Sabtu, 28 April 2018

Etika Tipografi Liraksara


Beberapa tempo lalu, saya kembali dibuat berpikir oleh gagasan orang yang ada-ada saja. Salah seorang teman saya di kampus bercerita bahwa salah satu kawannya memberikan kritik terhadap beberapa karya fontasi saya yang terunggah di pelbagai situs internet.

Ia menitipkan pesan bahwa karya-karya fontasi saya "bertentangan dengan agama Allah." Pada waktu itu, saya langsung tahu fontasi yang manakah yang dimaksud si empunya amanat ini. Fontasi-fontasi yang dimaksud oleh orang ini adalah fontasi-fontasi saya yang kem-Arab, alias kearab-araban. Fontasi saya sesungguhnya adalah aksara Latin, tetapi memiliki rupa yang mengambil acuan dari aksara Arab, hijaiah. Inilah yang disebutnya sebagai "bertentangan dengan agama Allah."

Teman saya waktu itu menanggapinya dengan gagasan bahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah bentuk keindahan dan Allah pun menyukai keindahan; kurang lebihnya begitu. Akan tetapi, bukan sanggahan itu yang terlintas dalam benak saya.

Hal ini membuat saya teringat tentang seseorang di internet yang bertanya kepada saya, intinya: apakah etis menggunakan tipografi Latin yang dirancang mirip aksara Arab? Apakah hal tersebut tidak menyinggung mereka dan kebudayaan mereka?

Dalam peristiwa ini, si penanya waktu itu hendak berpelesir ke Dubai dengan kekasihnya. Mereka berdua hendak mencetak sepasang kaos dengan tulisan Latin yang mirip Arab di bagian depan. Sang kekasih ragu, dan merasa bahwa pemilihan tipografi yang demikian akan menyinggung kebudayaan mereka. Hal ini dianggap semacam apropriasi budaya (cultural appropriation).

Tanggapan senada juga mencuat dari kalangan pemerhati kebudayaan Jawa. Istilah 'jawa palsu' sering disematkan secara negatif untuk fontasi atau tipografi aksara Latin yang memiliki tampilan yang mirip aksara Jawa. Hal ini pernah saya bahas pada esai berjudul Antara Dubai dan Yogyakarta: Esai Tentang Huruf yang Berkompromi. Jenis huruf yang demikian itu dianggap tidak mempromosikan aksara Jawa sejati, bahkan malah menghalanginya untuk tampil ke ruang publik.

Saya menyebut jenis fontasi lintas aksara seperti itu sebagai jenis fontasi liraksara. Lir artinya mirip, sedangkan aksara artinya sitem bahasa tulis. Istilah ini dimaksudkan untuk disepadankan dengan istilah berawalan faux- (bahasa Perancis; bahasa Inggris dari false) dalam dunia tipografi. Misalnya faux-Arabic (lir-Arab), faux-Habrew (lir-Ibrani), dan faux-Java (lir-Jawa). Bentuk huruf aksara Latin dirancang sedemikian rupa untuk mengomunikasikan kebudayaan lain melalui peniruan bentuk khas aksara tertentu.

Berbicara tentang budaya dan apropriasi budaya, tidak lepas dari kelompok-dalam (in-group) dan kelompok-luar (out-group) dari suatu kebudayaan. Fontasi atau tipografi liraksara sesungguhnya bisa digunakan secara tepat tanpa didakwa yang neka-neka. Kunci utamanya adalah komunikasi yang memperhatikan dari siapa dan untuk siapa suatu pesan tipografi disampaikan. Hal yang seringkali keliru dilakukan adalah penggunaan jenis huruf liraksara ini terhadap kelompok-dalam, baik dari sesama anggota kelompok maupun dari luar kelompok.

Contoh penggunaan tipografi liraksara yang keliru, diambil dari IG @ululazmiunair
Desain huruf yang meniru aksara tertentu dapat digunakan secara tepat atau malah keliru sama sekali. Hal ini bergantung pada naluri pengguna hurufnya. Tipografer atau desainer grafis dalam hal ini mengambil peran besar apakah karya fontasi telah dipergunakan sesuai dengan kaidah atau jati diri dari fontasi tersebut. Salah satu contoh kekeliruan ini adalah pada huruf timbul berukuran besar bertuliskan nama "Masjid Ulul Azmi" di Kampus C, Universitas Airlangga. Meskipun fontasi tersebut diciptakan untuk menimbulkan kesan yang kearab-araban atau bahkan Islami, tetapi fontasi sejenis ini seyogianya dipakai untuk keperluan komunikasi dari komunitas Muslim/Arab ke luar komunitasnya (yang umum atau tidak berafiliasi dengan kelompok Muslim/Arab). Fontasi liraksara ini diperuntukkan untuk mengomunikasikan gagasan tentang kelompok tertentu ke luar kelompok tersebut, khususnya mereka yang tidak mampu membaca aksara aslinya. Hal ini menjadi kurang tepat sebab orang-orang yang datang ke masjid bisa dianggap seluruhnya melek aksara hijaiah. Jadi tidak perlu menggunakan aksara 'palsu' untuk mengomunikasikan identitas budaya Arab/Islam.


Dua contoh fontasi di atas, Mukadimah dan Nurkholis, telah dipakai secara 'benar' di beberapa acara amal dan kampanye keislaman di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah dunia di mana Islam/bangsa Arab bukanlah penduduk kebanyakan di sana. Inilah bagaimana seharusnya fontasi liraksara digunakan. Fontasi berfungsi menjembatani dua budaya berbeda. Demikian pula dengan fontasi lir-Jawa. Fontasi lir-Jawa contohnya dapat digunakan untuk film-film dengan latar tempat atau budaya Jawa, tetapi menggunakan bahasa Indonesia dan untuk ditayangkan secara nasional ke seluruh negeri (yang tentu tidak semuanya berbahasa dan mampu membaca aksara Jawa sejati).

Contoh penggunaan tipografi liraksara yang tergolong tepat pada film "Keramat"
Fontasi liraksara jika digunakan untuk berkomunikasi di kalangan sendiri, yang umumnya atau seharusnya mampu membaca aksara asli, dipandang kurang etis. Begitu pula jika orang luar kelompok budaya menggunakan fontasi liraksara untuk berkomunikasi dengan kelompok budaya yang memiliki aksara aslinya. Penggunaan kurang tepat itulah yang barangkali memicu tanggapan-tanggapan 'keras' dari kalangan budaya sendiri, seperti halnya "bertentangan dengan agama Allah". Akan tetapi, ihwal "bertentangan dengan agama Allah" bukanlah tujuan awal dari diciptakannya fontasi liraksara tersebut. Fontasi liraksara apabila digunakan secara tepat, dapat membangun dan mempererat komunikasi di antara dua budaya yang berbeda; membangun kesepahaman atau bahkan juga turut menyemai kedamaian dunia.

Kamis, 26 April 2018

Meneliti Aksara-aksara dari Wakanda, Negeri Fiksi dalam Black Panther

Salah satu hal yang selalu memukau dari penuturan fiksi, baik dalam bentuk novel maupun film adalah detail dari dunia fiktifnya. Dunia rekaan dalam Black Panther adalah salah satunya. Film adiwira Black Panther yang diangkat dari komik Marvel dengan judul yang sama ini menempatkan kebudayaan Afrika yang bineka ke panggung yang jauh lebih pantas di kancah antarbangsa.

Dalam dunia komik Marvel, Black Panther berasal dari negara rekaan bernama Wakanda di salah satu sisi benua Afrika. Wakanda adalah negara berdaulat yang gemah ripah loh jinawi akan logam terkuat paling berharga bernama vibranium. Dalam versi filmnya, latar belakang budaya negara Wakanda, dikembangkan dan dilengkapi sedemikian rupa melebihi detail mula-mula yang berasal dari komiknya. 

Wakanda berhasil menukil berbagai macam referensi kebudayaan Afrika dan memadupadankannya menjadi serangkaian perca yang sangat apik. Dalam versi filmnya yang rilis tahun 2018, empat suku dalam negara Wakanda berbicara salah satu ragam bahasa Xhosa, salah satu bahasa resmi yang dituturkan di Afrika Selatan dan Zimbabwe. Sementara itu, suku Jabari yang mengasingkan diri ke pegunungan berbicara dalam dialek Igbo, bahasa asli yang dituturkan di Nigeria bagian tenggara.

Dengan menampilkan bahasa yang asli, negeri Wakanda dalam versi film Black Panther ternyata juga memakai referensi aksara yang asli pula. Aksara sebagai penanda kemajuan suatu budaya menjadi salah satu perhatian khusus dalam perekaan dunia Wakanda. Dalam beberapa detail adegan, diperlihatkan aksara-aksara asli Afrika yang dicomot dari beberapa acuan budaya Afrika. Hal ini akhirnya juga membuat dunia tahu bahwa Afrika memiliki beberapa aksara asli yang tak kalah menarik di antara aksara-aksara kebudayaan lain di dunia.

Shuri menggunakan simbol wawa aba dari aksara Adinkra.
Jika penonton Black Panther cukup jeli, akan tampak lambang-lambang asing di sepanjang film ini. Beberapa lambang-lambang ini bisa dikenali dengan mudah karena sedikit mirip dengan objek yang kita jumpai sehari-hari, seperti tetumbuhan dan hewan-hewan. Kumpulan simbol ini bukanlah hal yang dibuat-buat. Simbol-simbol ini didapat dari aksara Adinkra, aksara yang masih digunakan oleh orang-orang Akan di Ghana.

Lambang-lambang Adinkra
Pada adegan T'Challa pulang ke Wakanda, kemudian disambut hangat oleh ibundanya dan Shuri, adindanya; tampak Shuri mengenakan kaus bergambar simbol wawa aba, salah satu ideogram dalam aksara Adinkra. Simbol ini mengacu pada biji pohon wawa. Biji pohon wawa, bagi orang-orang Akan di Afrika barat, bermakna keteguhan, kekuatan, dan kemampuan bertahan melalui kesulitan.

W'Kabi mengenakan jubah biru berpola aksara Bamum
Kepala pertahanan Wakanda, W’Kabi, juga tampak menggunakan jubah biru dengan pola mirip aksara di sepanjang film Black Panther. Pola berwarna keemasan ini dikenali sebagian besarnya sebagai aksara Bamum, aksara dari Nigeria Tenggara.

Aksara Bamum
Aksara Bamum dikembangkan oleh raja masyarakat Bamum, Inbrahim Njoya, pada penghujung abad ke-19 Masehi. Aksara ini dikembangkan untuk mewadahi perkembangan pengetahuan di kerajaannya sendiri. Mereka mempunyai buku dan kronik dengan aksara ini, berisikan pengetahuan tentang sejarah, pengobatan, hukum dan lain-lain.

Aksara Nsibidi (atau Neo-Nsibidi) pada pilar ruang pertemuan di Black Panther
Nakia berdiri di depan pola aksara Nsibidi yang bermakna "pertemuan"



Pada beberapa adegan dalam Black Panther, juga ditemukan beberapa aksara dan pola yang menarik. Pola ini diperoleh dari aksara Nsibidi, bahasa tulis yang digunakan oleh kelompok kepercayaan rahasia bernama Ekpe di Nigeria Timur. Aksara ini digunakan oleh kelompok tersebut secara rahasia di antara kalangan sendiri, sehingga orang-orang luar tidak dapat mendapatkan informasi yang mereka dilindungi.



Aksara Nsibidi ini kemudian dikembangkan oleh Oluwaseun Osewa dan Hannah Beachler (sebagai desainer produksi) menjadi ragam yang lebih mutakhir. Mereka menamainya Neo-Nsibidi. Hal ini sejalan dengan semangat Afrofuturisme yang mereka angkat.

T’Challa berjalan dengan latar belakang layar beraksara Wakanda

Aksara resmi Wakanda banyak ditemui di ruang publik
Sebagai negara termaju dalam bidang teknologi pada saat itu, Wakanda memperlihatkan banyak panel dan layar canggih berkaitan dengan teknologi yang mereka punya dan kembangkan di negaranya. Pada layar-layar tersebut, tampak pancaran aksara-aksara berpola yang bergerak-gerak. Tampaknya aksara tersebut adalah salah satu aksara resmi yang digunakan di negeri Wakanda. Aksara ini juga banyak ditampilkan pada ruang publik perkotaan di Wakanda dan juga transisi tulisan pada banyak adegan yang beralih aksara ke aksara Latin.

Aksara Wakanda
Hannah Beachler sebagai desainer produksi mengembangkan aksara yang disebut aksara Wakanda. Beachler kurang lebihnya membutuhkan waktu enam bulan untuk meneliti dan mengembangkan ragam mutakhir dari aksara kuno yang menjadi sumbernya, yakni aksara masyarakat Tifinagh dan Saba. Aksara Wakanda inilah yang paling sering ditampilkan dalam film Black Panther. Aksara ini tergolong alfabetis dan ditulis dari kiri ke kanan secara mendatar seperti aksara Latin. Bahkan Anda sekarang dapat mengunduhnya dan menggunakan fontasi bernama Wakanda Forever oleh Adam Shady untuk turut merasakan getaran Afrofuturisme dari Black Panther.


Bacaan: