Jumat, 14 Oktober 2016

Antara Dubai dan Yogyakarta: Esai Tentang Huruf yang Berkompromi

Sebuah pesan pernah sampai kepada saya beberapa tahun silam. Saya tidak ingat pasti melalui media apa, entah Google Mail, pesan Facebook, Twitter atau pesan langsung dari situs berbagi fontasi gratis. Yang saya ingat betul adalah: ia, kemungkinan besar dari negara di Eropa atau Amerika Serikat, meminta izin untuk memakai fontasi saya yang lir-Arab (menyerupai aksara hijaiah). Ada yang menarik perhatian saya kala itu. Ia bertanya, kurang lebih kalau diterjemahkan seperti ini, “Saya rencananya akan mencetak fontasimu di kaos, yang akan saya pakai selama melancong ke Dubai bersama pacarku. Tapi pacarku mencegahku melakukannya, sebab katanya hal itu (menggunakan tipografi yang menyerupai aksara hijaiah) tergolong melecehkan kebudayaan Arab.” Saya waktu itu memang merenung sejenak, akan tetapi tidak terlalu lama; kemudian saya membikin kesimpulan dini yang menyatakan bahwa hal itu oke-oke saja.

Beberapa tahun kemudian, ada yang ditunggu-tunggu banyak orang Jawa atau pemerhati kejawaan. Kongres Bahasa Jawa Ke-6 akan diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 8-12 November 2016. Hajatan akbar tiap lima tahunan ini intinya akan membahas seluk-beluk bahasa dan budaya Jawa. Saya jadi ingat seseorang pernah menulis di blog bahwa udara muram selalu mewarnai di pelbagai kongres bahasa daerah, sebab kita semua tahu bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang paling diujung tanduk; terdesak oleh bahasa Indonesia di dalam negeri dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di taraf dunia.

Kebetulan sekali, lambang KBJ ke-6 tersebut diolah oleh perancang grafis pihak panitia menggunakan fontasi lir-Jawa (meniru bentuk aksara Jawa) saya yang terbaru, yakni Upakarti. Upakarti adalah pengembangan dan perbaikan dari fontasi lirjawa sebelumnya, yaitu Kemasyuran Jawa. Tidak dinyana, hal ini menimbulkan banyak tanggapan dari sejumlah pihak pemerhati kebudayaan Jawa. Seperti pacar seseorang yang hendak pergi ke Dubai tadi, orang-orang tersebut ternyata memang “tersinggung” dengan rancangan fontasi Latin yang meniru-niru lekuk tubuh aksara Jawa yang sebenarnya. Lantas ini memang menimbulkan pertentangan, kongres bahasa Jawa kok tidak memakai bahasa dan aksara Jawa. Saya pun setuju dengan itu. Maka dari itu, muncullah keluaran lambang KJB ke-6 yang telah diaksarajawakan; bikinan salah seorang penggiat yang menyadari bahwasanya ada yang keliru dengan hal tersebut.



Perenungan saya ternyata belum selesai. Setelah bertahun-tahun dianggap usai, saya kembali memikirkan perihal ini. Apakah fontasi atau rupa tipografi Latin yang meniru-niru bentuk aksara lain, Jawa atau Arab misalnya—atau sebaliknya[?]—tergolong kurang etis, kurang mengindahkan kesusilaan atau tata krama yang berlaku di suatu lingkungan budaya?

Hal ini menjadi penting bagi saya, sebab, selama saya berkarya di dunia rancang-merancang huruf, saya sering sekali menciptakan rupa-rupa huruf Latin yang mengambil raut muka aksara Arab, terutama, Jawa, Ibrani, Jepang, Korea dan bahkan Tagalog. Hal ini yang saya lakukan berkali-kali, dan saya tidak bermaksud bergesekan dengan gagasan atau nilai masyarakat mana pun.

Saya bukanlah yang pertama melakukannya. Pengalihrupaan antaraksara di dunia sudah dilakukan sejak berdasawarsa silam. Bisa dibilang contoh di dunia Barat yang paling kentara adalah desain huruf lir-Ibrani. Pada masa-masa itu kebudayaan Yahudi benar-benar menjadi perhatian, yakni sebagai minoritas yang perkasa, dan kemudian menjadi minoritas yang dibasmi. Dalam pergolakan seperti itu, produksi desain bernuansa Yahudi menjadi berlimpah, selaras dengan gagasan-gagasan yang dicoba untuk disebarluaskan.



[1] Börries von Münchhausen, Juda; dirancang oleh Ephraim Moses Lilien. Berlin, 1900. [2] Ex Libris - Oscar Porges. Dari sebuah ilustrasi pada halaman muka buku katalog Pra-Perang Dunia Kedua. Jerman, 1920-an [3] Peta Tel Aviv Erez Israel pada masa awal pendudukan Palestina, 1930-an. Sangat unik, sebab huruf Ibrani asli disandingkan dengan huruf Latin lir-Ibrani. [4] Wir wählen Hindenburg! Wir wählen Hitler! Schau dir diese kopfe an, und du weißt wohin du gehörst! Berlin, 1932. Sebuah poster ajakan untuk mendukung Hitler. [5] Poster propaganda yang menerangkan kesenjangan sosial di Belanda. Ketika itu kaum Yahudi menguasai ekonomi di Eropa, 1940. [6] A Treasure For My Daughter Jewish Cookbook 1969. Buku tentang masakan dan tata cara perayaan Yahudi ini diterbitkan oleh Hawthorn Books. Saya harus berterimakasih kepada Avi Bohbot karena terlah menghimpun contoh-contoh apik rancangan lir-Ibrani [Faux-Hebrew Typefaces] tersebut di Pinterest sehingga mudah dijangkau.

Sementara itu di Indonesia, penggunaan jenis huruf liran (lirjawa, lirarab, liribrani, dst.) ini banyak dijumpai dalam lingkup kebudayaan Jawa. Hal ini dapat dimengerti karena suku Jawa adalah suku dengan penutur terbanyak di Indonesia. Dengan hal itu dapat disangkakan bahwa masyarakat Jawa juga banyak menghasilkan karya-karya kebudayaan. Berikut ini contoh-contoh buku dan koran yang menggunakan rancangan huruf Latin yang menyerupai aksara Jawa.



[1] Imam Supardi, Tekad Wadja. Sumber Kemadjuan Rakjat. Penerbit Panjebar Semangat. Surabaya, 1955. [2] karya Imam Supardi, Dewa Rutji Winardi . Penerbit Panjebar Semangat, Surabaya, 1960. wayangpustaka02.wordpress.com [3] Ungkapan dan Hukum Karma dalam Bharata Yuda oleh Heroesoekarto. Diterbitkan oleh Grip, 1961. bukuwayang.wordpress.com [4] Koran mingguan berbahasa Jawa “Kumandang”. Jakarta, 1977. antiknjadul.blogspot.kr [5] Ramayana oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com [6] Bima Suci oleh R. Tanaya. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com [7] Sumbadra Larung oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1987.
bukuwayang.wordpress.com [8] Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras). Balai Pustaka, Jakarta, 1981 Grafis: Budiono [9] Centhini: Tambangraras – Amongraga. 1991, Balai Pustaka dan Universitas Gadjah Mada.

Selain contoh-contoh media cetak di atas, juga ada beberapa contoh pengguanaan tipografi Latin yang menyerupai huruf Jawa pada lambang lembaga, perusahaan atau kelompok tertentu. Seperti yang bisa dilihat di bawah ini, merupakan contoh lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mustika Ratu dan Hiphopdiningrat [kelompok musik beraliran Hip Hop yang menggunakan bahasa Jawa].


Ada pula contoh yang berkaitan dengan budaya Tionghoa Indonesia, pada gambar dua koran di bawah ini, yaitu Sin Po dan Keng Po. Nama koran pada keduanya ditulis dengan meniru fitur-fitur ketampakan kaligrafi Tiongkok; seakan-akan huruf-hurufnya ditulis menggunakan kuas oleh seorang kaligrafer Tionghoa. Dan yang istimewa, di sekitarnya masih terdapat tulisan Tionghoa asli yang beraksara Hanji [ingat sebelumnya pada peta Tel Aviv yang menggunakan huruf Latin dan Ibrani secara bersamaan]. Hal ini seperti hendak berkata, “Bagi yang bisa baca huruf Cina silakan membaca ini, dan bagi yang tidak bisa, silakan membaca yang itu.”


Keduanya adalah koran berbahasa Melayu [terdapat juga terbitan berbahasa Belanda], namun demikian kebanyakan pembacanya berasal dari kalangan Tionghoa peranakan. Hal ini menjadi sangat unik, mengapa surat kabar tidak disediakan khusus dalam bahasa dan aksara Tionghoa saja? Menurut hemat saya, hal ini dilakukan untuk memperluas pasar pembaca. Selain tidak perlu risau akan nuansa antardialek Tionghoa [Hokkian, Kanton, dll.], juga dapat dinikmati oleh kalangan non-Tionghoa di Indonesia yang mampu berbahasa Melayu. Pertanyaan selanjutnya adalah, apabila berbahasa Melayu, mengapa logotipe dirancang menggunakan nama dan gaya tipografi Tiongkok? Pada masa itu umumnya masyarakat Tionghoa terbelah menjadi dua: yakni mereka yang mendukung nasionalisme Indonesia dan mereka yang mendukung nasionalisme Tiongkok. Dua rancangan logotipe Sin Po dan Keng Po ini dapat ditafsirkan sebagai kompromi jati diri orang Tionghoa pada masa itu. Huruf Latin dan bahasa Melayu menandakan nasionalisme Indonesia. Sedangkan karakter Hanji dan model tipografi kuas menandakan tradisi Tionghoa. Mereka adalah bagaimana pun berasal dari Tiongkok, namun hidup dari dan untuk Indonesia.

Perbedaan contoh-contoh di atas terletak kepada kalangan sasarannya. Jikalau kita menengok ke contoh-contoh rancangan lir-Ibrani dan lir-Tionghoa di atas, keduanya diperuntukkan bagi non-penutur; oleh sebab itu ditulis dalam bahasa dan aksara yang berbeda dengan kesan asal-kebudayaan yang diinginkan. Contoh rancangan lir-Ibrani di atas ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Belanda; sesuai dengan sasaran masyarakat yang dituju untuk menyampaikan sesuatu ihwal keyahudian. Sementara itu, dua koran Sin Po dan Keng Po, tersedia dalam bahasa Melayu, meskipun dibaca luas oleh masyarakat Tionghoa juga. Sebaliknya, contoh-contoh lir-Jawa di atas ditulis dalam bahasa Jawa yang artinya oleh dan untuk masyarakat Jawa sendiri.

Poster edaran untuk menghimbau masyarakat agar berbahasa Jepang

Hal tersebut dapat ditilik dari sejarah bahasa dan aksara Jawa. Pada zaman Belanda, bahasa dan aksara Jawa memiliki tempat sederajat dengan bahasa Belanda yang berhuruf Latin dan bahasa Melayu yang berhuruf Jawi atau Latin. Semua berubah dengan mengejutkan pada zaman penjajahan Jepang. Pada zaman tersebut, bahasa yang boleh digunakan hanyalah bahasa Melayu [bahasa Indonesia] dan Jepang; dan itu artinya adalah kemunduruan bagi bahasa dan sastra daerah. Buku-buku berbahasa dan beraksara Jawa [juga kebudayaan daerah lainnya] berhenti di zaman tersebut; seakan-akan serdadu Nipon telah memenggal putus keragaman budaya daerah. Padahal, penjajahan Jepang hanya berlangsung selama tiga tahun di Indonesia, bandingkan dengan 35 tahun penjajahan Jepang di Korea. Akan tetapi, kekerasan budaya memang terjadi pada tahun-tahun penghujung cengkeraman penjajah Jepang di Asia. Seperti halnya di Indonesia [kala itu Hindia Belanda], Jepang juga melarang keras penggunaan bahasa dan aksara Korea sampai tumpas. Perbedaannya adalah bahasa dan aksara Korea berhasil sintas sampai sekarang; sedangkan bahasa dan aksara Jawa, yah, bisa dibilang sedang megap-megap. Saat ini, kalau hendak mencari buku berbahasa Jawa dan beraksara Jawa sudah pasti tercetak dengan tahun terbit sebelum penjajahan Jepang. Ada keterangan sejarah yang hilang dalam kurun waktu tersebut, mengapa begitu cepatnya menghentikan dan menghilangkan aksara Jawa dari bumi Nusantara; kemungkinannya antara lain karena teknologi percetakan aksara Jawa pergi bersama perginya penjajah Belanda atau memang penjajahan Jepang sudah kepalang bengisnya, hingga berhasil memberangus suatu budaya.

Alhasil, bahasa Jawa agaknya berhasil lebih sintas melalui budaya lisan, namun mulai terpisah dari aksaranya. Bahasa Jawa kemudian mulai ditulis dengan aksara Latin yang secara tidak langsung juga menjadikan aksara Jawa terasa asing bagi bahasa dan penuturnya sendiri. Penerbitan dan media cetak bahasa Jawa pasca-kemerdekaan Indonesia yang bertahan—tidak tampak kejawaannya apabila nama atau judul terbitan ditulis begitu saja dalam patron huruf Latin biasa. Oleh karena itu, muncullah gagasan untuk membentuk sebuah kompromi, sebuah rancangan huruf Latin baru, yang meniru lekuk tubuh aksara Jawa; sehingga dua kepentingan bertemu, yakni aksara Latin yang lebih dipahami banyak orang [atau alasan ketidaktersediaan peralatan cetak yang mendukung penulisan Jawa] dan kesan kejawaan yang masih dapat ditonjolkan secara rupawi. Hal ini dianggap berhasil membawa pesan dan kesan yang diinginkan kepada pembaca, sehingga produksi desain huruf lir-Jawa tersedia cukup melimpah di peredaran.

Saya nukil dari Historia.id dalam artikel Nafas Sang Kalawarti. Moechtar, mantan pemimpin redaksi Panjebar Semangat, satu di antara tiga majalah bahasa Jawa yang bertahan, pernah berbincang dengan George Quinn, seorang peneliti budaya dan sastra Jawa dari Universitas Nasional Australia. Ia bertanya padanya apakah Panjebar Semangat akan ikut mati bersama matinya pembaca generasi tuanya, dia menjawab: “Saya tetap optimis. Setidaknya suatu hari nanti generasi muda akan mencari jati dirinya dan beberapa menemukannya di Panjebar Semangat.”

Kalau kita betul beruntung, insya Allah, ucapan [atau ramalan] bapak Moechtar tersebut sudah mulai kelihatan benarnya. Kelompok-kelompok penggemar dan pemerhati budaya Jawa yang tersebar mulai dari tarian, musik hingga sastra telah bermunculan, terhubung dan berhimpun. Setidaknya itu yang terlihat di dunia maya. Bahkan ada suatu kelompok daring di Facebook yang mengkhususkan diri untuk mempelajari dan menyebarluaskan aksara Jawa. Dari kelompok itulah muncul keluaran lambang tandingan berkasara Jawa sejati Kongres Bahasa Jawa Ke-6 yang akan dihelat bulan depan di Yogyakarta.

Produksi desain huruf liran sesungguhnya terbebas dari persoalan etis dan tidak etis. Keterikatan pada nilai-nilai tersebut sesungguhnya berada pada ranah tipografer, atau pengguna dari sebuah desain huruf yang sekaligus pencipta dari sebuah produk grafis. Tipografer, bersama dengan penyunting tentunya, diharuskan untuk mengerti siapa sasaran yang dituju, sehingga penggunaan fontasi liran dapat dibatasi hanya untuk menyasar khalayak non-penutur agar mendapatkan kesan kebudayaan yang dimaksudkan. Mengingat, Surianto Rustan seringkali menggunakan istilah 'hormati pembaca' pada bukunya Huruf, Font dan Tipografi. Hanya saja dalam kasus bahasa dan aksara Jawa, permasalahannya agak sedikit ... rumit.

Syahdan, pacar dari pria yang hendak pergi ke Dubai bersama-sama itu berarti ada benarnya. Saya harap si pria yang bertanya kepada saya beberapa tahun lalu itu tidak benar-benar membikin kaos dari desain huruf lir-Arab buatan saya; dan berjalan-jalan di tengah kota Dubai sebagai pelancong. Kalau-kalau iya, mungkin bakal ada seorang Arab mencegatnya, dan bertaka, “Astaghfirullah, copot kaosmu! N****!

Selasa, 05 Juli 2016

Dari Kriya Menjadi Karya

Sebelumnya dalam tulisan Dua Arah Inspirasi, diketahui bahwa inspirasi dalam mendesain bentuk huruf datang dari dua arah, yakni dengan melihat huruf dan melihat yang bukan huruf. Dalam perancangan fontasi dengan ilham dari sesuatu yang bukan huruf, perancang-perancang Indonesia tidak pernah kehabisan sumber inspirasi.

Kekayaan rupa Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Jumlah suku di Indonesia yang mencapai ratusan menandakan pula banyaknya khazanah budaya rupa yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia. Masing-masing suku tersebut tentu memiliki jati diri dan ciri khas dalam mewujudkan gagasan-gagasan melalui seni rupa, entah itu seni bangunan, ukir, pahat, lukis, patung, atau pun kriya. 

Salah satu pembeda yang mewarnai bentang dunia tipografi dan rancang huruf di Indonesia adalah penerjemahan hasil kerajinan atau kriya menjadi sesuatu yang agak jauh dari hal tadi, yaitu desain huruf. Sejumlah perancang huruf mengambil kriya hasil kebudayaan suku tertentu di Indonesia˗˗ pada umumnya suku dimana si desainer berasal˗˗untuk diejawantahkan menjadi bentuk-bentuk huruf yang tetap jelas dan terbaca.

Penerjemahan di antara benda-benda seni rupa dan desain ini menjadi mungkin karena seni rupa dan desain dipandang selayaknya manusia menggunakan bahasa. Bahasa dari seni rupa dan desain umumnya disebut dengan bahasa rupa. Bahasa rupa, selayaknya bahasa yang dipakai untuk bercakap-cakap sehari-harinya, memiliki sejumlah mutu; seperti manasuka, memiliki susunan dan beraturan.

Bahasa rupa adalah sekumpulan aturan-aturan dalam memperlakukan unsur-unsur manasuka dari seni rupa dan desain, yakni titik, garis, bidang, warna dan tekstur. Dalam hal penerjemahan kriya menjadi desain huruf ini, agaknya unsur warna tidak menjadi pertimbangan, dan cenderung mengedepankan unsur bentuk atau bidang di antara unsur-unsur yang lain.

Kecakapan inilah yang digunakan oleh para perancang huruf untuk mengalihrupakan kriya menjadi, yang tak diduga-duga, sebuah fontasi. Hal ini tentu meminta kecermatan seorang desainer dalam mengamati kedua belah rupa. Berikut ini dihadirkan sejumlah contoh alih rupa kriya [dan/atau wujud seni rupa lainnya] menjadi sebentuk fontasi; beruntun dari pengejawantahan yang paling kasap hingga yang paling halus, dalam arti derajat kekentaraan inspirasi kriya awal dalam ketampakan fontasi.

Batik Dayak Font oleh Sutrisno Budiharto, tampaknya menggunakan dasar Arial Black yang diisi dengan pola khas suku Dayak. Rancangan ini terbilang kasap karena bentuk kriya tidak memengaruhi bentuk hurufnya, melainkan sekadar isian saja. Sutrisno Budiharto juga menggunakan cara perancangan serupa untuk fontasi Batik Font dan Asmat Font.

Selembayung oleh Rafni Dewi Lestari, terinspirasi dari hiasan atap khas Melayu Riau yang sarat makna. Bentuk huruf menjadi agak sukar terbaca pada beberapa hurufnya sebab lengkung ukiran Salembayung yang cenderung dipertahankan meskipun pada huruf-huruf bersiku seperti K, L dan W.


Parangrusak terilhami oleh pola batik dengan nama yang sama. Imam Zakaria, desainernya, mengambil bentuk-bentuk dalam motif batik Parangrusak untuk kemudian diterapkan pada fontasinya ini. Pada rancangan ini, tampak kriya sudah memengaruhi bentuk huruf-hurufnya, sehingga mendapatkan kesan tengah-tengah di antara kriya batik dan fontasi pampangan (display).

 Lapiah Tigo karya Mulya Hari Vano terinspirasi dari ukiran khas Minangkabau. Lapiah Tigo berarti jalin tiga, dimana sulur-sulur tumbuhan berkelindan menjadi satu kesatuan. Mulya berhasil mendapatkan kesan Lapiah Tigonya dengan tetap mempertimbangkan kejelasan huruf.

Tapis rancangan Monica Cathlin terinspirasi dari kain khas Bandar Lampung yang memiliki pola-pola yang khas pula. Tapis terlihat sangat indah dengan aturan-aturan yang ajek; tiap tarikan utama horizontal menggunakan liku-liku, dan lalu menggunakan tarikan tipis melengkung untuk membentuk huruf.

FTF Indonesiana Bramanangkoe didesain oleh Abdul Hafiz Hilman [Fizzetica TypeFoundry Indonesia]. Penerapan inspirasi wayang dilakukan dengan cukup detail dan halus di sekujur bentuk huruf [tanpa melihat desain lowercase dengan tongkat]. Hal itu bisa dilihat pada kontras huruf, lengkungan-lengkungannya, potongan-potongan dan ujung-ujung hurufnya.

Lambang Visit Indonesia yang diprakarsai oleh Kementerian Pariwisata bekerjasama dengan tim desainer rekanan kementerian menghasilkan tipografi yang sangat patut dipuji, sebab bagaimana pun tampak ke-Indonesia-an pada bentuk huruf yang diciptakan, meskipun tidak diketahui secara langsung kriya dan hasil kesenian apa yang menginspirasi bentuk-bentuknya.

Minggu, 26 Juni 2016

Dua Arah Inspirasi

Dari mana datangnya inspirasi? Tidak peduli berasal dari kalangan pekerja apa, kita semua membutuhkan inspirasi untuk pikiran, kejiwaan dan daya cipta kita setiap harinya. Gagasan yang timbul dalam benak sesungguhnya tidak serta-merta lahir, melainkan ia adalah proses pengalaman dan pemahaman kita tentang dunia sekitar. Terlebih mereka yang bekerja di dunia kreatif, inspirasi adalah makanan pokok yang menenagai keberlangsungan proses berkarya.
 
Pada umumnya inspirasi dalam mendesain huruf datang dari dua arah: melihat huruf atau melihat yang bukan huruf. Banyak desainer huruf kekinian yang terilhami dari desain huruf yang sudah lampau. Biasanya mereka melakukan revitalisasi fontasi lama [biasanya masih dalam bentuk tulisan tangan atau huruf logam], kemudian menjadikannya fontasi yang berformat digital.

Hal itu banyak sekali dilakukan oleh perancang-perancang Barat; semisal revitalisasi desain huruf Caslon menjadi Libre Caslon oleh Pablo Impallari dan Rodrigo Fuenzalida atau desain huruf Garamond menjadi Adobe Garamond oleh Robert Slimbach. Hal ini membuat desain huruf lama, terlebih yang termasyhur, memiliki banyak versi digital sehingga warisan desainnya terus berkesinambungan. 

Perbandingan fisiologis pelbagai versi Garamond.
Ilustrasi dinukil dari http://barneycarroll.com/garamond.htm


Berbeda dengan revitalisasi yang bertujuan untuk mengabadikan bentuk huruf semirip mungkin dengan aslinya, desainer-desainer yang lain memilih mengambil contoh desain yang sudah ada untuk kemudian dijadikan bahan utama membuat fontasi baru dengan tambahan ciri khas yang berbeda. Bodoni mengambil banyak inspirasi dari desain huruf Didot, sebelum pada akhirnya menemukan ciri khasnya sendiri dalam desain-desainnya.

Di Indonesia, revitalisasi pernah dilakukan oleh Gumpita Rahayu melalui perancangan sebuah fontasi lama pada papan petunjuk di gedung lawas Warenhuis de Vries. Ia lantas mendigitalisasi dan melengkapi karakter-karakternya menjadi fontasi baru bernama Oud Warenhuis. Selain itu, kegiatan merevitalisasi desain huruf jalanan, atau kerap disebut tipografi vernakular, sedang mendapat perhatian di kalangan sarjana desain Indonesia. Beberapa tahun silam, sejumlah karya mahasiswa-mahasiswi DKV ITB, yang mengangkat khazanah tipografi vernakular, dipamerkan di Konferensi Tipografi Internasional di Yunani.

Sementara itu, inspirasi yang bersumber dari unsur bukan huruf bisa datang dari banyak hal: benda-benda sekitar rumah, tetumbuhan di taman, hingga barangkali hewan piaraan. Hal ini membikin desain menjadi lebih ekspresif. Pada zaman Art Nouveau, alam sangat dipuja. Desain huruf biasanya dirancang berdasarkan lekuk-lekuk yang dijumpai di alam, seperti kembang atau sulur-sulur. Hal ini menghasilkan bentuk huruf yang begitu berbeda dari masa-masa sebelumnya.

Fruitygreen, salah satu fontasi gubahan Andy AW. Masry, secara halus terinspirasi dari bentuk buah-buahan. Beberapa fontasi lain, didesain mendekati bentuk inspirasi aslinya. Contohnya adalah fontasi Rambut Kusut oleh Rio Suzandy yang terinspirasi dari rambut yang awut-awutan dan fontasi Circuit Board oleh Budi Purwito yang terilhami dari desain papan sirkuit cetak.

Huruf "K" dalam fontasi Rambut Kusut oleh Rio Suzandy
Beberapa desainer Indonesia bahkan berhasil mengubah khazanah budaya setempat menjadi bentuk-bentuk huruf yang elok dan istimewa. Rumah tradisional Gadang telah menginspirasi Suryo Wahono dalam merancang fontasi Minangkabau dan Ananda A. Ramadhani dalam merancang fontasi Rugamika. Begitu pula dengan fontasi Parangrusak oleh Imam Zakaria dan Tapis oleh Monica Cathlin; masing-masing fontasi terinspirasi dari kriya dengan nama yang sama.