar Semangat, Bubutan, Surabaya. Beliau adalah pegawai terlama di Panjebar Semangat yang masih giat bekerja hingga sekarang.

Dalam artikel ini, ditampilkan aksara Jawa dengan fontasi Nawatura karya Aditya Bayu. Dapat disaksikan di https://www.behance.net/gallery/45981265/Javanese-font-Nawatura