Senin, 28 Desember 2020

Cataneo, Huruf Sakti Sinetron Kita

Tidak berlebihan rasanya untuk berkata bahwa Cataneo adalah ikon tipografis sinetron Indonesia. Hampir secara terus-menerus, rumah produksi sinema elektronik Indonesia menggunakan fontasi Cataneo sebagai judulnya. Hal ini membuat penggunaan huruf Cataneo (atau model huruf yang mirip) menjadi tradisi dalam desain grafis persinetronan Indonesia. Meskipun sesungguhnya, hanya sinetron-sinetron keluaran SinemArt yang secara berulang menggunakan fontasi Cataneo untuk judul-judul sinetronnya.

Cataneo dibuat oleh perancang-perancang Bitstream, yakni Richard Lipton dan Jacqueline Sakwa. Huruf ini awalnya dilepas pada tahun 1993 dan dipasarkan kembali oleh MyFonts pada permulaan tahun 2000. Selain huruf standar, Cataneo juga dilengkapi dengan beragam alternatif huruf berjumbai dan beragam bobot huruf. Nama Cataneo sendiri diambil dari nama tokoh yang mengilhami keindahan tipografisnya, yakni Bernardino Cataneo, seorang juru tulis dan kaligrafer andal berkebangsaan Italia dari abad ke-16 Masehi.

Produksi awal sinetron-sinetron Sinemart, 2003

Sebagian produksi sinetron SinemArt, 2004

Penggunaan fontasi Cataneo pada poster sinetron-sinetron SinemArt nyatanya tidak dimulai sedari awal. Pada produksi tahun-tahun pertama, khususnya 2003-2005, sinetron-sinetron produksi SinemArt memiliki poster yang meriah dengan model huruf yang berganti-ganti untuk setiap sinetronnya. Skema warna yang digunakan pun cenderung mencolok, seperti kuning, biru, merah, pink dan hijau.

Pemilihan fontasi bergaya tulisan halus (script) yang mulai banyak ditemu pada poster-poster sinetron SinemArt produksi 2005-2007.

Tren ini kemudian berganti pada kisaran 2005-2007, penggunaan warna-warni yang mencolok mulai berkurang dan pemilihan tipografinya, meskipun tetap berbeda-beda, menjadi lebih konservatif dan mulai menunjukkan pengulangan pada jenis huruf tertentu, yaitu pada huruf bergaya tulisan halus, miring-bersambung. Hal ini kemungkinan dilatarbelakangi oleh mulai bergesernya demografi penonon sinetron televisi Indonesia, penonton berusia remaja mulai mencari hiburan di luar televisi (kemungkinan berhubungan dengan pengenalan telepon seluler dan kemudian internet), sehingga desain dirancang sedemikian rupa untuk menarget kelompok umur yang lebih dewasa.

Sinetron-sinetron SinemArt mulai menggunakan fontasi Cataneo, sebagian dengan modifikasi manual.

Penggunaan huruf halus kemudian mulai tergantikan. Pada tahun 2007, sinetron Aisyah menggunakan huruf Cataneo dengan modifikasi berupa jumbai pada huruf A besar dan huruf h kecil, serta mengubah bentuk titik pada huruf i. Sinetron ini kemungkinan adalah awal mula penggunaan huruf Cataneo dalam produksi SinemArt, walau terdapat kemungkinan Cataneo telah digunakan sebelum tahun 2007. Tahun berikutnya, SinemArt mengeluarkan beberapa sinetron dengan model huruf Cataneo, yakni Hingga Akhir Waktu (kemugkinan dimodifikasi, menggunakan bobot tertentu, atau fontasi lain yang mirip-mirip), Sekar dan Alisa.

Penggunaan Cataneo berulang pada tahun 2009, yaitu pada sinetron Rafika, Air Mata Cinta, Cinta dan Anugerah, Manohara, Isabella, Safa dan Marwah, Doa dan Karunia, dan Kejora dan Bintang. Pada tahun tersebut, SinemArt mengeluarkan 10 sinetron, 8 di antaranya menggunakan Cataneo secara konsisten, 2 sisanya menggunakan model huruf halus seperti pada sejumlah sinetron yang produksi 2005-2007. Pada tahun ini juga tampaknya pengelola SinemArt memutuskan untuk menggunakan fontasi Cataneo secara terus-menerus pada hampir keseluruhan karya sinetronnya. Sementara itu, produksi film dan film pendek oleh SinemArt tidak menggunakan Cataneo sama sekali.

Pemilihan Cataneo sendiri merupakan keputusan yang cukup tepat. Model kaligrafisnya membawa kesan yang formal, tetapi tetap bisa anggun, membuat kita terpikirkan tentang undangan pernikahan, ucapan selamat, atau bahkan surat cinta. Sementara, sisi formal dari Cataneo menjaga keterbacaan huruf-hurufnya tetap tinggi, tanpa terlalu banyak embel-embel hiasan, sehingga enak dibaca baik dari jauh maupun dari dekat. Desain hurufnya juga memiliki goresan yang tegas, sekalipun harus menukik pada sudut-sudut tertentu; mewakili kekuatan dari ekspresi dan "drama" itu sendiri.


Contoh sinetron-sinetron SinemArt dari tahun 2009-2020.

Dari tahun 2009 hingga saat ini, Cataneo telah dipakai pada puluhan sinetron bikinan SinemArt yang tayang di RCTI dan SCTV. Selama bertahun-tahun itu pula, masyarakat telah dipapar dengan jenis huruf yang sama untuk sinetron Indonesia populer. Meskipun tren ini tidak diikuti rumah produksi lain, seperti MD Entertaiment atau Multivision Plus, model huruf Cataneo nyatanya tetap melekat ke benak masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sinetron-sinetron SinemArt berhasil merajai layar televisi Indonesia, dibandingkan dengan sinetron-sinetron keluaran rumah produksi lain tahun-tahun belakangan ini.


Beberapa parodi sinetron Indonesia di Youtube juga tampak menggunakan huruf Cataneo, atau yang dianggap awam mirip dengannya (seperti Lucida Calligraphy), untuk tulisan judul parodi tersebut. Beberapa di antaranya seperti yang digarap oleh saluran Han Yoo Ra, Nanase Production dan MrKokom (Youtuber Malaysia).

Sebagian meme sinetron yang dibuat oleh Saintif (gambar dari akun Facebook)

Pada April 2018, meme sinetron ala SinemArt merebak di internet. Berbagai akun media sosial, baik akun permemean maupun akun profesional, mengunggah gubahan meme mereka dengan rupa yang mirip dengan poster sinetron Indonesia ala SinemArt, mulai dari pemilihan kata hingga pemilihan fontasi Cataneo atau model huruf lain yang mirip dengannya.

Hingga hari ini, SinemArt tampaknya masih belum memiliki rencana menggeser Cataneo dari singgasananya. Huruf ini kadung melekat dan menunjang citra perusahaan selama bertahun-tahun, serta turut mengangkat karya-karya SinemArt menjadi salah satu perwakilan budaya populer masyarakat Indonesia yang khas dan berterima. Meskipun demikian, penonton-penonton sinetron terus menua, lambat-laun penonton-penonton yang lebih baru akan meminta perubahan. Poster-poster sinetron yang meriah ala 2000-an mungkin akan kembali, atau malahan barangkali desain yang lebih simpel, sepi, dan minim perasaan akan menggantikannya. Kita belum tahu pasti, yang kita tahu, Cataneo tidak selamanya di sana. Apresiasi selagi ada.

Rabu, 07 Oktober 2020

Membayangkan Aksara Kutukan

Perilaku keberaksaraan di jagat Twitter kembali membuktikan bahwa bahasa tulis tidak selamanya membatasi kehendak berekspresi manusia. Orang tetap bisa menyampaikan kesan-kesan jengkel, sedih, atau senang dengan perangkat-perangkat di luar bahasa.

Belakangan ini, ratusan pengguna Twitter ramai-ramai membanjiri cuitan Donald Trump dengan kata-kata buruk dan kutukan. Cuitan bertanggal 2 Oktober 2020 itu memberitakan tentang keadaan Trump dan Melania yang terkena COVID-19. Yang tak biasa, orang-orang ini mengirimkan kutukan beserta gambar-gambar angker dengan aksara yang tampak asing, yaitu aksara Ge'ez. Aksara ini adalah aksara nyata yang dipakai masyarakat di Ethiopia, utamanya untuk menuliskan bahasa Amhar, bahasa ibu bagi lebih dari 22 juta orang di sana.

Kolom balasan dari cuitan Trump dijejali dengan tulisan-tulisan Amhar yang berisikan kutukan dan sumpah-sumpah mengerikan.

Setelah diterjemahkan, rangkaian kutukan ini berisi sumpah-sumpah buruk seperti jiwa yang tidak terselamatkan, jiwa berdosa, pertumpahan darah, pesan-pesan kematian, dan sejenisnya. Gambar-gambar yang mengerikan, seperti iblis dan setan, menambah kengerian dari kiriman-kiriman ini. Tak jarang pula, pendukung Trump yang panik segera membalasnya dengan doa-doa Kristen dengan maksud menghalau kekuatan jahatnya.

Fenomena ini mengundang banyak tanggapan dari masyarakat sampai-sampai Mashable dan Vice masing-masingnya menurunkan artikel untuk membahasnya. Tren ini ternyata tidak berhenti pada Trump saja, beberapa hari kemudian, Joko Widodo juga terkena berondongan pesan-pesan terkutuk yang sama. Hal ini khususnya terjadi setelah publik ramai menentang pengesahan RUU CILAKA atau RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang pada 5 Oktober 2020 kemarin.

Hal serupa juga terjadi di kolom balasan Joko Widodo tertanggal 6 Oktober 2020.

Meskipun mungkin dimaksudkan untuk kelakar dan meme, penggunaan semacam ini adalah hal yang cukup rasis. Beberapa penutur bahasa Amhar bahkan menyuarakan kekesalannya dengan perilaku tercela ini. Ia merasa kebudayaannya telah dicoreng oleh orang-orang yang menggunakan bahasa dan aksaranya untuk menyampaikan kutukan dan kengerian. Terlebih, aksara Ge'ez adalah aksara dan bahasa suci yang digunakan oleh sejumlah gereja ortodoks di Ethiopia. Selain tidak menghormati suku bangsa Amhar, penggunaan sembarangan dari aksara dan bahasa ini juga dapat melukai perasaan orang-orang Kristen di Ethiopia.

Penggunaan kebudayaan tertentu untuk menimbulkan kesan angker sesungguhnya tak asing di Indonesia. Aksara dan bahasa Jawa seringkali mendapatkan stereotip seperti itu. Salah satu contoh besarnya, dalam film Gundala, iblis kuno Ki Wilawuk dipanggil dan dibangkitkan dari kematiannya dengan pembacaan aksara Jawa berbahasa Kawi.

SARAN
Menyampaikan kengerian atau teror dapat dilakukan tanpa mencomot sembarangan kebudayaan masyarakat lain. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan aksara buatan yang memang dikhususkan untuk citra yang mengerikan. Mungkin hal ini terdengar rumit, tetapi merupakan jalan aman tanpa menyinggung pihak tertentu. Anda juga dapat melihat-lihat aksara buatan di Omniglot yang telah menyenarainya di sini.

Selain itu, Anda dapat memanfaatkan Zalgo/Glitch Generator yang tersedia dengan bebas di internet. Zalgo selama ini juga sering digunakan untuk memberikan kesan mengerikan pada sebuah teks. Sejumlah generator teks lainnya, seperti generator tulisan alay, mungkin juga dapat dijadikan alternatif.

Rabu, 30 September 2020

Daftar Penyimpanan Daring Naskah Bugis dan Makassar

Halaman pembuka naskah puisi berbahasa Bugis. Koleksi Perpustakaan Inggris.

Sejumlah manuskrip berbahasa Bugis dan Makassar berhasil lestari hingga hari ini. Sebagian di antaranya telah dipindai dan diunggah ke internet sehingga lebih banyak orang bisa mengaksesnya dengan bebas. Jika Anda menggeluti dunia filologi atau bahkan tipografi aksara di Nusantara, mungkin naskah-naskah tersebut akan sangat berguna untuk kajian Anda. Berikut ini daftar penyimpanan daring naskah-naskah berbahasa Bugis dan Makassar yang bisa diakses dengan bebas (daftar akan senantiasa dimutakhirkan):

  1. Naskah Bugis dan Makassar di Perpustakaan Inggris
  2. Koleksi Digital Universitas Leiden, Manuskrip Bugis
  3. Koleksi Digital Perpustakaan Berlin, Manuskrip Bugis dan Manuskrip Makassar
  4. Koleksi Digital Naskah Bugis SOAS
  5. Khasanah Pustaka Nusantara, Perpusnas. (gunakan pencarian)
  6. Perpustakaan Digital Asia Tenggara, Manuskrip Bugis dan Manuskrip Makassar

Jika Anda mengetahui sumber naskah-naskah berbahasa Bugis dan Makassar lainnya, silakan beri tahu kami dengan meninggalkan komentar. Terima kasih!

 

Kamis, 24 September 2020

Konferensi TypeWknd Resmi Dibuka!


Dengan mengusung semboyan konferensi huruf untuk semua, TypeWknd berhasil menyita perhatian para pegiat tipografi seluruh dunia, mulai dari pengamat, mahasiswa, perancang, pebisnis, hingga akademikus. Organisasi mungil yang baru dibentuk ini terdorong oleh sejumlah halangan dalam industri tipografi. Sekelompok pelaku industri ini kemudian mencipta TypeWknd, sebuah wadah inklusif bagi pecinta huruf tanpa memandang usia, tingkat kemahiran, biaya atau asal negara.

TypeWknd 2020 diselenggarakan secara daring pada 24-27 September 2020. Karena ditenagai oleh sukarelawan dan beberapa penaja, seluruh sesi TypeWknd tidak dipungut biaya. Hanya saja, kelas lokakarya dibatasi hanya untuk lima belas atau dua puluh peserta, agar pembelajaran dan pementoran tetap efektif.

Aditya Bayu Perdana dan Gumpita Rahayu di antara para pengisi acara TypeWknd.
Foto diambil dari situs TypeWknd.

Terdapat dua orang Indonesia yang mengisi sesi bincang-bincang pada rangkaian konferensi TypeWknd 2020 kali ini, yaitu Aditya Bayu Perdana dan Gumpita Rahayu. Bayu mendapatkan urutan pertama dalam konferensi ini, yakni pada 24 September 2020 pukul 7:30 CDT atau 19.30 WIB. Presentasinya tentang pelestarian tipografi aksara Jawa memukau banyak hadirin, dan sekaligus menjadi pembuka yang segar untuk konferensi ini.

Sementara itu, Gumpita Rahayu juga mendapatkan sesi pada hari yang sama, pukul 9.30 CDT atau 21.30 WIB. Gumpita membahas mengenai industri desain huruf di Indonesia, sebuah ekosistem yang signifikan, tetapi belum banyak hadir dalam perbincangan tipografi internasional, dan bagaimana produsen dan konsumen desain huruf di Indonesia semakin berkembang belakangan ini.

Bincang-bincang dua tokoh skena tipografi Indonesia ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Setelah waktu bincang-bincang usai pun, diskusi masih berlanjut hingga tengah malam di ruang obrolan tersendiri. Babak dua "Obrolan Huruf Indonesia" yang menarik ini akan diselenggarakan kembali, secara khusus, pada Jumat, 25 September 2020, pukul 7.00 CDT atau 19.00 WIB.

Beberapa tautan yang dibutuhkan:

 

Selasa, 26 Mei 2020

Logam Huruf Jawa II: Tren Desain Eropa dalam Langgam Hias

Selain huruf cetak fungsional, tipografer Eropa juga mulai bereksperimen dengan langgam hias untuk penggunaan di luar teks biasa. Salah satu upaya paling awal dari langgam cetak hias aksara Jawa adalah Gefigureerd Javaansch yang dibuat oleh Gotlieb Schlegelmich (1858–?) pada tahun 1883 untuk percetakan Enschedé. Langgam rumit ini dipenuhi oleh stiliran sulur-sulur tanaman gaya Eropa dengan arsiran yang menggambarkan volume. Oleh karenanya, keseluruhan rupa huruf memiliki kesan barok-rokoko yang sangat kental. Meskipun langgam ini mencerminkan tren huruf hias yang lumrah di Eropa, pembaca pribumi maupun Eropa di pulau Jawa masa itu kemungkinan besar tidak akrab dengan penerapan serupa pada aksara Jawa karena Gefigureerd Javaansch tidak pernah ditemukan dalam banyak publikasi selain spesimen huruf Enschedé (Baerdmaker 2012). Sejauh penelusuran penulis, langgam yang menyerupai Gefigureerd hanya digunakan beberapa kali oleh Landsdrukkerij (percetakan) Batavia untuk beberapa buku gubahan Muhammad Musa pada 1800-an akhir.

Sampel Gefigureerd Javaansch dari publikasi tahun 1893 yang merayakan hari jadi percetakan Enschedé.


Beberapa sampel Gefigureerd Javaansch yang didokumentasikan oleh Baerdmaker (2012)
Pengaruh desain huruf Eropa juga dapat terlihat koran Bromartani, koran berbahasa Jawa pertama yang mulai beredar secara berkala pada 29 Maret 1895. Dapat terlihat bahwa masthead atau kop Bromartani dibuat dengan gaya huruf patah (blackletter) Latin. Penggunaan semacam ini selaras dengan praktik koran-koran Eropa sejak abad 18 M yang menggunakan huruf patah untuk bagian judul karena gaya tersebut merupakan gaya paling tebal dan mencolok yang tersedia pada masa itu (Morison 2009). Kemudian menjadi menarik diperhatikan bahwasanya praktik desain Eropa khusus semacam ini ternyata juga diaplikasikan dalam aksara Jawa. Tidak diketahui apakah logo ini dibuat oleh seorang perancang Eropa atau pribumi, walau begitu dapat kita duga bahwa redaksi koran Bromartani–yang salah satu anggotanya adalah pujangga Ranggawarsita (1802-1873)–tampaknya tidak pernah bermasalah dengan desain logo huruf patah Bromartani karena logo tersebut terus digunakan dalam keseluruhan riwayat cetak Bromartani. Hal ini dapat kita intepretasikan juga sebagai keterbukaan pembaca pribumi dalam menerima pengaruh yang sarat keeropaan dalam rancangan huruf Jawa.
Kop koran Bromartani memperlihatkan pengaruh langgam Eropa

Setidaknya terdapat satu buku yang menggunakan langgam hias Eropa dengan lebih merata di dalam isinya: Dongéng-dongéng Pieunteungeun, kumpulan dongeng berbahasa Sunda dalam aksara Jawa yang disusun oleh Radén Haji Muhammad Musa (1822–1886). Muhammad Musa adalah salah satu pelopor kesastraan Sunda abad 19 yang menjabat sebagai penghulu besar Kabupaten Limbangan semasa hidupnya. Ia memiliki persahabatan erat dengan KF Holle (1829–1896), seorang pemilik perkebunan teh di Garut, penasehat pemerintahan Hindia-Belanda, dan peminat sastra Sunda. Berkat persahabatan eratnya dengan Holle, berbagai karya Musa–baik terjemahan, saduran, maupun tulisan yang ia gubah sendiri–dicetak dalam jumlah yang banyak oleh Landsdrukkerij Batavia. Dongéng-dongéng Pingentengen, yang dicetak pada tahun 1867, merupakan buku yang unik secara tipografis karena adanya huruf awal (drop caps) aksara Jawa dengan langgam Eropa seperti huruf patah dan gaya Toskana yang digunakan di awal setiap dongeng


Kiri: Halaman judul dalam Dongéng-dongéng Pieunteungeun. Kanan: sejumlah drop caps dari buku tersebut

Persilangan langgam Jawa-Eropa terutama sangat kentara pada sampel desain yang dibuat pada abad 19 M akhir. Salah satunya yang paling mencolok dapat dilihat pada adalah halaman judul dari sebuah buku yang dicetak di Semarang untuk merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina pada tahun 1898, kini disimpan di Koninklijk Huisarchief (Arsip Kerajaan Belanda). Halaman judul tersebut dicetak dengan teknik litografi dan dapat terlihat bahwa tiap baris aksara Jawanya dicetak berselang-seling antara langgam polos dan berhias yang sarat dengan pengaruh desain Eropa. Baris pertama ditulis dengan gaya huruf patah, sementara baris tiga, enam, dan delapan menggunakan gaya Toskana-koboi (western). Buku ini tampaknya dikomisikan oleh seseorang yang bernama Makuṭa dan dicetak oleh percetakan GCT van Dorp & co yang namanya dapat terlihat di pojok kiri bawah halaman.


Halaman judul buku yang merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina, 1898.
Meskipun begitu, perlu diperhatikan bahwa langgam Eropa tampaknya hanya digunakan untuk kondisi tertentu saja karena terbitan sehari-hari biasanya menggunakan langgam hias yang lebih polos. Penerbitan milik Tan Khoen Swie (陳坤瑞, 1883-1953) di Kediri misalnya, memproduksi buku berbahasa Jawa dalam berbagai topik yang judulnya umum menggunakan langgam kaku mbata (bahasa Jawa: menyerupai batu bata).


 Halaman judul dalam sejumlah buku yang diproduksi penerbitan Tan Khoe Swie.
Meski antargaya mbata cetak biasanya tidak memiliki perbedaan desain satu sama lain yang terlalu kentara, adakalanya dapat ditemukan pengolahan mbata yang menarik sebagaimana yang bisa dilihat pada halaman judul dua buku berikut:


Atas: Bocah Mangkunagaran (Yasawidagda, 1937). Bawah: Baron Sakénḍér (Yudasara, 1930)

Periklanan Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal juga umumnya menggunakan langgam-langgam konservatif dengan perbedaan yang halus antara satu sama lain. Hal ini mungkin dipicu format iklan pada masa itu yang seringkali padat teks–konsep logo wordmark dan pengenalan merek untuk produk sehari-hari belum menjadi praktik yang lumrah. Pada kasus semacam itu, aksara Jawa yang jelas dan mudah dibaca lebih diutamakan untuk teks yang menjelaskan keunggulan produk secara rinci. Praktik yang juga umum pada waktu itu adalah menggunakan huruf Latin untuk nama produk yang menjadi tajuk utama iklan sementara penjelasan dan badan teks menggunakan aksara Jawa


Macam-macam iklan dalam publikasi Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal.
_______________________________________

Tulisan di atas ditulis dan disumbangkan oleh Aditya Bayu Perdana.
Pranala: Instagram dan Behance.
Versi jurnal tulisan ini telah dipublikasikan dalam Manuskripta Vol 10 No 1 (2020).