Sebuah pesan pernah
sampai kepada saya beberapa tahun silam. Saya tidak
ingat pasti melalui media apa, entah Google Mail, pesan Facebook, Twitter
atau pesan langsung dari situs berbagi fontasi gratis. Yang saya ingat betul adalah:
ia, kemungkinan besar dari negara di Eropa atau Amerika Serikat, meminta izin
untuk memakai fontasi saya yang lir-Arab (menyerupai aksara hijaiah). Ada yang menarik perhatian saya kala itu. Ia bertanya,
kurang lebih kalau diterjemahkan seperti ini, “Saya rencananya akan
mencetak fontasimu di kaos, yang akan saya pakai selama melancong
ke Dubai bersama pacarku. Tapi
pacarku mencegahku melakukannya, sebab katanya hal itu (menggunakan
tipografi yang menyerupai aksara hijaiah) tergolong melecehkan
kebudayaan Arab.” Saya waktu itu memang merenung sejenak, akan
tetapi tidak terlalu lama; kemudian saya membikin kesimpulan dini yang menyatakan bahwa hal itu oke-oke saja.
Beberapa tahun
kemudian, ada yang ditunggu-tunggu banyak orang Jawa atau pemerhati
kejawaan. Kongres Bahasa Jawa Ke-6 akan diselenggarakan di Yogyakarta
pada tanggal 8-12 November 2016. Hajatan akbar tiap lima tahunan ini intinya akan
membahas seluk-beluk bahasa dan budaya Jawa. Saya jadi ingat
seseorang pernah menulis di blog bahwa udara muram selalu mewarnai di
pelbagai kongres bahasa daerah, sebab kita semua tahu bahwa bahasa
daerah adalah bahasa yang paling diujung tanduk; terdesak oleh bahasa
Indonesia di dalam negeri dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris,
di taraf dunia.
Kebetulan sekali,
lambang KBJ ke-6 tersebut diolah oleh perancang grafis pihak panitia
menggunakan fontasi lir-Jawa (meniru bentuk aksara Jawa) saya yang
terbaru, yakni Upakarti. Upakarti adalah pengembangan dan perbaikan
dari fontasi lirjawa sebelumnya, yaitu Kemasyuran Jawa. Tidak
dinyana, hal ini menimbulkan banyak tanggapan dari sejumlah pihak
pemerhati kebudayaan Jawa. Seperti pacar seseorang yang hendak pergi
ke Dubai tadi, orang-orang tersebut ternyata memang “tersinggung”
dengan rancangan fontasi Latin yang meniru-niru lekuk tubuh aksara
Jawa yang sebenarnya. Lantas ini memang menimbulkan pertentangan,
kongres bahasa Jawa kok tidak memakai bahasa dan aksara Jawa. Saya
pun setuju dengan itu. Maka dari itu, muncullah keluaran lambang KJB
ke-6 yang telah diaksarajawakan; bikinan salah seorang penggiat yang
menyadari bahwasanya ada yang keliru dengan hal tersebut.
Perenungan saya
ternyata belum selesai. Setelah bertahun-tahun dianggap usai, saya
kembali memikirkan perihal ini. Apakah fontasi atau rupa tipografi Latin
yang meniru-niru bentuk aksara lain, Jawa atau Arab misalnya—atau
sebaliknya[?]—tergolong kurang etis, kurang mengindahkan kesusilaan
atau tata krama yang berlaku di suatu lingkungan budaya?
Hal ini menjadi penting
bagi saya, sebab, selama saya berkarya di dunia rancang-merancang
huruf, saya sering sekali menciptakan rupa-rupa huruf Latin yang
mengambil raut muka aksara Arab, terutama, Jawa, Ibrani, Jepang,
Korea dan bahkan Tagalog. Hal ini yang saya lakukan berkali-kali, dan
saya tidak bermaksud bergesekan dengan gagasan atau nilai masyarakat
mana pun.
Saya bukanlah yang
pertama melakukannya. Pengalihrupaan antaraksara di dunia sudah
dilakukan sejak berdasawarsa silam. Bisa dibilang contoh di dunia
Barat yang paling kentara adalah desain huruf lir-Ibrani. Pada
masa-masa itu kebudayaan Yahudi benar-benar menjadi perhatian, yakni
sebagai minoritas yang perkasa, dan kemudian menjadi minoritas yang dibasmi.
Dalam pergolakan seperti itu, produksi desain bernuansa Yahudi
menjadi berlimpah, selaras dengan gagasan-gagasan yang dicoba untuk
disebarluaskan.
[1] Börries von
Münchhausen, Juda; dirancang oleh Ephraim Moses Lilien. Berlin,
1900. [2] Ex Libris - Oscar Porges. Dari sebuah ilustrasi pada
halaman muka buku katalog Pra-Perang Dunia Kedua. Jerman, 1920-an [3]
Peta Tel Aviv Erez Israel pada masa awal pendudukan Palestina,
1930-an. Sangat unik, sebab huruf Ibrani asli disandingkan dengan
huruf Latin lir-Ibrani. [4] Wir wählen Hindenburg! Wir wählen
Hitler! Schau dir diese kopfe an, und du weißt wohin du gehörst!
Berlin, 1932. Sebuah poster ajakan untuk mendukung Hitler. [5] Poster propaganda yang menerangkan kesenjangan
sosial di Belanda. Ketika itu kaum Yahudi menguasai
ekonomi di Eropa, 1940. [6] A Treasure For My Daughter Jewish
Cookbook 1969. Buku tentang masakan dan tata cara perayaan Yahudi ini
diterbitkan oleh Hawthorn Books. Saya harus berterimakasih kepada Avi
Bohbot karena terlah menghimpun contoh-contoh apik rancangan
lir-Ibrani [Faux-Hebrew Typefaces] tersebut di Pinterest sehingga mudah dijangkau.
Sementara itu di
Indonesia, penggunaan jenis huruf liran (lirjawa, lirarab,
liribrani, dst.) ini banyak dijumpai dalam lingkup kebudayaan Jawa.
Hal ini dapat dimengerti karena suku Jawa adalah suku dengan penutur
terbanyak di Indonesia. Dengan hal itu dapat disangkakan bahwa
masyarakat Jawa juga banyak menghasilkan karya-karya kebudayaan.
Berikut ini contoh-contoh buku dan koran yang menggunakan rancangan
huruf Latin yang menyerupai aksara Jawa.
[1] Imam Supardi, Tekad
Wadja. Sumber Kemadjuan Rakjat. Penerbit Panjebar Semangat.
Surabaya, 1955. [2] karya Imam Supardi, Dewa Rutji Winardi .
Penerbit Panjebar Semangat, Surabaya, 1960.
wayangpustaka02.wordpress.com
[3] Ungkapan dan Hukum Karma dalam Bharata Yuda oleh Heroesoekarto.
Diterbitkan oleh Grip, 1961. bukuwayang.wordpress.com
[4] Koran mingguan berbahasa Jawa “Kumandang”. Jakarta, 1977.
antiknjadul.blogspot.kr
[5] Ramayana oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com
[6] Bima Suci oleh R. Tanaya. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com
[7] Sumbadra Larung oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1987.
bukuwayang.wordpress.com
[8] Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras). Balai Pustaka, Jakarta,
1981 Grafis: Budiono [9] Centhini: Tambangraras – Amongraga. 1991,
Balai Pustaka dan Universitas Gadjah Mada.
Selain contoh-contoh
media cetak di atas, juga ada beberapa contoh pengguanaan tipografi
Latin yang menyerupai huruf Jawa pada lambang lembaga, perusahaan
atau kelompok tertentu. Seperti yang bisa dilihat di bawah ini, merupakan contoh
lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mustika Ratu dan
Hiphopdiningrat [kelompok musik beraliran Hip Hop yang menggunakan
bahasa Jawa].
Ada pula contoh
yang berkaitan dengan budaya Tionghoa Indonesia, pada gambar dua
koran di bawah ini, yaitu Sin Po dan Keng Po. Nama koran pada keduanya
ditulis dengan meniru fitur-fitur ketampakan kaligrafi Tiongkok;
seakan-akan huruf-hurufnya ditulis menggunakan kuas oleh seorang
kaligrafer Tionghoa. Dan yang istimewa, di sekitarnya masih terdapat
tulisan Tionghoa asli yang beraksara Hanji [ingat sebelumnya pada peta Tel Aviv yang
menggunakan huruf Latin dan Ibrani secara bersamaan]. Hal ini seperti
hendak berkata, “Bagi yang bisa baca huruf Cina silakan membaca
ini, dan bagi yang tidak bisa, silakan membaca yang itu.”
Keduanya adalah koran
berbahasa Melayu [terdapat juga terbitan berbahasa Belanda], namun
demikian kebanyakan pembacanya berasal dari kalangan Tionghoa
peranakan. Hal ini menjadi sangat unik, mengapa surat kabar tidak
disediakan khusus dalam bahasa dan aksara Tionghoa saja? Menurut
hemat saya, hal ini dilakukan untuk memperluas pasar pembaca. Selain
tidak perlu risau akan nuansa antardialek Tionghoa [Hokkian, Kanton,
dll.], juga dapat dinikmati oleh kalangan non-Tionghoa di Indonesia
yang mampu berbahasa Melayu. Pertanyaan selanjutnya adalah, apabila
berbahasa Melayu, mengapa logotipe dirancang menggunakan nama dan gaya
tipografi Tiongkok? Pada masa itu umumnya masyarakat Tionghoa
terbelah menjadi dua: yakni mereka yang mendukung nasionalisme
Indonesia dan mereka yang mendukung nasionalisme Tiongkok. Dua
rancangan logotipe Sin Po dan Keng Po ini dapat ditafsirkan sebagai
kompromi jati diri orang Tionghoa pada masa itu. Huruf Latin dan
bahasa Melayu menandakan nasionalisme Indonesia. Sedangkan karakter
Hanji dan model tipografi kuas menandakan tradisi Tionghoa. Mereka
adalah bagaimana pun berasal dari Tiongkok, namun hidup dari dan
untuk Indonesia.
Perbedaan contoh-contoh
di atas terletak kepada kalangan sasarannya. Jikalau kita menengok ke
contoh-contoh rancangan lir-Ibrani dan lir-Tionghoa di atas, keduanya
diperuntukkan bagi non-penutur; oleh sebab itu ditulis dalam bahasa
dan aksara yang berbeda dengan kesan asal-kebudayaan yang diinginkan.
Contoh rancangan lir-Ibrani di atas ditulis dalam bahasa Inggris,
Jerman dan Belanda; sesuai dengan sasaran masyarakat yang dituju
untuk menyampaikan sesuatu ihwal keyahudian. Sementara itu, dua koran
Sin Po dan Keng Po, tersedia dalam bahasa Melayu, meskipun dibaca
luas oleh masyarakat Tionghoa juga. Sebaliknya, contoh-contoh
lir-Jawa di atas ditulis dalam bahasa Jawa yang artinya oleh dan untuk
masyarakat Jawa sendiri.
Poster edaran untuk menghimbau masyarakat agar berbahasa Jepang |
Hal tersebut dapat
ditilik dari sejarah bahasa dan aksara Jawa. Pada zaman Belanda,
bahasa dan aksara Jawa memiliki tempat sederajat dengan bahasa
Belanda yang berhuruf Latin dan bahasa Melayu yang berhuruf Jawi atau Latin.
Semua berubah dengan mengejutkan pada zaman penjajahan Jepang. Pada
zaman tersebut, bahasa yang boleh digunakan hanyalah bahasa Melayu [bahasa Indonesia] dan Jepang; dan itu artinya adalah kemunduruan bagi bahasa dan sastra
daerah. Buku-buku berbahasa dan beraksara Jawa [juga kebudayaan
daerah lainnya] berhenti di zaman tersebut; seakan-akan serdadu Nipon
telah memenggal putus keragaman budaya daerah. Padahal, penjajahan Jepang
hanya berlangsung selama tiga tahun di Indonesia, bandingkan dengan
35 tahun penjajahan Jepang di Korea. Akan tetapi, kekerasan budaya
memang terjadi pada tahun-tahun penghujung cengkeraman penjajah Jepang di Asia. Seperti halnya di
Indonesia [kala itu Hindia Belanda], Jepang juga melarang keras
penggunaan bahasa dan aksara Korea sampai tumpas. Perbedaannya adalah
bahasa dan aksara Korea berhasil sintas sampai sekarang; sedangkan
bahasa dan aksara Jawa, yah, bisa dibilang sedang megap-megap. Saat
ini, kalau hendak mencari buku berbahasa Jawa dan beraksara Jawa
sudah pasti tercetak dengan tahun terbit sebelum penjajahan Jepang.
Ada keterangan sejarah yang hilang dalam kurun waktu tersebut,
mengapa begitu cepatnya menghentikan dan menghilangkan aksara Jawa dari bumi Nusantara;
kemungkinannya antara lain karena teknologi percetakan aksara Jawa
pergi bersama perginya penjajah Belanda atau memang penjajahan
Jepang sudah kepalang bengisnya, hingga berhasil memberangus suatu
budaya.
Alhasil, bahasa Jawa
agaknya berhasil lebih sintas melalui budaya lisan, namun mulai terpisah dari aksaranya. Bahasa Jawa kemudian mulai ditulis
dengan aksara Latin yang secara tidak langsung juga menjadikan aksara
Jawa terasa asing bagi bahasa dan penuturnya sendiri. Penerbitan dan
media cetak bahasa Jawa pasca-kemerdekaan Indonesia yang
bertahan—tidak tampak kejawaannya apabila nama atau judul terbitan
ditulis begitu saja dalam patron huruf Latin biasa. Oleh karena itu,
muncullah gagasan untuk membentuk sebuah kompromi, sebuah rancangan
huruf Latin baru, yang meniru lekuk tubuh aksara Jawa; sehingga dua
kepentingan bertemu, yakni aksara Latin yang lebih dipahami banyak
orang [atau alasan ketidaktersediaan peralatan cetak yang mendukung
penulisan Jawa] dan kesan kejawaan yang masih dapat ditonjolkan
secara rupawi. Hal ini dianggap berhasil membawa pesan dan
kesan yang diinginkan kepada pembaca, sehingga produksi desain huruf
lir-Jawa tersedia cukup melimpah di peredaran.
Saya nukil dari
Historia.id dalam artikel Nafas Sang Kalawarti. Moechtar,
mantan pemimpin redaksi Panjebar Semangat, satu
di antara tiga majalah bahasa Jawa yang bertahan, pernah berbincang
dengan George Quinn, seorang peneliti budaya dan sastra Jawa
dari Universitas Nasional Australia. Ia bertanya padanya apakah
Panjebar Semangat akan ikut mati bersama matinya pembaca
generasi tuanya, dia menjawab: “Saya tetap optimis. Setidaknya
suatu hari nanti generasi muda akan mencari jati dirinya dan beberapa
menemukannya di Panjebar Semangat.”
Kalau kita betul
beruntung, insya Allah, ucapan [atau ramalan] bapak Moechtar tersebut
sudah mulai kelihatan benarnya. Kelompok-kelompok penggemar dan
pemerhati budaya Jawa yang tersebar mulai dari tarian, musik hingga sastra telah
bermunculan, terhubung dan berhimpun. Setidaknya itu yang terlihat di
dunia maya. Bahkan ada suatu kelompok daring di Facebook yang
mengkhususkan diri untuk mempelajari dan menyebarluaskan aksara Jawa.
Dari kelompok itulah muncul keluaran lambang tandingan berkasara Jawa sejati Kongres Bahasa Jawa Ke-6 yang akan dihelat bulan
depan di Yogyakarta.
Produksi desain huruf
liran sesungguhnya terbebas dari persoalan etis dan tidak etis.
Keterikatan pada nilai-nilai tersebut sesungguhnya berada pada ranah
tipografer, atau pengguna dari sebuah desain huruf yang sekaligus
pencipta dari sebuah produk grafis. Tipografer, bersama dengan penyunting tentunya, diharuskan untuk mengerti siapa sasaran yang dituju, sehingga penggunaan fontasi liran dapat dibatasi hanya untuk
menyasar khalayak non-penutur agar mendapatkan kesan kebudayaan yang
dimaksudkan. Mengingat, Surianto Rustan seringkali menggunakan
istilah 'hormati pembaca' pada bukunya Huruf, Font dan Tipografi.
Hanya saja dalam kasus bahasa dan aksara Jawa, permasalahannya agak
sedikit ... rumit.
Syahdan, pacar dari
pria yang hendak pergi ke Dubai bersama-sama itu berarti ada
benarnya. Saya harap si pria yang bertanya kepada saya beberapa tahun
lalu itu tidak benar-benar membikin kaos dari desain huruf lir-Arab buatan saya;
dan berjalan-jalan di tengah kota Dubai sebagai pelancong. Kalau-kalau iya,
mungkin bakal ada seorang Arab mencegatnya, dan bertaka,
“Astaghfirullah, copot kaosmu! N****!”