Sabtu, 16 Desember 2023

Belajar Aksara Ogan

Sumbagsel alias Sumatera Bagian Selatan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang menyimpan kekayaan susastra. Di wilayah ini, aksara turunan Kawi berkembang ke dalam banyak ragam yang memiliki sedikit perbedaan satu sama lain. Walaupun berbeda-beda, terdapat istilah payung untuk menyebut keseluruhan rumpun aksara di wilayah selatan pulau Sumatera ini. Istilah tersebut dikenal dengan aksara Ulu atau kadang juga disebut sebagai Kaganga (diambil dari tiga huruf pertama). Beberapa anggota rumpun aksara Ulu meliputi aksara Lampung, aksara Rejang, aksara Incung, dan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu aksara Ogan.

Aksara Ogan adalah tulisan yang dikenal oleh masyarakat Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, dan Ogar Ilir di Sumatera Selatan dan sebagian wilayah Lampung. Akan tetapi, aksara Ogan sesungguhnya tidak terbatas pada suku Ogan saja, melainkan adalah aksara yang dikenal oleh empat suku yang mendiami lembah sungai Ogan, yaitu suku Ogan sendiri, suku Penesak, suku Rambang, dan suku Pegagan. Aksara ini pada zaman dahulu umum ditulis menggunakan media alami seperti bambu, kulit kayu, dan sebagainya.

Berkenalan dengan Aksara Ogan
Aksara Ogan terdiri dari 23 aksara dasar dan 8 aksara sandang. Aksara dasar secara bawaan memiliki bunyi vokal ê pepet atau schwa (seperti pada kata sêdap). Hal ini unik mengingat aksara Nusantara lainnya umumnya memiliki bunyi bawaan a, bukan ê pepet, sekalipun dalam aksara Bali yang bahasanya memiliki logat ê pepet. Sementara itu, aksara sandang berfungsi untuk mengubah bunyi bawaan tadi menjadi bunyi-bunyi lainnya atau menghilangkan bunyi (menyisakan huruf mati saja). Selengkapnya lihat poster di bawah ini.

Sebagai catatan, aksara Ogan tidak membedakan bunyi u dan o sehingga penulisannya disamakan. Hal lainnya, kemungkinan bunyi i dan é (bunyi e seperti pada kata enak) juga disamakan karena penyamaan ini lebih lazim dalam bahasa-bahasa di Nusantara daripada menyamakan bunyi ê pepet dengan bunyi é. 

Papan nama Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ulu menampilkan aksara Ogan, foto dari Google Maps.

Keraguan
Aksara Ogan masih perlu diteliti lebih lanjut sehingga aturan penulisan aksara dan lain-lain dapat diselaraskan dengan bukti-bukti naskah terdahulu. Hal ini penting karena terdapat banyak ketidakwajaran jika dibandingkan dengan aksara-aksara kerabat. Beberapa ketidakwajaran itu meliputi, (1) bunyi vokal bawaan ê pepet dan bukan a sehingga (2) memiliki aksara sandang a secara khusus; (3) banyak contoh penggunaan menyamakan bunyi ê pepet dan é, hal ini kemungkinan besar terganggu kerangka berpikir aksara Latin; (4) aksara Ogan tidak bisa menggabungkan aksara sandang. Penggabungan aksara sandang di aksara Nusantara lainnya sangat wajar ditemukan, sebagai contoh suku kata “kung” dapat dibuat dengan huruf dasar ka + sandangan u + sandangan ng. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan aksara Ogan, jadi untuk menuliskan “kung” harus ditulis dengan huruf dasar ke + sandangan a + huruf nge + pemati vokal. Keanehan tersebut barangkali timbul akibat kerancuan bunyi bawaan ê pepet dan bunyi a atau kekeliruan pencatatan pada zaman dahulu.

Kamis, 16 November 2023

Melihat Kemiripan Aksara Hangeul dan Kawi

Sulit untuk membayangkan bahwa aksara Kawi dan Hangeul memiliki hubungan walaupun hanya sedikit saja. Keduanya berasal dari kebudayaan yang berbeda dan tidak memiliki keterikatan satu sama lain. Keduanya muncul di wilayah yang terpisah jauh dan memiliki sejarah perkembangan serta bentuk huruf dan bahasa yang berbeda pula.

Aksara Kawi dikenal sebagai sistem penulisan kuno yang digunakan secara meluas di Nusantara pada abad ke-8 hingga 16 Masehi, dengan prasasti dan naskah yang banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan hingga Filipina; aksara pemersatu wilayah Nusantara pada zamannya. Hangeul, di sisi lain, adalah sistem penulisan yang dikembangkan di Korea selama abad ke-15 oleh Raja Sejong yang Agung dan para cendekiawan di istana Joseon. Hangeul dirancang sebagai aksara baru yang memudahkan orang untuk belajar membaca dan menulis, sebuah upaya untuk menggantikan aksara Tiongkok yang dianggap rumit dan tidak mudah dipelajari masyarakat luas.

Walaupun aksara Hangeul umumnya dianggap sebagai rekaan baru, terdapat satu pendapat bahwa aksara Hangeul sebenarnya mengambil sedikit ilham dari aksara Phagspa. Aksara ini dirancang oleh seorang biksu asal Tibet untuk Kekaisaran Yuan yang saat itu di bawah kekuasaan Mongol. Desainnya banyak terpengaruh oleh aksara Tibet yang merupakan salah satu anggota dari keluarga besar aksara-aksara Brahmi India. Oleh karena itu, sesungguhnya menjadi mungkin bagi kita untuk menarik garis keterhubungan antara aksara Hangeul di Semenanjung Korea dan aksara Kawi di Nusantara. Keduanya tidak sepenuhnya berasingan. Lihat bagan pohon di bawah ini untuk melihat kemungkinan hubungannya (karya Starkey Comics).

Beberapa huruf dalam aksara Hangeul dan Kawi memiliki kemiripan bentuk. Di antaranya pada huruf ra, da, ba, sa, ka, dan pa. Perlu dicatat, hal ini merupakan kemiripan umum yang hanya mengandalkan pengamatan visual semata, bukan pendapat berdasarkan keilmuan epigrafi atau semacamnya. Sedikit kemiripan ini akan memudahkan bagi pembaca aksara Hangeul dan aksara Kawi untuk mengenali aksara satu sama lain.

Sabtu, 01 Juli 2023

Empat Injil dalam Bahasa dan Aksara Batak Toba

Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa Batak yang digunakan oleh suku-suku Batak yang tinggal di sekitaran wilayah Sumatera Utara, Indonesia. Bahasa ini termasuk ke dalam keluarga besar bahasa Melayu-Polinesia dan masih berkerabat dengan bahasa Sunda, Jawa, Bugis, Madura, dan ratusan bahasa lainnya di Nusantara.

Bahasa Batak Toba saat ini utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari dan nyanyian lagu-lagu tradisional suku Batak Toba. Bahasa ini juga digunakan dalam berbagai keperluan upacara adat dan ritual keagamaan suku Batak Toba. Meskipun demikian dalam keperluan tulis-menulis, bahasa Batak Toba beserta aksaranya saat ini sudah jarang digunakan karena bahasa Indonesia telah mengambil alih peran tersebut. Hal serupa juga dialami banyak bahasa daerah lainnya di Indonesia.

Walaupun tradisi tulis-menulis dalam bahasa dan aksara Batak mengalami kemunduran yang pesat, kita masih bisa menjumpai jejak-jejak tradisi tulisnya di jagat maya dalam bentuk berkas pindaian (scanned documents). Banyak di antara berkas-berkas ini merupakan digitalisasi dari buku-buku cetak berbahasa dan beraksara Batak dari abad ke-19. Ajaran kekristenan ialah tema utama dari sejumlah berkas-berkas yang masih lestari ini. Berikut antaranya empat Injil dalam bahasa dan aksara Batak.


Injil Markus
Injil Markus adalah salah satu dari empat Injil dalam Perjanjian Baru Alkitab Kristen. Injil ini ditulis oleh Markus, seorang pengikut Yesus Kristus dan juga seorang sahabat dekat Petrus. Injil Markus menyoroti pelayanan Yesus sebagai Mesias serta penderitaan-Nya dan pengorbanan-Nya. Markus menggambarkan Yesus sebagai seorang juru selamat yang kuat dan penuh kuasa, tetapi juga menekankan bahwa penderitaan dan kematian-Nya adalah bagian penting dari rencana penyelamatan Tuhan.

Injil Markus tersedia dalam bahasa dan aksara Batak Toba. Injil ini diterbitkan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap di Amsterdam pada 1867. Unduh berkasnya di sini.


Injil Matius
Injil Matius adalah salah satu dari empat Injil dalam Perjanjian Baru Alkitab Kristen. Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang dari dua belas murid Yesus Kristus. Injil Matius memiliki fokus yang kuat pada aspek pengajaran Yesus. Injil ini berisi sejumlah besar ajaran dan perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus kepada pengikut-Nya. Selain itu, Injil Matius juga berisi berbagai peristiwa penting dalam kehidupan Yesus, seperti kelahiran-Nya, khotbah di bukit, mukjizat-mukjizat, peristiwa penyaliban, dan kebangkitan-Nya.

Injil Matius tersedia dalam bahasa dan aksara Batak Toba. Injil ini diterbitkan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap di Amsterdam pada 1867. Unduh berkasnya di sini.


Injil Lukas
Injil Lukas adalah salah satu dari empat Injil yang terdapat dalam Perjanjian Baru Alkitab Kristen. Injil ini ditulis oleh Lukas, seorang pengikut Yesus dan rekan rasul Paulus. Injil Lukas ditulis untuk memberikan narasi terperinci tentang hidup, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus.

Injil Lukas dalam bahasa dan aksara Batak Toba ini diterbitkan di Amsterdam pada 1859 oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap. Unduh berkasnya di sini.


Injil Yohanes
Injil Yohanes adalah salah satu dari empat Injil Perjanjian Baru dalam Alkitab Kristen. Injil ini ditulis oleh Rasul Yohanes, salah satu murid Yesus. Injil Yohanes memiliki gaya penulisan bercerita yang unik dan menonjolkan ajaran-ajaran ketuhanan yang mendalam.

Dalam hal gaya penyampaian dan isi, Injil Yohanes berbeda dengan tiga injil lainnya, yakni Matius, Markus, dan Lukas yang sering disebut sebagai Injil Sinoptik. Injil ini berfokus pada pengajaran Yesus sebagai Anak Allah yang kekal dan penebus dosa umat manusia. Dalam Injil Yohanes, penekanan diberikan pada kehidupan dan ajaran Yesus, serta tanda-tanda mukjizat yang Ia lakukan untuk memperkuat kepercayaan kepada keilahian-Nya.

Injil Yohanes dalam bahasa dan aksara Batak Toba berikut diterbitkan di Amsterdam pada 1859. Unduh berkasnya di sini.


Sabtu, 24 Juni 2023

Fontasi Gratis Alternatif Times New Roman

Nama Times New Roman sangatlah kondang. Ia adalah fontasi yang banyak digunakan di beragam keperluan, khususnya percetakan buku, majalah, atau koran. Di Indonesia, karya tulis ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis dan disertasi diwajibkan oleh banyak perguruan tinggi untuk ditulis dalam fontasi Times New Roman. Hal ini mungkin membuat sebagian orang jenuh, terutama dari segi estetis, bukan karena fontasi Times New Roman memiliki mutu teknis yang buruk, melainkan karena sudah terlampau terpaut dengan dunia akademik dengan pemakaian yang berulang-ulang.


Jika Anda memiliki keperluan menyetak buku atau poster dan ingin menggunakan fontasi sejenis Times New Roman, tetapi bukan Times New Roman, berikut beberapa alternatif fontasi gratis yang mungkin bisa Anda coba bahkan untuk keperluan komersial. 

Pilihan Klasik
Garamond
Fontasi Garamond adalah salah satu jenis huruf yang terkenal karena keindahan dan keanggunan desainnya. Namanya diambil dari perancangnya yang berkebangsaan Prancis, Claude Garamond. Fontasi ini memiliki karakteristik yang elegan dan proporsi yang khas, membuat mata pembaca nyaman berlama-lama menikmati buku.

Fontasi Garamond cocok digunakan untuk keperluan majalah, buku, dan materi cetak lainnya yang membutuhkan tampilan yang lebih formal dan tradisional. Kelebihannya terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan kejelasan dan keterbacaan bahkan dalam ukuran yang kecil. Versi gratis dari fontasi Garamond, bernama EB Garamond, yang dirancang ulang oleh duo Georg Duffner dan Octavio Pardo dapat Anda unduh secara bebas di internet dan dapat digunakan secara komersil.

Versi gratis: EB Garamond
Keluarga fontasi: 10 ragam
Unduh di halaman Google Fonts

Baskerville
Fontasi Baskerville merupakan salah satu jenis huruf yang memiliki desain klasik dengan keterbacaan yang tinggi. Nama fontasi diambil dari nama pembuatnya, yaitu John Baskerville, seorang desainer huruf berkebangsaan Inggris abad ke-18.

Baskerville dikenal memiliki desain huruf dengan tebal tipis yang kentara. Tebal tipis yang kontras ini kemudian juga berimbas pada tampilan kait atau serif yang lebih mencolok dibandingkan fontasi-fontasi sejenis. Hal ini membuat tulisan dengan font Baskerville tampak tajam dan mudah dibaca baik dalam bentuk cetak maupun digital. Ketika digunakan pada keperluan yang sesuai, Baskerville mampu memberikan kesan yang berkelas dan mewah pada materi cetak, publikasi, atau desain visual apa pun. Salah satu versi gratis yang paling terkenal dari Baskerville dikembangkan oleh Impallari Type dengan judul Libre Baskerville.

Versi gratis: Libre Baskerville
Keluarga fontasi: 3 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Caslon
Caslon adalah salah satu fontasi berkait klasik lainnya. Ia dikenal melalui slogan yang beredar luas di antara ahli cetak: “When in Doubt, Use Caslon” atau dalam bahasa Indonesia “Ketika Ragu-ragu, Gunakanlah Caslon”. Diciptakan oleh William Caslon pada abad ke-18, fontasi ini terbilang sukses karena diterapkan dalam banyak karya cetak pada masa itu. Salah satu yang paling dikenal adalah versi cetak dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

Caslon memiliki proporsi yang moderat. Hal ini membuatnya mudah dibaca dalam paparan teks yang panjang, cocok digunakan dalam penerbitan buku atau majalah. Selain itu, Caslon juga sangat cocok untuk judul atau subjudul karena memiliki detail yang cukup tajam. Penggunaan Caslon dalam desain grafis dan tipografi modern seringkali memberikan sentuhan nostalgia dan menghadirkan nuansa lampau yang terasa hangat dan ramah.

Versi gratis: Libre Caslon Text
Keluarga fontasi: 3 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Pilihan Kontemporer
Alegreya
Alegreya adalah sebuah fontasi berkait yang enak dibaca dan berfungsi baik untuk beragam keperluan. Dikembangkan oleh desainer Juan Pablo del Peral pada 2011, fontasi ini memiliki keunikan dalam menggabungkan unsur-unsur konvensional dan eksperimental, sehingga menciptakan tampilan yang terkesan klasik dan modern secara bersamaan. Pendekatan yang digunakan fontasi Alegreya berbeda dengan fontasi-fontasi klasik layaknya Garamond atau Baskerville yang berkutat pada pakem dan tradisi. Fontasi Alegreya tidak bermaksud membelakangi tradisi, melainkan mengawinkannya dengan eksplorasi modern yang terkesan lebih santai dan menyenangkan. 

Salah satu ciri khas yang membuat Alegreya menonjol adalah efisiensi penggunaan ruang dalam desain dan kemampuannya untuk tetap mempertahankan kejelasan dan kelegaan huruf-hurufnya. Keluarga fontasinya yang besar juga dapat mendukung keperluan desain grafis Anda. Hal itu menjadikannya sebagai pilihan yang ideal untuk berbagai keperluan desain, mulai dari desain cetak seperti buku, majalah, dan brosur, hingga desain digital seperti situs web dan tampilan antarmuka. Alegreya juga memiliki ketinggian huruf yang cukup besar sehingga akan mudah dan enak dibaca pada layar komputer maupun perangkat seluler. Tampilannya yang unik akan membumbui karya desain Anda dan menjadikannya berbeda dengan yang lain.

Keluarga fontasi: 12 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Roboto Serif
Roboto Serif adalah salah satu fontasi yang populer dan banyak digunakan dalam desain grafis dan tata letak modern. Font ini dikembangkan oleh Greg Gazdowicz dari Commercial Type sebagai bagian dari keluarga fontasi Roboto yang lebih besar. Roboto Serif memiliki kesan yang bersih, canggih, dan profesional, membuatnya cocok untuk berbagai keperluan desain masa kini.


Ketika digunakan dalam desain web, Roboto Serif juga memiliki keunggulan dalam hal kejelasan pada tampilan layar. Font ini dioptimalkan untuk tampil dengan baik di berbagai resolusi dan perangkat, memberikan pengalaman membaca yang nyaman bagi pengguna. Gabungan mutu kejelasan, gaya modern, dan fleksibilitas membuatnya cocok untuk berbagai keperluan desain Anda.

Keluarga fontasi: 12 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Gupter
Gupter adalah sebuah fontasi rancangan Octavio Pardo yang menarik perhatian dengan desainnya yang unik dan modern. Fitur utama dari Gupter adalah inspirasi langsung dari Times New Roman, namun dibangun dalam proporsi yang ramping, sehingga bisa memuat lebih banyak teks untuk suatu ruang yang sama. Walaupun demikian, hal ini mungkin hanya cocok untuk keperluan tulisan yang lebih besar, seperti judul atau subjudul. Ketika diterapkan untuk keperluan teks yang panjang seperti paparan buku, mata pembaca mungkin akan lelah sebab harus bekerja lebih keras mengidentifikasi setiap hurufnya

Keluarga fontasi: 3 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Merriweather
Jika Anda mencari sebuah fontasi yang memadukan keanggunan klasik dan kejelasan modern, Merriweather mungkin adalah jawabannya. Dirancang oleh Eben Sorkin, fontasi ini memancarkan pesona yang elegan dan memberikan kesan yang hangat serta ramah bagi para pembacanya. 

Merriweather adalah fontasi serbaguna yang cocok digunakan dalam berbagai konteks. Dalam pengaturan cetak, ia memberikan pesona klasik yang cocok untuk majalah, buku, dan materi promosi. Di dunia digital, Merriweather menawarkan kemudahan pembacaan pada layar dengan jelas dan tegas. Memiliki citra yang serba-bisa, fontasi ini dapat digunakan dalam judul, teks utama, atau bahkan bisa dieksplorasikan dalam ukuran raksasa dalam poster-poster tipografi. Merriweather adalah pilihan yang tepat bagi Anda yang mencari gaya fontasi yang bersahaja namun tetap anggun dan profesional.

Keluarga fontasi: 8 ragam
Unduh di halaman Google Fonts.

Gentium
Gentium dirancang oleh Victor Gaultney dari SIL International dengan menyeimbangkan kepentingan praktis dan estetis. Fontasi ini terbilang memiliki tinggi-x yang besar, sehingga mampu dibaca dengan lebih mudah dan nyaman. Rancangannya terinspirasi dari desain-desain yang humanis dengan sedikit sentuhan kaligrafis. Hal ini membuatnya tampak lembut dan akrab bagi mata yang melihatnya. 

Gentium memiliki kesan yang sederhana namun perhatian pada detail-detailnya patut diacungi jempol. Bentuk huruf yang konsisten dan mudah dikenali memastikan bahwa tulisan yang ditampilkan dengan fontasi Gentium tetap terbaca dengan jelas di berbagai ukuran dan resolusi. Dengan ciri-ciri ini, Gentium menjadi sebuah fontasi yang cocok untuk penggunaan yang luas, dari teks panjang seperti buku dan jurnal hingga pengaturan tampilan dengan ukuran kecil seperti keterangan khusus atau catatan kaki.

Keluarga fontasi: 4 ragam
Unduh di halaman Google Fonts

Catatan
Contoh-contoh tulisan dalam artikel ini menggunakan petikan-petikan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji.

Sabtu, 13 Mei 2023

Aksara Nusantara di Sinema Indonesia

Aksara-aksara Nusantara mulai mendapatkan panggung dalam sinema tanah air. Mulai banyak film dalam negeri menampilkan aksara-aksara Nusantara dalam adegan mereka untuk mendukung tata artistik ataupun materi desain grafis yang diedarkan untuk keperluan promosi. Film yang menampilkan aksara Nusantara umumnya terbagi dua, yakni film yang merekontruksi sejarah masa lalu, seperti biopik, dan film masa kini/film yang waktunya tidak terlalu dijelaskan tetapi memerlukan aksen aksara Nusantara sebagai penguat penokohan, konteks penceritaan, atau sekedar keputusan tata artistik.

Pembuatan film sejarah umumnya memang harus sadar bahwa keadaan lanskap bahasa-aksara pada zaman dahulu tidaklah sama dengan zaman kini dan suatu tempat tidaklah sama dengan suatu tempat yang lain. Susur waktu sederhana yang bisa dijadikan sebagai pegangan sebagaimana yang dituturkan dalam buku-buku sejarah umum mencakup:

  • Zaman Nirleka (tanpa aksara)
  • Zaman Hindu-Buddha (aksara Pallawa dan Kawi)
  • Zaman Peralihan dan Islamisasi (aksara Nusantara, Jawi-Pegon)
  • Zaman Penjajahan Belanda (aksara Latin, Jawi-Pegon, Nusantara)
  • Zaman Penjajahan Jepang (aksara Latin, Jawi-Pegon, Nusantara, Jepang)
  • Zaman Indonesia (aksara Latin, sedikit Jawi-Pegon dan Nusantara)

Sebagai contoh, film berlatar wilayah Jawa pada abad ke-19 bisa menampilkan aksara Jawa untuk bahasa Jawa, aksara Latin untuk bahasa Belanda/Melayu, dan aksara Jawi untuk Melayu, sedangkan aksara Pegon untuk bahasa Jawa bisa ditampilkan ketika menggambarkan lingkungan pesantren. Hal tersebut termasuk padu padan yang lumrah pada waktu tersebut. Di lain sisi contoh yang kurang sesuai misalnya, menampilkan aksara Sunda Baku untuk film berlatar tahun 1940-an adalah keputusan yang kurang tepat, karena aksara Sunda Baku baru disahkan pada 1990-an dan penggunaanya mulai digencarkan setelah itu. Detail-detail seperti itu harus diperhatikan ketika menyusun sebuah film sejarah. Bahkan, pada penggarapan yang lebih cermat, gaya tulisan (seperti gaya huruf pada fontasi) juga dipertimbangankan matang-matang.

Film yang menampilkan latar masa kini atau waktunya tidak dijelaskan juga dapat menampilkan aksara Nusantara. Perlu diketahui, alasan-alasan dimunculkannya aksara Nusantara pada film-film tersebut tidak selalu memerlukan basis sejarah yang kuat, mengingat dunia yang diceritakan dalam film-film ini ialah rekaan fiksi; sesederhana ingin memberi aksen pada tata artistik sudah cukup bisa menjadi alasan yang masuk akal untuk menambahkan aksara Nusantara. Alasan lainnya, aksara Nusantara biasa digunakan untuk memperkuat konteks budaya tertentu, misalkan menampilkan aksara Lontara pada latar budaya Sulawesi Selatan. Film-film horor yang mengisahkan ilmu hitam tradisional juga sering dihiasi aksara Nusantara. Dalam hal ini, penggunaan aksara Nusantara menjadi agak problematis. Hal tersebut memberikan kesan buruk terhadap penggunaan aksara Nusantara, karena aksara yang sudah terancam punah itu malah dikait-kaitkan dengan dunia perdukunan, klenik, dan setan. Sebagai contoh, pada tahun 2018, sinetron Kun Fayakun episode 47 menampilkan tulisan beraksara Bali pada tubuh seseorang sebagai rajah yang dibuat oleh iblis. Hal tersebut sangatlah tidak sensitif. Supaya yang demikian itu tidak terulang, sebaiknya aksara-aksara yang digunakan dalam hal ini ialah aksara imajinatif yang dibuat secara khusus sehingga tidak menyinggung kebudayaan tertentu.

Sang Pencerah (2010)
Film biopik tentang tokoh pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, bertabur aksara non-Latin, khususnya aksara Pegon dan aksara Jawa. Hal ini sesuai dengan latar waktu yang kala itu memang menggunakan tiga aksara sekaligus, yakni Latin, Jawa dan Pegon. Sorotan lebih besar yang diberikan kepada aksara Pegon juga sesuai dengan film yang menceritakan santri dan lingkungan keagamaan Islam.


Kartini (2017)
Ibu kandung dari Kartini, Ngasirah, mengajarkan aksara Jawa kepada Kartini untuk menulis kata “Trinil”, nama kecil Kartini. Akan tetapi, penggunaan aksara Latin untuk membantu pembacaan aksara Jawa di sini mungkin tidak diperlukan, selain karena penulisannya jadi tumpang tindih, pembacaannya juga sudah cukup dilisankan saja.


Parakang (2017)
Film horor ini mengangkat mitos manusia jadi-jadian/siluman populer di masyarakat Sulawesi, yaitu Parakang. Film ini tergolong unik karena sejauh pengamatan, tidak ada kemunculan aksara Lontara sebagai pelengkap tata artistik film (dibubuhkan langsung pada benda tertentu), melainkan ditambahkan kemudian pada sari kata (subtitle) berbahasa Makassar dan keperluan grafis lainnya, seperti pada poster.


Yowis Ben (2018)
Film ini sebenarnya tidak memiliki adegan beraksara Jawa sama sekali (sejauh pengamatan yang dilakukan). Akan tetapi, film ini perlu dan layak untuk disebutkan karena memiliki sejumlah video musik di Youtube yang disertai dengan aksara Jawa. Musik-musik tersebut dipublikasikan pada tahun 2019, menyambut peluncuran Yowis Ben 2.



DreadOut (2019)
Film horor fantasi ini menampilkan aksara Sunda. Tulisan misterius beraksara Sunda tergambar pada permukaan lantai, mengelilingi suatu gambar ular memakan ekornya sendiri (ouroboros) yang menyimpul membentuk trikuetra. Selain itu, naskah-naskah kuno beraksara Sunda juga dapat ditemukan pada film ini.



Gundala (2019)
Salah satu tokoh antagonis, Ghani, masuk ke sebuah ruangan, pada lantainya tergambar aksara Jawa cukup besar. Tak hanya itu, di salah satu dindingnya juga terukir aksara Jawa. Di dinding tersebut, Ki Wilawuk kemudian bangkit dari kematiannya. Sayangnya, aksara Jawa modern yang ditampilkan dalam film ini disebut “Aksara Jawa Kuno”. Padahal aksara Jawa modern dan aksara Jawa Kuno memiliki perbedaan yang cukup besar, sehingga pembaca aksara Jawa tidak mampu membaca aksara Jawa Kuno tanpa mempelajarinya dengan seksama.



Perempuan Tanah Jahanam (2019)
Aksara Jawa muncul dalam film Perempuan Tanah Jahanam dalam wujud jimat berupa gulungan kertas kecil yang dimasukkan ke dalam sayatan paha. Adegan ini muncul di bagian awal dan akhir film, dan menjadi salah satu unsur penting yang membangun cerita. 

Losmen Bu Broto (2021)
Aksara Jawa digunakan pada plakat Losmen Bu Broto sepanjang film. Meskipun berukuran kecil, tetapi aksara Jawa yang digunakan ditulis dengan cukup benar. Orang yang tidak terbiasa dengan aturan aksara Jawa mungkin akan menggunakan taling tarung pada bagian “Broto”-nya. Plakat beraksara Jawa ini juga digunakan untuk keperluan publikasi, seperti poster film dan materi promosi digital.

Lara Ati (2022)
Film drama komedi ini menampilkan aksara Jawa ketika adegan tokoh utama menyanyikan sebuah lagu. Aksara Jawa ditampilkan sebagai sari kata dari lirik lagu berbahasa Jawa. Penyajian tipografinya memperlihatkan gerak yang luwes sehingga presentasi aksara Jawanya tampak lebih menarik.



Gatotkaca (2022)
Film adiwira Gatotkaca menampilkan aksara Jawa Kuno atau aksara Kawi yang terukir di medali Brajamusti. Medali ini mampu membuat Gatotkaca menjadi manusia super dengan berbagai kekuatan. Walaupun demikian, tidak disebutkan aksara tersebut sebagai aksara Kawi atau aksara Jawa Kuno, melainkan disebut hanya sebatas "aksara Jawa" saja. Hal itu sebenarnya lebih mengarah ke model aksara masa kini yang telah memiliki rupa yang cukup berbeda dari aksara Jawa Kuno alias aksara Kawi.



Sri Asih (2022)
Aksara Sunda muncul pada salah satu adegan ketika Kala dan Sri Asih mengumpulkan petunjuk. Rentetan angka-angka Sunda ini entah bagaimana bisa menunjukkan sebuah lokasi. Sayangnya, lambang-lambang angka dalam aksara Sunda ini secara keliru disebut sebagai “Aksara Jawa Kuno” dalam film ini, padahal keduanya merupakan aksara yang berlainan.


Kembang Api (2023)
Kata “Urip iku Urup” dalam aksara Latin dan aksara Jawa ditampilkan menghias sebuah bola kembang api yang akan diledakkan. Meski ditulis dengan benar, tetapi mungkin lebih baik jika setiap baris ditulis selesai, maksudnya, kata ‘urip’ di baris pertama diberi pangkon, sehingga kata ‘urip’ tidak salah dibaca ‘uripa’.

Mantra Surugana (2023)
Film bergenre horor ini mengangkat kisah mistis Sunda. Aksara Sunda dalam film ini dimanfaatkan cukup mendalam untuk membangun keaslian tradisi ilmu hitam Sunda Kuno, sehingga film ini memiliki cukup banyak kemunculan aksara Sunda. Aksara Sunda muncul dalam bentuk sebuah naskah atau kitab kuno tulisan tangan yang mampu membangkitkan iblis. Selain itu, aksara Sunda juga dibubuhkan pada materi promosi film, seperti poster, spanduk, dan kaos.

____________________________

Daftar film di atas masihlah belum lengkap. Anda bisa membantu memberi tahu film lainnya lewat kolom komentar. Semoga semakin banyak film Indonesia yang memanfaatkan aksara Nusantara dalam pengembangan rancangan sinema mereka.