Minggu, 08 Desember 2019

Bagaimana Sebaiknya Menulis Aksara Jawa secara Vertikal?

Dalam perkembangan desain grafis kiwari, aksara Jawa sering kali muncul dalam tampilan yang kurang bineka, kaku dan agaknya membosankan. Padahal, aksara Jawa dalam ranah tipografi memiliki sejarah panjang dan telah diekspresikan ke dalam begitu banyak wujud rupa. Salah satu kendala penjelajahan visual aksara Jawa modern adalah kurangnya rujukan dan kurangnya penghayatan terhadap sifat alamiah aksara Jawa yang berbeda dengan aksara Latin, aksara yang jauh lebih akrab di mata para perancang kita.

Susunan penulisan aksara Jawa yang tidak selalu segaris membuat proses penataan tipografinya tidak semudah dan seluwes aksara Latin. Sebagai contoh sederhana, aksara Jawa cukup sukar untuk ditulis pada pada bidang vertikal. Adanya unsur aksara Jawa yang ditulis pada bagian bawah atau atas baris utama, seperti pasangan dan sandangan, tidak memungkinkan penataan vertikal secara langsung seperti dalam tipografi aksara Latin, Siril, Tionghoa atau Korea. Penataan vertikal secara langsung, akan membuat aksara-aksara tampak berjejal dan tumpang tindih dengan pasangan dan sandangan yang menyertainya.
Contoh penulisan aksara Latin, Siril, Tionghoa dan Korea secara vertikal.
Salah satu usulan cerdik atas tantangan tipografis aksara Jawa ini datang dari Aditya Bayu Perdana, seorang perancang huruf yang berfokus pada penciptaan aksara-aksara di Nusantara. Mulanya ia menyadari  permasalahan desain ini setelah mengamati panji-panji bertuliskan aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Aksara Jawa yang disusun secara menurun terlihat kurang rapi, canggung, dan memiliki alur baca yang membingungkan.

Contoh penataan vertikal aksara Jawa secara langsung dalam perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Foto diperoleh dari video saluran Youtube Festival Kebudayaan Yogyakarta.
Bayu kemudian menyelidiki bagaimana permasalahan tipografis ini diakali di masa lalu. Ia lantas menemukan bahwasanya beberapa abad silam, aksara Kawi (pendahulu aksara Jawa dan aksara-aksara di Nusantara lainnya) pernah ditata pada bidang vertikal seperti gagang cermin, kentongan perunggu dan prasasti batu, dengan cara yang begitu cemerlang. Contoh sejarawi dari penerapan aksara Kawi vertikal umumnya ditemukan pada langgam aksara Kawi kuadrat yang memiliki rupa huruf mengotak. Aksara-aksaranya disusun dari bawah ke atas dengan masing-masingnya diputar sekitar 30-45 derajat berlawanan arah jarum jam. Hal ini sangat meningkatkan keterbacaannya. Dengan diputarnya "balok silabis" aksara Jawa pada derajat yang tepat, sandangan dan pasangan tidak berbenturan dengan huruf di bawah atau atasnya. Ketika pembacaan berlangsung, balok silabis juga lebih mudah dikenali dan dibedakan satu per satu.

Contoh beberapa peninggalan budaya beraksara Kawi yang disusun secara vertikal. (dari berbagai sumber)
Atas: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang mendatar. Kiri: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun secara langsung, tanpa pemutaran balok. Kanan: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun dengan pemutaran balok. (Gambar oleh Aditya Bayu)
Perbandingan alur baca penulisan standar (kiri), penulisan vertikal tanpa pemutaran (tengah; contoh panji aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019) dan penulisan vertikal dengan pemutaran (kanan) yang jauh lebih mudah terbaca, rapi dan mudah dibedakan tiap baloknya. (Gambar oleh Aditya Bayu)
Tidak perlu meniru bagaimana tabiat aksara Latin atau Tionghoa ketika disusun secara vertikal, justru nenek moyang kita telah memberikan suatu solusi praktis yang lebih sesuai dengan konteks kebudayaan kita sendiri. Bayu mangajak kita semua untuk turut mengadaptasi pemecahan masalah dalam aksara Kawi ini pada komposisi tipografi aksara Jawa dan aksara Bali modern. Susunan tipografi vertikal aksara Jawa akan tampak lebih rapi dan mudah terbaca. Dengan menerapkan komposisi tipografi ini, kita tidak hanya memiliki pemecahan masalah yang tepat, melainkan juga dapat membangkitkan kembali tradisi penyusunan huruf yang telah digunakan berabad-abad silam.

Selasa, 22 Oktober 2019

Pembakaran Bendera Tauhid dari Sudut Pandang Tipografi


Pada Senin 22 Oktober 2018, tepat setahun yang lalu, beberapa anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat putih. Kejadian bermula ketika seseorang membentangkan bendera tersebut pada saat peringatan Hari Santri Nasional di Alun-alun Limbangan, Garut, Jawa Barat. Hal itu kemudian membangkitkan amuk massa, sebab bagi mereka bendera tersebut bukanlah sekadar bendera bertuliskan kalimat suci, tetapi merupakan lambang dari gerakan dan ideologi yang diusung Hizbut Tahrir.

Massa pada mulanya hendak menginjak-injak bendera tersebut, tetapi beberapa anggota Banser berinisiatif untuk membakarnya. Rekaman pembakaran tersebut lalu merebak di internet dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat muslim menganggap pembakaran bendera tersebut merupakan sebuah penghinaan terhadap agama Islam. Tagar #bubarkanbanser sempat populer di Twitter dan beberapa unjuk rasa digelar di sejumlah kota di Indonesia terkait insiden ini.

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, melalui akun Twitter-nya menegaskan bahwasanya HTI tidak memiliki bendera dan bendera yang dibakar dalam peristiwa tersebut adalah bendera tauhid bernama Ar-Rayah (panji Rasulallah) yang berwarna hitam dan bertuliskan kalimat tauhid putih. Bendera tersebut didaulat sebagai bendera agama Islam, ujarnya.

Beragam Bendera Hitam
Masyarakat muslim mengenal setidaknya dua bendera, yakni Ar-Rayah (berwarna hitam) dan Al-Liwa (berwarna putih). Terlepas dari kesepakatan atau keabsahan bendera-bendera ini sebagai perwakilan dari agama/negara Islam, bendera-bendera ini memang semakin sering kita jumpai di bentang pandang Indonesia belakangan ini. Satu hal yang menarik ialah desain tipografi—atau dalam kosa Islami disebut khat—yang dipakai untuk menuliskan kalimat tauhid dalam aksara Arab itu cenderung memiliki keseragaman.

Padahal, bendera-bendera sejenis sesungguhnya memiliki berjubel variasi desain tipografi dalam perkembangannya. Kemasyhuran bendera berkalimat syahadat, khususnya yang berwarna hitam, tidak dapat dinafikan sebab bendera hitam itu dikabarkan akan mengiring kedatangan Imam Mahdi menjelang hari kiamat kelak. Berdasarkan risalah inilah, beberapa kelompok gerakan Islam mendaku, membajak atau memanfaatkan bendera hitam dengan bertuliskan La ila hailallaah Muhammad darasulullah sebagai fasad gerakan mereka. Walaupun pada kenyataannya, tidak digambarkan apakah bendera hitam yang dimaksudkan mengiring Imam Mahdi tersebut akan bertuliskan tauhid atau tidak; dan jika iya, jenis khat apa yang akan digunakan. Imaji tentang bendera ini lantas berkembang langgas. Beragam desain tipografi dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan bendera yang hendak disiarkan ke hadapan umat. Sebagian menambahkan kalimat lain, sebagian menambahkan gambar atau ornamen. Berikut ini beberapa contoh bendera hitam berkalimat Tauhid beserta gerakan penyokongnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, sebagian besar bendera-bendera ini memanglah dimanfaatkan oleh kelompok militan yang mengobarkan petaka di negara-negara Timur Tengah dan Afrika, seperti ISIS di Suriah dan Boko Haram di Nigeria. Penggunaan besar-besaran oleh kelompok-kelompok ini tentulah membuat citra bendera yang seharusnya dianggap mulia menjadi memburuk. Jarangnya bendera tersebut hadir dalam konteks yang bertamadun juga menyulitkan publik untuk menghubungkan gagasan tentang bendera tersebut dengan kesan yang elok-elok. Hubungan asosiatif antartandanya tidak terjalin sebagaimana mestinya.

Bahasa dan Parabahasa
Perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan si pembakar bendera jelas begitu kentara. HTI dan kelompok afiliasinya bersikukuh bahwa walau bagaimana pun, bendera tersebut tetap mengandung lafaz kudus. Kalimat lainnya: walaupun bendera tersebut hadir dalam konteks yang tidak ideal dan telah digaungkan oleh kelompok-kelompok ekstrem secara berulang-ulang selama bertahun-tahun, toh tetap saja mengandung kalimat yang tinggi derajatnya. Artinya, Hizbut Tahrir mengutamakan aspek kebahasaan belaka pada tulisan tersebut dan mengesampingkan apa-apa saja yang non-bahasa yang barangkali terpaut makna dengan tulisan tersebut. Persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan tipografis.

Tipografi mampu mendedah permasalahan bahasa tulis semacam ini. Para cendekiawan ilmu komunikasi telah lama memercayai bahwa komunikasi lisan terdiri dari dua hal yang nyaris tak terpisahkan, yaitu aspek verbal dan non-verbal. Penelitian oleh William Condon menunjukkan bahwa dalam komunikasi lisan, setiap ucapan (bahasa) didampingi oleh tanda-tanda non-bahasa seperti gerak-gerik, ekspresi muka, nada bicara dll. yang dapat memperkaya makna dalam komunikasi. Banyangkan seseorang berkata "Aku cinta kamu" dalam dua keadaan: pertama, dengan nada lemah lembut dan pipi merona, kedua, dengan nada tinggi, berteriak dan mengepalkan tangan. Satu mungkin akan membuat kita tersipu malu, sedangkan satunya membuat kita bergidik ketakutan. Mengapa dua hal dalam kalimat yang sama mendapatkan tanggapan yang berbeda? Karena dalam memaknai komunikasi, kita tidak hanya bertumpu dari bahasa saja.

Peristiwa yang demikian dapat pula dipadankan dalam dunia tipografi. Teks tidak hanya memuat apa yang terbaca, teks juga dapat dimaknai bagaimana ia tersaji secara visual. Padanan aspek verbal dan non-verbal dalam dunia bahasa tulis adalah tulisan (bahasa) dan paratulisan (parabahasa). Parabahasa sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis komunikasi non-verbal. Berbeda dengan jenis-jenis komunikasi non-verbal lainnya yang dapat berdiri sendiri, parabahasa tertaut dengan bahasa. Ia serupa dengan tipografi yang tidak dapat hadir tanpa adanya bahasa tulis, tanpa adanya aksara. Tipografi adalah parabahasa dalam dunia tulisan. Tipografi mampu menghembuskan makna-makna di luar makna bahasanya. Ia dapat menandakan nuansa bicara, kepribadian, gender, asal-usul dan banyak lagi. Sekarang banyangkan seseorang menulis "Aku cinta kamu" dalam dua fontasi: pertama dalam fontasi Parisienne oleh Astigmatic dan kedua dalam fontasi Horrorfind oleh Sinister Fonts (lihat gambar di bawah). Walaupun keduanya menyatakan kalimat yang sama, tetapi tentu kita mendapati nuansa makna yang berbeda, yang membuat kita merespons dengan cara yang berbeda pula.



Bagaimana Makna Tercipta
Kejadian pembakaran bendera tauhid boleh dikatakan disebabkan oleh perbedaan cara memaknai bendera tersebut. Satu golongan memaknai secara kebahasaan saja dan menepis segala kemungkinan tafsir makna yang melebar dan meluas ke mana-mana. Sedangkan, satu golongan lain memaknai hal-hal yang telah terasosiasi dengan bendera tauhid tersebut, memungkiri aspek kebahasaannya.

Mengesampingkan pesan-pesan yang dapat diulik di luar ketipografian, misalkan warna, bendera tauhid sungguhnya adalah sebuah karya tipografi. Bendera yang dipersoalkan memiliki gaya kaligrafi Sulus (Tsuluts ثلث) yang benar sering digunakan untuk menuliskan kalimat syahadat tauhid, seperti pada bendera Arab Saudi, Hamas, dan Barisan Pembebasan Islam Moro (beberapa contoh bendera yang tidak menggunakan warna hitam polos). Khat Sulus sering dijumpai menghias masjid-masjid dan naskah-naskah kitab kuno. Huruf-hurufnya yang berjejalan rapi, tebal-tipis yang berpatutan dan harakat-harakat dekoratifnya menciptakan kesan-kesan yang elegan dan nilai seni yang tinggi. Dipadukan dengan kalimat suci, kaligrafi ini lengkap baik dari sisi kebahasaan maupun kerupaannya. Akan tetapi, hal tersebut tampaknya belum cukup membuat semua golongan bersepakat dalam memaknainya.

Meskipun telah dilengkapi dengan kalimat suci dan tipografi yang apik, bendera tauhid sering berada pada konteks yang tidak ideal dan hal itu berulang kali dipaparkan ke hadapan awam. Secara pribadi, ketika membayangkan bendera tersebut, gambar-gambar yang terbayang di kepala saya adalah peperangan, konflik Timur Tengah, arak-arakan gerilyawan, dan keriuhan unjuk rasa; sukar rasanya menautkan simbol tersebut dengan kesan-kesan yang indah dan damai. Saya yakin, bukan saya sendiri yang mendapati hal serupa ini.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tanpa mempertimbangkan makna dari penggunaan aksara hijaiah itu sendiri yang mungkin tidak netral bagi sebagian orang (masyarakat Amerika Serikat mungkin was-was dengan tulisan Arab dan sebagian kalangan di Malaysia menolak huruf Jawi), bendera tauhid sebagai karya tipografi telah tertaut dengan sesuatu yang lain di luar makna lugasnya. Gerrit Willem Ovink pernah menjabarkan bagaimana tipografi pada kemasan parfum mampu membawa makna-makna ke luar aspek kebahasaan. Ia menjelaskan tiga hal: ikonisitas, alusi dan pengodean simbolik.

Ikonisitas (metafora) berbicara tentang bagaimana tipografi secara langsung memiliki kemiripan, baik kemiripan fisik maupun imajinatif, dengan sesuatu yang hendak diwakilinya. Jika Anda melihat bendera tauhid dengan bentuk kaligrafinya yang runcing-runcing, Anda akan terbayangkan kelopak bunga atau belati? Kuncup daun ataukah pedang? Pencitraan bendera tauhid lewat media arustama dll. yang telah memapar Anda selama ini akan memutuskan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sementara itu,  alusi (metonimi) berbicara tentang bagaimana tipografi terpaut pada gagasan-gagasan tertentu yang masih berhubungan dengan hal yang hendak diwakili. Jika Anda melihat bendera tauhid, gambaran apa yang lahir dari pengalaman tersebut, apakah Anda membayangkan gerakan damai ataukah gerakan yang membubarkan kedamaian? Yang terakhir, representasi simbolik berbicara tentang bagaimana rancangan tipografi tertentu disepakati kelompok masyarakat sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, tanpa memandang kemiripan (metafora) ataupun keterpautan dengan gagasan-gagasan lain (metonimi). Hal inilah yang kiranya paling genting dari kegemparan pembakaran bendera tauhid silam: tidak adanya kesepakatan antaranggota kelompok masyarakat tentang apa dan bagaimana itu bendera tauhid, yang didaku sebagai bendera agama Islam.

Saran
Dalam menengahi permasalahan pembakaran bendera tauhid yang ramai setahun lalu diperlukan rembukan yang matang antara kedua belah pihak. Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok afiliasinya seyogianya tidak cuci tangan dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bendera, sementara senantiasa mempromosikan panji-panji Ar-Rayah dalam pelbagai kesempatan. Keterikatan tanda yang kuat tentu tercipta di antara keduanya, antara bendera tersebut dan Hizbut Tahrir, serta gerakan-gerakan lainnya yang juga memanfaatkan bendera serupa. Sedangkan, apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota Banser juga tidak dapat dibenarkan, tindakan tanpa tenggang rasa tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kecerobohan yang menganggu keselarasan antaranggota masyarakat.

Kiranya jika memungkinkan, bendera Islam atau bendera tauhid perlu disepakati ulang oleh antarkalangan dalam masyarakat Islam secara umum, sehingga baik golongan HTI (atau eks-HTI) dan golongan Nahdlatul 'Ulama menemukan mufakat dalam mengiktirafkannya. Menimbang hadis yang meriwayatkan penggunaan bendera Ar-Rayah tidak menjelaskan apa-apa kecuali warnanya yang hitam, kreasi tipografi baru yang lebih netral dan modern untuk menuliskan kalimat syahadat pada bendera tersebut sangatlah memungkinkan. Tanpa mengubah makna harfiahnya, mungkin saja bendera Islam kelak dapat mengekor mode tipografi yang dipelopori Google, fontasi-fontasi nirkait geometris yang rapi, tawar, dan jernih; berusaha suci dari praduga makna.




Jumat, 01 Februari 2019

Teh Kotak dan Motter Ombra-nya

Teh Kotak adalah produk minuman dari Ultrajaya. Produk minuman ini diluncurkan pada tahun 1979, dan menjadi salah satu pelopor minuman siap minum di Indonesia.[1] Jika kita menyapu pandang ke rak minuman di minimarket, Teh Kotak adalah salah satu yang mencuri perhatian. Desain tipografinya seakan-akan tidak sezaman dengan produk-produk di kanan-kiri-atas-bawahnya. Ia membawa kita ke beberapa dasawarsa silam, membuatnya menonjol di antara yang lainnya.
 


Fontasi necis yang digunakan dalam kemasan Teh Kotak itu bernama Motter Ombra. Motter Ombra adalah fontasi karya Othmar Motter, seorang perancang huruf kelahiran Austria, 1927-2010. Di tahun 1952, ia bersama Hans Kaiser dan Sylvester Lička mendirikan studio seni grafika Vorarlberger Grafik. Motter Ombra adalah salah satu dari empat fontasi pampangan bikinannya pada tahun 1970-an untuk Berthold dan Letraset. Setelah pekerjaannya mencabang pada desain korporasi, ia baru kembali ke dunia rancang huruf pada tahun 1990-an dengan fontasi-fontasi untuk ITC, Monotype, dan FontFont.[2]

Letraset Motter Ombra. Gambar didapat dari www.limprimante.com

Motter Ombra adalah karya keduanya setelah Motter Tektura, fontasi yang digunakan untuk logo Apple pertama dan Reebok. Motter Ombra diluncurkan pada tahun 1972 dalam format huruf film oleh Berthold Fototypes dan huruf transfer kering oleh Letraset. Karena kala itu adalah zaman pradigital, rancangan fontasi Motter Ombra dikerjakan dengan pensil mekanik dan penggaris kurva. Sementara itu, versi digitalnya dibuat oleh Motter Fonts, sebuah perusahaan huruf mandiri milik keluarganya, dengan bantuan Jan Kammann.[3][4]

Cuplikan Motter Ombra dari luc.devroye.org

Motter Ombra adalah salah satu fontasi pampangan terpenting di abad ke-20. Ia menjadi penanda zaman. Gema sikedelia, disko, hippie dari 1960-an masih terasa di desain huruf-huruf yang melingkar, membulat dan menyimpang dari bentuk huruf pakem. Ia menawarkan kebaruan dan eksplorasi bentuk yang tidak lazim. Motter Ombra telah digunakan pada banyak hal, seperti poster, reklame toko, dan sampul album musik.

Motter Ombra juga telah banyak mengilhami seniman atau desainer lain untuk menginterpretasikan ulang karya ini, di antaranya Zombra EyeFS (2013) oleh Antonio J. Morata, Motter Dombra (2014) oleh Zhalgas Kassymkulov, karya yang tidak selesai dari OhNoType, Ombra Brutal oleh Nick Shea dan mungkin masih banyak karya lainnya.

Akan tetapi, mengapa pula citra merek Teh Kotak, kala pengambilan keputusan desain dahulunya, merasa dapat terwakili oleh fontasi Motter Ombra yang suka mejeng di album-album musik 1970-an dan setelahnya? Jawabannya mungkin karena desain-desain yang lahir di bawah genre sikedelia mengambil banyak ilham dari Art Nouveau; sementara Art Nouveau sendiri mengambil inspirasi dari keindahan bentuk alam, tumbuh-tumbuhan, sulur-sulur, bunga dan semacamnya. Keputusan desain waktu itu mungkin tidak didasari pengetahuan alur sejarah yang dilalui Motter Ombra. Namun itu pun tak perlu, sebab dari desainnya saja kita bisa menerka bahwa ada nuansa organik, alamiah, keluwesan dan alam itu sendiri. Hal-hal itulah yang mungkin dirasa mewakili Teh Kotak.


[1] Presentasi Perusahaan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. Desember 2013. PDF
[4] Matthew Burvill, Attention Seeker.

Sabtu, 26 Januari 2019

Darmawisata Tipografi di Malaysia

Malaysia telah lama masyhur akan keanekaragaman budayanya. Semenangjungnya yang panjang menjulai membuatnya menjadi persilangan dan persinggahan warga dari banyak belahan dunia sejak dahulu kala. Suku Tionghoa, India, Arab, di samping suku-suku Bumiputera, mewarnai seluruh denyut nadi kehidupan negara jiran yang begitu semarak ini. Keberagaman bisa dilihat misal dari kulinernya, mulai dari kari, Bak Kut Teh hingga nasi lemak; atau arsitekturnya, misal seperti arsitektur Melayu di Kampung Baru atau arsitektur Baba Nyonya di Melaka.

Keberagaman ini tak luput juga dalam hal tipografi. Kebudayaan masing-masing kelompok masyarakat yang mengakar kuat mendorong masing-masingnya untuk mempertahankan bahasa dan aksara mereka sendiri. Sebagai bandingannya, di Indonesia, warna-warni kebudayaan lokal cenderung memudar demi menjunjung "kebudayaan nasional" dengan bahasa Indonesianya dan aksara Latinnya. Lain hal dengan Malaysia yang berhasil merayakan keberagaman sebagaimana mestinya.

Satu sudut jalan di Kuala Lumpur saja, para pelancong akan dengan mudah menemui empat aksara hadir di jalanan mereka: aksara Tionghoa, aksara Jawi (modifikasi aksara hijaiah untuk bahasa Melayu), aksara Tamil dan aksara Latin. Masing-masingnya tampil dengan mencolok, mencoba menggait perhatian pelintas. Hal ini kiranya juga membuat kita sadar bahwa masing-masing dari kita setidaknya buta huruf untuk suatu aksara. Meskipun demikian, kita masih bisa menikmati sisi rupawi dari tipografi tersebut tanpa perlu membacanya.

Pada bulan Juli 2018 lalu, saya dan teman saya berkesempatan untuk melawat ke Malaysia dalam rangka mengikuti serangkaian lokakarya di Malaysian Global Innovation & Creativity Centre (MaGIC), Cyberjaya, Selangor. Dari lawatan itu, saya mencuri waktu untuk berkeliling dan mendokumentasikan hal-ihwal huruf di Malaysia (Cyberjaya, Putrajaya, Shah Alam, Kuala Lumpur dan Melaka), mengulik lanskap bahasanya, serta tipografi secara umum, dari yang sangat sepele hingga yang begitu menarik perhatian.


Jumatan pertama di Malaysia, di Masjid Putra, Putrajaya. Panduan arah ini ditulis dalam dua bahasa, bahasa Melayu dan Inggris, dan dua aksara, aksara Jawi dan aksara Latin; sebuah contoh kedwibahasaan (Melayu dan Inggris) dan kedwiaksaraan (digrafia; penggunaan dua aksara atau lebih untuk menuliskan satu bahasa, yakni Melayu, yang ditulis dalam aksara Jawi dan Latin).


Tanda berhenti ini sebenarnya biasa saja, hanya saja rasanya yang semacam ini saya baru pertama lihat karena di Indonesia umumnya menggunakan kata STOP yang bahasa Inggris itu. Kata stop menghemat 50% huruf daripada berhenti, sehingga huruf-hurufnya bisa tampak lebih besar dan mencolok. Malaysia mungkin menitikberatkan pada aspek identitas bahasanya daripada kepraktisannya. Itu yang bisa kita pelajari dari satu rambu lalu lintas di Cyberjaya ini.



Gambar sebelah kiri adalah contoh klasik papan tanda bahaya di Malaysia (dan juga Singapura) yang menampilkan bahasa Melayu bahaya, bahasa Inggris danger, bahasa Tionghoa 险 危, bahasa Tamil அபாயம் dan bahasa Punjabi ਖ਼ਤਰਾ. Kemancabahasaan ini sangatlah memukau. Saya jadi teringat pada salah satu plang serupa di gardu-gardu listrik zaman kolonial Surabaya, dan beberapa bagian Jawa lainnya. Gambar kanan yang diambil dari felkizavinanda.blogspot.com ini salah satu contoh klasik kemancabahasaan di Indonesia yang tampaknya tidak sintas seperti di Malaysia modern. Plang listrik ini bertuliskan bahasa Belanda levensgevaar, bahasa Melayu/Indonesia awas elestrik, dan bahasa Jawa ꦱꦶꦁꦔꦼꦩꦺꦏ꧀ꦩꦠꦶ꧉ / sing ngemék mati / yang memegang mati.


Berfoto bersama penunjuk arah berbahasa Inggris, Melayu dan Tamil di Tamarind Square, Cyberjaya. Saya percaya salah satu petunjuk sebuah penghormatan dan kesetaraan dalam keragaman budaya adalah adanya kata-kata dari bahasa tersebut yang ditampilkan di muka umum dalam ukuran yang sama besarnya dengan bahasa internasional atau bahasa nasional (tentu selama area desainnya memadai).

Tidak hanya haluan motorsikal, melainkan juga penanda konteks bahwa tulisan ini
berada di wilayah negara Malaysia.



Digrafia di Malaysia tergolong kuat dilihat dari cukup mudahnya menemui lambang-lambang perusahaan yang menggunakan dua aksara, Latin dan Jawi. Disimak dari segi fungsinya, sesungguhnya digrafia ini tergolong melewah alias mubazir, menimbang semua orang yang bisa membaca aksara Jawinya sudah pasti bisa membaca Latinnya. Akan tetapi, bukan itu memang tujuan dari digrafia. Tujuan kedwiaksaraan itu bersifat politis dan ideologis. Usaha-usaha untuk menghadirkan dan mempertahankan aksara yang mulai tergantikan oleh Latin di ruang publik adalah cara memberikan identitas pada sesuatu yang polos. Misalkan lambang Bank Rakyat hanya ditulis dalam aksara Latin, maka asosiasi dengan identitas kemelayuan, kemalaysiaan, keislaman atau bahkan kearaban akan berkurang.

Contoh penerapan kebijakan bahasa Brunei Darussalam, KFC yang ditulis
dalam dua aksara, Latin dan Jawi. Gambar diambil dari nfjowner.blogspot.com

Meskipun demikian, Akta Bahasa Kebangsaan 1963/67 seksi 9 menyatakan bahwa aksara nasional Malaysia adalah Rumi/Latin dan penggunaan Jawi sekadar diperbolehkan: menjadikan aksara Jawi sebagai alternatif saja. Hal ini agaknya berbeda dengan Brunei Darussalam yang cenderung mengambil langkah yang lebih konservatif dengan menjadikan aksara Jawi sebagai satu dari dua aksara nasional di samping aksara Latin, ditambah dengan aturan-aturan pendukung yang terperinci dalam kebijakan bahasa mereka. Kebijakan bahasa itu meliputi: memperbolehkan penggunaan dua bahasa, Inggris-Melayu; mewajibkan penggunaan dua aksara, Latin-Jawi untuk bahasa Melayu, kewajiban mencantumkan aksara Jawi di papan tanda dll. dalam ukuran yang lebih besar daripada aksara Latin, warna yang lebih jelas daripada aksara Latin dan diletakkan di atas aksara Latin, serta melarang kehadiran aksara dan bahasa selain Melayu-Jawi dalam ukuran yang lebih besar daripada setengah ukuran huruf Melayu-Jawi (Building Control [Advertisement, Billboard and Signboard] Regulation 2016). Peraturan ini membuat kehadiran aksara Jawi lebih melimpah di Brunei Darussalam daripada di Malaysia.


Penggunaan aksara hijaiah untuk bahasa Arab dan aksara Latin untuk bahasa Inggris
pada sebuah restoran/toko di Cyberjaya.
The Real Shisha Bar, dalam aksara Latin lir-Arab, di Cyberjaya.

Kemasan bumbu masak instan menampilkan bahasa Melayu dalam aksara Latin, bahasa Tamil,
bahasa Inggris dan bahasa Tionghoa.

Toko cendera mata di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur.
Restoran Khulafa di Shah Alam, dekat Bulatan Megawati. Restoran ini memiliki logo-tulisan yang sangat unik, berbentuk dari gabungan huruf Latin K dan huruf hijaiah خـ kha, melambangkan konsep kedwiaksaraan itu sendiri.



Kemasan camilan Maruku ini sangat unik, berwarna putih polos dengan desain di atasnya berwarna merah. Tata letak tipografi dan gaya ilustrasinya yang tampak jadul, ditambah dengan kehadiran bahasa Melayu Latin/Jawi, Tionghoa dan Inggris yang membikinnya tambah semarak.


Central Market beraksara Latin dengan pilihan tipografi nirkait, mengesankan hal-hal modern;
sementara aksara Tionghoanya disetel dalam gaya kaligrafi klasik yang mengesankan konservatisme budaya.





Perpaduan tipografi pada rancangan papan tanda cukup menarik untuk dibahas. Ada dua jenis contoh perpaduan tipografi di sini. Contoh pertama adalah Central Market, Kuala Lumpur dan penunjuk arah Christ Church, Melaka. Keduanya memadukan huruf nirkait (sans-serif) untuk aksara Latin dan tipografi kaligrafis untuk aksara Tionghoa, mungkin bergaya 行書 (xíngshū) dari abad ke-1 M atau 楷體 (kǎitǐ) dari abad ke-2 M. Hal ini memberikan kesan bahwa meski bahasa Inggris telah mendekap modernitas dengan meninggalkan jejak-jejak tradisi kaligrafi, bahasa Tionghoa hadir dalam konteks tersebut dalam tampilan setua hampir dua alaf yang lalu: sebuah simbol kebanggaan akan tradisi dan budaya leluhur. Kehadiran gaya kaligrafis tersebut sesungguhnya bertolak belakang dengan hakikat papan tandayang seyogianya menggunakan huruf nirkait sebagaimana kejelasan dan kecepatan informasi untuk ditangkap dalam sekejap mata adalah hal yang paling utama.

Contoh kedua adalah No Shoes Allowed dan Dilarang Merokok, yang secara tipografis dianggap kafah karena, baik tipografi Latin maupun Tionghoa, disetel dalam gaya nirkait sezaman yang mendukung fungsi dari papan tanda itu sendiri.

Sentuhan masa lalu yang begitu renyah dan gemilang dalam tipografi vernakular di Kuala Lumpur ini.
Besar, bangga dan mandiri

Desain aksara Tionghoa yang lebih kontemporer, nirkait membulat yang ramah.


If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart. Nelson Mandela


Vandalisme di jalanan dekat Petaling, Kuala Lumpur.
Kita Sudah Pindah, Melaka.
Kemultibahasaan hingga ke toilet.
Masjid Kampung Kling, Melaka, dalam aksara Latin dan Jawi yang didekorasi.
Jalan Tukang Emas, Melaka, dengan aksara Jawi di bagian atas.




Utamakan budaya sendiri: aksara Tamil tampil paling atas pada plang kuil Hindu ini.

Praying hours ... PS: No Smoking.
Plang ini mengingatkan saya akan kata-kata seorang teman, "aku percaya pada Tuhan yang multibahasa"
Sedikit cuplikan aksara Thai di Melaka.
Memperingatkan orang-orang dalam bahasa masing-masing. Fakta yang disimpulkan:
bahasa Tionghoa paling hemat tempat, disusul bahasa Inggris, Melayu dan Tamil.
這是在馬六甲下雨的信件
Jembatan Chan Koon Cheng (曾昆清橋), 1908, Melaka; di keempat sudutnya ada prasasti
dalam bahasa Tamil, Melayu, Inggris dan Tionghoa.
Sebuah tiang gedung dengan ukiran beraksara hanzi di Melaka.

Melayani segala bangsa.












Gereja Santo Paulus di Melaka adalah wisata tipografi yang baik untuk mempelajari desain dan bentuk huruf capitalis quadrata yang diukir pada banyak batu nisan Portugis abad ke-16. Di Indonesia, batu nisan serupa sepertinya bisa dilihat di Museum Wayang, Jakarta.



Perbesaran detail ukiran huruf pada batu nisan Portugis di Gereja Santo Paulus, Melaka.
Hatta demikianlah darmawisata tipografi singkat saya selama di Malaysia. Kuala Lumpur yang terik, padat dan modern. Cyberjaya, Putrajaya dan Shah Alam yang apik, tetapi seperti kurang terasa degup budayanya. Lalu Melaka~ Ah Melaka begitu memesona. Semoga akan berjumpa di lain kesempatan.

Membeli air kelapa, dicampur biji selasih.
Jika ada salah di kata, mohon maaf dan terima kasih.


Terima kasih telah memperhatikan! Terima kasih juga pada kawan-kawan yang membuat perjalanan ini menjadi mungkin dan menyenangkan: Ijad, Faisal, Eliza, kawan-kawan di MaGic, dan khususnya Farid dan Widad yang telah menemani berputar-putar di Kuala Lumpur.