Selasa, 26 Mei 2020

Logam Huruf Jawa II: Tren Desain Eropa dalam Langgam Hias

Selain huruf cetak fungsional, tipografer Eropa juga mulai bereksperimen dengan langgam hias untuk penggunaan di luar teks biasa. Salah satu upaya paling awal dari langgam cetak hias aksara Jawa adalah Gefigureerd Javaansch yang dibuat oleh Gotlieb Schlegelmich (1858–?) pada tahun 1883 untuk percetakan Enschedé. Langgam rumit ini dipenuhi oleh stiliran sulur-sulur tanaman gaya Eropa dengan arsiran yang menggambarkan volume. Oleh karenanya, keseluruhan rupa huruf memiliki kesan barok-rokoko yang sangat kental. Meskipun langgam ini mencerminkan tren huruf hias yang lumrah di Eropa, pembaca pribumi maupun Eropa di pulau Jawa masa itu kemungkinan besar tidak akrab dengan penerapan serupa pada aksara Jawa karena Gefigureerd Javaansch tidak pernah ditemukan dalam banyak publikasi selain spesimen huruf Enschedé (Baerdmaker 2012). Sejauh penelusuran penulis, langgam yang menyerupai Gefigureerd hanya digunakan beberapa kali oleh Landsdrukkerij (percetakan) Batavia untuk beberapa buku gubahan Muhammad Musa pada 1800-an akhir.

Sampel Gefigureerd Javaansch dari publikasi tahun 1893 yang merayakan hari jadi percetakan Enschedé.


Beberapa sampel Gefigureerd Javaansch yang didokumentasikan oleh Baerdmaker (2012)
Pengaruh desain huruf Eropa juga dapat terlihat koran Bromartani, koran berbahasa Jawa pertama yang mulai beredar secara berkala pada 29 Maret 1895. Dapat terlihat bahwa masthead atau kop Bromartani dibuat dengan gaya huruf patah (blackletter) Latin. Penggunaan semacam ini selaras dengan praktik koran-koran Eropa sejak abad 18 M yang menggunakan huruf patah untuk bagian judul karena gaya tersebut merupakan gaya paling tebal dan mencolok yang tersedia pada masa itu (Morison 2009). Kemudian menjadi menarik diperhatikan bahwasanya praktik desain Eropa khusus semacam ini ternyata juga diaplikasikan dalam aksara Jawa. Tidak diketahui apakah logo ini dibuat oleh seorang perancang Eropa atau pribumi, walau begitu dapat kita duga bahwa redaksi koran Bromartani–yang salah satu anggotanya adalah pujangga Ranggawarsita (1802-1873)–tampaknya tidak pernah bermasalah dengan desain logo huruf patah Bromartani karena logo tersebut terus digunakan dalam keseluruhan riwayat cetak Bromartani. Hal ini dapat kita intepretasikan juga sebagai keterbukaan pembaca pribumi dalam menerima pengaruh yang sarat keeropaan dalam rancangan huruf Jawa.
Kop koran Bromartani memperlihatkan pengaruh langgam Eropa

Setidaknya terdapat satu buku yang menggunakan langgam hias Eropa dengan lebih merata di dalam isinya: Dongéng-dongéng Pieunteungeun, kumpulan dongeng berbahasa Sunda dalam aksara Jawa yang disusun oleh Radén Haji Muhammad Musa (1822–1886). Muhammad Musa adalah salah satu pelopor kesastraan Sunda abad 19 yang menjabat sebagai penghulu besar Kabupaten Limbangan semasa hidupnya. Ia memiliki persahabatan erat dengan KF Holle (1829–1896), seorang pemilik perkebunan teh di Garut, penasehat pemerintahan Hindia-Belanda, dan peminat sastra Sunda. Berkat persahabatan eratnya dengan Holle, berbagai karya Musa–baik terjemahan, saduran, maupun tulisan yang ia gubah sendiri–dicetak dalam jumlah yang banyak oleh Landsdrukkerij Batavia. Dongéng-dongéng Pingentengen, yang dicetak pada tahun 1867, merupakan buku yang unik secara tipografis karena adanya huruf awal (drop caps) aksara Jawa dengan langgam Eropa seperti huruf patah dan gaya Toskana yang digunakan di awal setiap dongeng


Kiri: Halaman judul dalam Dongéng-dongéng Pieunteungeun. Kanan: sejumlah drop caps dari buku tersebut

Persilangan langgam Jawa-Eropa terutama sangat kentara pada sampel desain yang dibuat pada abad 19 M akhir. Salah satunya yang paling mencolok dapat dilihat pada adalah halaman judul dari sebuah buku yang dicetak di Semarang untuk merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina pada tahun 1898, kini disimpan di Koninklijk Huisarchief (Arsip Kerajaan Belanda). Halaman judul tersebut dicetak dengan teknik litografi dan dapat terlihat bahwa tiap baris aksara Jawanya dicetak berselang-seling antara langgam polos dan berhias yang sarat dengan pengaruh desain Eropa. Baris pertama ditulis dengan gaya huruf patah, sementara baris tiga, enam, dan delapan menggunakan gaya Toskana-koboi (western). Buku ini tampaknya dikomisikan oleh seseorang yang bernama Makuṭa dan dicetak oleh percetakan GCT van Dorp & co yang namanya dapat terlihat di pojok kiri bawah halaman.


Halaman judul buku yang merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina, 1898.
Meskipun begitu, perlu diperhatikan bahwa langgam Eropa tampaknya hanya digunakan untuk kondisi tertentu saja karena terbitan sehari-hari biasanya menggunakan langgam hias yang lebih polos. Penerbitan milik Tan Khoen Swie (陳坤瑞, 1883-1953) di Kediri misalnya, memproduksi buku berbahasa Jawa dalam berbagai topik yang judulnya umum menggunakan langgam kaku mbata (bahasa Jawa: menyerupai batu bata).


 Halaman judul dalam sejumlah buku yang diproduksi penerbitan Tan Khoe Swie.
Meski antargaya mbata cetak biasanya tidak memiliki perbedaan desain satu sama lain yang terlalu kentara, adakalanya dapat ditemukan pengolahan mbata yang menarik sebagaimana yang bisa dilihat pada halaman judul dua buku berikut:


Atas: Bocah Mangkunagaran (Yasawidagda, 1937). Bawah: Baron Sakénḍér (Yudasara, 1930)

Periklanan Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal juga umumnya menggunakan langgam-langgam konservatif dengan perbedaan yang halus antara satu sama lain. Hal ini mungkin dipicu format iklan pada masa itu yang seringkali padat teks–konsep logo wordmark dan pengenalan merek untuk produk sehari-hari belum menjadi praktik yang lumrah. Pada kasus semacam itu, aksara Jawa yang jelas dan mudah dibaca lebih diutamakan untuk teks yang menjelaskan keunggulan produk secara rinci. Praktik yang juga umum pada waktu itu adalah menggunakan huruf Latin untuk nama produk yang menjadi tajuk utama iklan sementara penjelasan dan badan teks menggunakan aksara Jawa


Macam-macam iklan dalam publikasi Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal.
_______________________________________

Tulisan di atas ditulis dan disumbangkan oleh Aditya Bayu Perdana.
Pranala: Instagram dan Behance.
Versi jurnal tulisan ini telah dipublikasikan dalam Manuskripta Vol 10 No 1 (2020).

0 komentar:

Posting Komentar