Rabu, 04 Mei 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa II

Pepatah dan peribahasa Jawa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa. Melalui kata-kata bijak yang tersusun dalam bentuk kalimat pendek, pepatah atau peribahasa Jawa ialah kristalisasi nilai-nilai kehidupan dan filosofi yang diamalkan sejak lama dari generasi ke generasi. Mari jelajahi kekayaan pepatah dan peribahasa Jawa pada 25 contoh berikut.


꧋ꦲꦢꦶꦒꦁ​꧈​​ꦲꦢꦶꦒꦸꦁ​꧈​​ꦲꦢꦶꦒꦸꦤ꧉​

Adigang, adigung, adiguna.
Merasa paling kuat, merasa paling agung, merasa paling penting.
— Janganlah sombong merasa paling kuat, paling agung, dan paling penting.


꧋ꦲꦩ꧀ꦧꦼꦒ꧀ꦲꦢꦶꦭ꧀ꦥꦫꦩꦂꦠ꧉​

Ambeg adil paramarta.
Bernafas adil mulia.
— Memiliki kepribadian yang adil dan mulia.


꧋ꦲꦤꦏ꧀ꦥꦺꦴꦭꦃ​ꦧꦥꦏ꧀ꦏꦼꦥꦿꦝꦃ꧉​

Anak polah bapak kepradhah.
Anak bertingkah, ayah menanggung akibatnya.
— Tingkah laku anak akan ditanggung oleh orang tuanya.


꧋ꦧ꧀ꦭꦧ​ꦮꦸꦢ꧉​

Blaba wuda.
Dermawan telanjang.
— Seseorang yang dianggap terlalu dermawan atau murah hati sampai-sampai kebutuhannya sendiri tidak terpenuhi.


꧋ꦧ꧀ꦭꦁ​​ꦏꦼꦝꦶꦧ꧀ꦭꦁ​​ꦲꦺꦴꦫ​ꦏꦺꦴꦔꦁ​꧉​

Blang-kedhiblang ora kongang.
Selalu sibuk, tidak dapat.
— Orang yang sibuk mengerjakan ini dan itu, tetapi pada akhirnya tidak mendapatkan apa pun atau yang diinginkan.


꧋ꦧ꧀ꦭꦶꦭꦸ​ꦠꦲꦸ꧈​​ꦥꦶꦤ꧀ꦠꦼꦂ​ꦢꦸꦫꦸꦁ​​ꦔ꧀ꦭꦏꦺꦴꦤ꧀ꦤꦶ꧉​

Blilu tau, pinter durung nglakoni.
Bodoh pernah, pintar belum menjalani.
— Belum mempelajari secara teori atau formal, tetapi sudah pandai mengerjakan sesuatu karena praktik dan sering mencoba-coba. Arti lain, orang yang sudah praktik di lapangan akan lebih pintar daripada orang yang mempelajari sesuatu secara teori saja.


꧋ꦢꦃꦮꦺꦤ꧀ꦲꦠꦶ​ꦲꦺꦴꦥꦺꦤ꧀꧉​

Dahwèn ati opèn.
Suka mencerca, sebenarnya hatinya ingin memiliki.
— Mereka yang suka mengganggu atau mencerca seseorang sebenarnya menginginkan apa yang dimiliki orang tersebut.


꧋ꦝꦸꦮꦸꦂ​ꦮꦼꦏꦱ꧀ꦱꦤ꧀ꦤꦺ꧈ꦲꦼꦤ꧀ꦝꦺꦭ꧀ꦮꦶꦮꦶꦠ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦺ꧉

Dhuwur wekasané, endhèk wiwitané.
Tinggi akhirnya, pendek awalnya.
— Sesuatu yang dimulai dengan kecil dan sederhana memiliki akhir yang besar dan mulia. Hasil yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil.


꧋ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦧꦚꦸ​ꦲꦥꦶꦏꦸꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦮꦫꦶꦃ꧈​​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦒꦼꦤꦶ​ꦲꦢꦼꦢꦩꦂ꧉​

Golèk banyu apikulan warih, golèk geni adedamar.
Mencari air berbekalkan air, mencari api berbekalkan pelita.
— Ketika bercita-cita mendapatkan sesuatu, seseorang harus memastikan bahwa dirinya telah memiliki ilmu dan modal yang dibutuhkan untuk menggapainya. Arti lainnya, seseorang harus menguasai pengetahuan dasar sebelum melakukan suatu tugas.


꧋ꦒꦸꦥꦏ꧀ꦥꦸꦭꦸꦠ꧀ꦠꦺ​ꦲꦺꦴꦫ​ꦩꦺꦭꦸ​ꦩꦔꦤ꧀ꦤꦁ​ꦏꦤꦺ꧉​

Gupak puluté ora mèlu mangan nangkané.
Terkena getahnya, tidak ikut makan nangkanya.
— Bersusah payah karena suatu pekerjaan, tetapi tidak ikut merasakan hasilnya.


꧋ꦗꦼꦂ​ꦧꦱꦸꦏꦶ​ꦩꦮ​ꦧꦺꦪ꧉​

Jer basuki mawa béya.
Memanglah kesejahteraan membutuhkan biaya.
— Untuk memperoleh sesuatu, entah itu kebaikan, kemuliaan, keberhasilan, seseorang harus melakukan pengorbanan terlebih dahulu. Peribahasa ini dijadikan slogan provinsi Jawa Timur.


꧋ꦏꦼꦒꦼꦝꦺꦤ꧀ꦲꦼꦩ꧀ꦥꦾꦏ꧀꧈​​ꦏꦸꦫꦁ​​ꦕꦒꦏ꧀꧉​

Kegedhèn empyak, kurang cagak.
Terlalu besar rangka atap, kurang tiangnya.
— Kemauan lebih besar daripada kemampuan.


꧋ꦏ꧀ꦭꦸꦁ​ꦱꦸ​ꦏ꧀ꦭꦸꦁ​ꦱꦸ​ꦪꦺꦤ꧀ꦲꦸꦝꦸ꧉​

Klungsu-klungsu yèn udhu.
Biarpun sebesar biji asam tetap menyumbang.
— Seruan untuk tetap berkontribusi atau menyumbang walaupun kecil dan sedikit.


꧋ꦩꦼꦩꦪꦸ​ꦲꦪꦸꦤ꧀ꦤꦶꦁ​​ꦧꦮꦤ꧉​

Memayu hayuning bawana.
Memperindah keindahan dunia.
— Dunia diciptakan oleh Tuhan YME hakikatnya sudah indah. Sementara itu, manusia memiliki tugas untuk memelihara keindahan tersebut dan menambah nilai keindahan ke dunia, misalnya dengan berbuat kebajikan, berkesenian, atau mengembangkan ilmu pengetahuan.


꧋ꦩꦶꦏꦸꦭ꧀ꦝꦸꦮꦸꦂ꧈​​ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦼꦩ꧀ꦗꦼꦫꦺꦴ꧉​

Mikul dhuwur, mendhem jero.
Memikul tinggi, memendam dalam.
— Menjunjung tinggi kebaikan orang tua dan merahasiakan keburukan atau aibnya. Peribahasa ini juga bisa digunakan tidak sebatas untuk lingkungan keluarga.


꧋ꦤꦧꦺꦴꦏ꧀ꦚꦶꦭꦶꦃ​ꦠꦔꦤ꧀꧉​

Nabok nyilih tangan.
Memukul meminjam tangan.
— Melakukan suatu keburukan dengan memanfaatkan orang lain untuk melakukan keburukan tersebut.


꧋ꦔꦢꦶ​ꦱꦭꦶꦫ꧈​​ꦔꦢꦶ​ꦧꦸꦱꦤ꧉​

Ngadi salira, ngadi busana.
Memperindah diri, memperindah pakaian.
— Meningkatkan mutu diri atau kepribadian seseorang hendaknya dibarengi pula dengan memperindah bagian luar seperti pakaian, penampilan, dsj.


꧋ꦔꦭꦃ꧈​​ꦔꦭꦶꦃ꧈​​ꦔꦩꦸꦏ꧀꧉​

Ngalah, ngalih, ngamuk.
Mengalah, menyingkir, mengamuk.
— Jika mendapatkan masalah dengan orang lain, seperti diganggu atau semacamnya, seseorang hendaknya mengalah terlebih dahulu, kemudian pergi menghindari orang tersebut, bila masih tetap diganggu maka barulah dihadapi secara fisik.


꧋ꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸ​ꦲꦶꦏꦸ​ꦏꦼꦭꦏꦺꦴꦤ꧀ꦤꦺ​ꦏꦤ꧀ꦛꦶ​ꦭꦏꦸ꧉​

Ngèlmu iku kelakoné kanthi laku.
Mencari ilmu itu terwujud dengan tindakan.
— Proses belajar akan sempurna jika sudah diterapkan atau berwujud dalam tindakan.


꧋ꦔ꧀ꦭꦸꦫꦸꦒ꧀ꦠꦤ꧀ꦥ​ꦧꦭ꧈​​ꦩꦼꦤꦁ​​ꦠꦤ꧀ꦥ​ꦔꦱꦺꦴꦫꦏ꧀ꦏꦺ꧉​

Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraké.
Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan.
— Seseorang yang bijaksana bisa menang walau tanpa kekuatan besar dan kemenangan itu tidak akan membuat orang lain merasa dihormati.


꧋ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ​ꦪ​ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ꧈​​ꦤꦶꦁ​​ꦲꦗ​ꦔꦺꦴꦤꦺꦴ꧉​

Ngono ya ngono, ning aja ngono.
Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu.
— Seseorang boleh saja berperilaku semaunya, tetapi jangan sampai berlebihan.


꧋ꦲꦺꦴꦧꦃ​ꦩꦩꦃ꧉​

Obah mamah.
Bergerak mengunyah.
— Seseorang yang masih hidup pasti bisa berusaha dan mendapat rezeki.


꧋ꦱꦢꦸꦩꦸꦏ꧀ꦧꦛꦸꦏ꧀꧈​​ꦱꦼꦚꦫꦶ​ꦧꦸꦩꦶ꧉​

Sadumuk bathuk, senyari bumi.
Sesentuhan kening, sejari bumi.
— Seruan untuk mempertahankan kehormatan dan apa yang dimiliki walaupun itu diganggu atau diusik sedikit saja. Hal ini bisa tentang pasangan atau kepemilikan tanah.


꧋ꦮꦼꦭꦱ꧀ꦠꦼꦩꦃꦲꦤ꧀ꦭꦭꦶꦱ꧀꧉​

Welas temahan lalis.
Belas kasihan berujung tumpas.
— Seseorang yang berbelas kasih dan memberikan pertolongan malah mendapatkan kesengsaraan.


꧋ꦮꦼꦫꦸꦃ​ꦲꦶꦁ​​ꦒꦿꦸꦧꦾꦸꦏ꧀꧈​​ꦲꦺꦴꦫ​ꦮꦼꦫꦸꦃ​ꦲꦶꦁ​​ꦉꦩ꧀ꦧꦸꦒ꧀꧉​

Weruh ing grubyuk, ora weruh ing rembug.
Tahu ikut-ikutan saja, tapi tidak tahu apa yang dibicarakan.
— Seseorang yang asal mengikuti atau melakukan sesuatu, tetapi sesungguhnya tidak memahami permasalahan atau maksud dari sesuatu tersebut.

Selasa, 19 April 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa I

Pepatah dan peribahasa Jawa adalah salah satu bentuk warisan budaya yang kaya dan mendalam dari budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah Jawa sering digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran, pengalaman, dan nilai-nilai kebijaksanaan yang telah tertanam di antara masyarakat Jawa. Melalui pepatah dan peribahasa, banyak kearifan lokal yang mampu menawarkan pandangan tentang kehidupan, kesusilaan, hubungan antarmanusia, serta keterhubungan manusia dengan alam dan kehidupan sekitarnya. Berikut 25 pepatah dan peribahasa Jawa beserta arti dan tulisan dalam aksara Jawa-nya.


꧋ꦲꦝꦁ​​ꦲꦝꦁ​​ꦠꦺꦠꦺꦱ꧀ꦱꦺ​ꦲꦼꦩ꧀ꦧꦸꦤ꧀꧉​

Adhang-adhang tètèsé embun.
Menunggu tetesnya embun.
— Menunggu datangnya sesuatu yang sedikit.


꧋ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦢꦶꦫꦶ​ꦢꦸꦩꦸꦤꦸꦁ​​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦭꦛꦶ꧈​​ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦫꦒ​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦧꦸꦱꦤ꧉​

Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.
Nilai diri berada pada bibir, nilai badan berada pada pakaian.
— Kehormatan diri seseorang bergantung pada pada tutur katanya, kehormatan badan/ragawi seseorang bergantung pada pakaiannya/penampilannya.


꧋ꦲꦭꦁ​​ꦲꦭꦁ​​ꦢꦸꦢꦸ​ꦲꦭꦶꦁ​​ꦲꦭꦶꦁ​꧉​

Alang-alang dudu aling-aling.
Halangan bukanlah penghalang/penutup.
— Halangan yang ditemui dalam menjalani hidup bukanlah penghalang untuk terus maju dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.


꧋ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦮꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦼꦭꦏꦺꦴꦤ꧀꧉​

Alon-alon waton kelakon.
Pelan-pelan asalkan terlaksana.
— Tidak apa-apa melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, asalkan dilaksanakan dengan baik dan tuntas.


꧋ꦲꦩ꧀ꦧꦼꦒꦸꦒꦸꦏ꧀ꦔꦸꦛꦮꦠꦺꦴꦤ꧀꧉​

Ambeguguk ngutha waton.
Diam tak bergerak seperti benteng batu.
— Orang yang memiliki pendirian dan sikap yang tidak tergoyahkan sama sekali.


꧋ꦲꦗ​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦮꦃ꧈​​ꦩꦼꦁ​ꦏꦺꦴ​ꦢꦢꦶ​ꦲꦺꦴꦮꦃ꧉​

Aja golék wah, mengko dadi owah.
Jangan mencari wah, nanti jadi berubah.
— Jangan mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan pujian atau perhatian dari orang lain, nanti akan kehilangan diri dan pegangan.


꧋ꦲꦤ​ꦕꦠꦸꦂ​ꦩꦸꦁ​ꦏꦸꦂ꧉​

Ana catur mungkur.
Ada perbincangan, membelakangi.
— Menghindari pembicaraan atau desas-desus yang buruk, tidak ingin terlibat meggunjingkan keburukan orang lain.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦶꦤ꧈​​ꦲꦤ​ꦲꦸꦥ꧉​

Ana dina, ana upa.
Ada hari, ada nasi.
— Tidak perlu khawatir berlebihan dengan rezeki, karena setiap hari kita hidup dan bekerja pasti akan mendapatkan rezeki.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦲꦸꦭꦠ꧀ꦠꦺ꧈ꦲꦺꦴꦫ​ꦲꦤ​ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦺ꧉​

Ana daulaté, ora ana begjané.
Ada berkatnya, tetapi tidak ada keberuntungannya.
— Seseorang yang memiliki berkat, kemampuan, dan pemberian untuk mendapatkan sesuatu, tetapi masih terhalang oleh keberuntungannya.


꧋ꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦩꦁ​ꦱ꧉​

Angon mangsa.
Menggembalakan musim.
— Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak atau memutuskan sesuatu.


꧋ꦲꦉꦥ꧀​ꦗꦩꦸꦂꦫꦺ​ꦲꦼꦩꦺꦴꦃ​ꦮꦠꦁ​ꦔꦺ꧉

Arep jamuré emoh watangé.
Mau jamurnya, tidak mau batangnya.
— Mau mendapatkan enaknya, tetapi tidak mau menanggung bagian yang tidak enaknya.


꧋ꦲꦱꦸ​ꦒꦼꦝꦺ​ꦩꦼꦤꦁ​​ꦏꦼꦫꦃꦲꦺ꧉​

Asu gedhé menang kerahé.
Anjing besar menang perkelahiannya.
— Mereka yang berpangkat tinggi, orang penting, para pembesar, dll. pasti lebih mudah menang dalam berpekara dengan orang yang lebih kecil atau masyarakat umum.


꧋ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦏꦼꦠꦶꦠꦶꦏ꧀ꦲꦭ​ꦏꦼꦠꦫ꧉​

Becik ketitik ala ketara.
Baik terlihat, buruk juga terlihat.
— Perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk sama-sama akan terlihat pada waktunya.


꧋ꦧꦤ꧀ꦝ​ꦠꦶꦠꦶꦥ꧀ꦥꦤ꧀​ꦚꦮ​ꦒꦝꦸꦃꦲꦤ꧀​ꦥꦁ​ꦏꦠ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦶꦂꦫꦤ꧀꧉​

Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran.
Harta titipan, nyawa pinjaman, pangkat gantungan/hiasan.
— Pencapaian duniawi tidaklah abadi, semuanya adalah pemberian dan titipan dari Yang Maha Kuasa.


꧋ꦧꦼꦫꦱ꧀ꦮꦸꦠꦃ​ꦲꦫꦁ​​ꦩꦸꦭꦶꦃ​ꦩꦫꦁ​​ꦠꦏꦼꦂꦫꦺ꧉​

Beras wutah arang mulih marang takeré.
Beras tumpah jarang kembali ke takarannya.
— Sesuatu yang sudah berubah atau rusak akan sulit kembali ke wujud atau hitungannya yang semula.


꧋ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦩꦼꦏ꧀ꦱ​ꦏ꧀ꦭꦼꦧꦸꦱ꧀꧉​

Cincing-cincing meksa klebus.
Menggulung-gulung (celana), tetap saja basah kuyup.
— Maksud hati ingin berhemat atau hidup irit, tetapi justru malah semakin banyak pengeluaran.


꧋ꦝꦪꦸꦁ​​ꦲꦺꦴꦭꦺꦃ​ꦏꦼꦝꦸꦁ​꧉​

Dhayung olèh kedhung.
Dayung memperoleh telaga.
— Seseorang yang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan pengalamannya.


꧋ꦒꦺꦴꦁ​​ꦭꦸꦩꦏꦸ​ꦠꦶꦤꦧꦸꦃ꧉​

Gong lumaku tinabuh.
Gong berjalan ditabuh.
— Seseorang yang pandai yang banyak dimintai saran di mana-mana ia berada. Arti lainnya, orang yang berbicara atau menceritakan berbagai hal tanpa diminta.


꧋ꦗꦠꦶ​ꦏꦠ꧀ꦭꦸꦱꦸꦥ꧀ꦥꦤ꧀ꦭꦸꦪꦸꦁ​꧉​

Jati katlusupan luyung.
Kayu jati terkena serpihan kayu aren.
— Seseorang yang semulanya baik mendapatkan pengaruh buruk dari orang jahat.


꧋ꦏꦱꦤ꧀ꦝꦸꦁ​​ꦲꦶꦁ​​ꦫꦠ꧈​​ꦏꦧꦼꦤ꧀ꦠꦸꦱ꧀ꦲꦶꦁ​​ꦲꦮꦁ​​ꦲꦮꦁ​꧉​

Kasandhung ing rata, kabentus ing awang-awang.
Tersandung di permukaan rata, terbentur di langit.
— Mendapatkan rintangan atau cobaan di tempat yang sebenarnya baik dan aman.


꧋ꦩꦼꦕꦺꦭ꧀ꦩꦤꦸꦏ꧀ꦩꦶꦧꦼꦂ꧉​

Mecèl manuk miber.
Memotong burung yang terbang.
— Seseorang yang serba-bisa atau memiliki kemampuan yang luar biasa.


꧋ꦱꦢꦮ​ꦢꦮꦤꦺ​ꦭꦸꦫꦸꦁ​​ꦲꦶꦱꦶꦃ​ꦭꦸꦮꦶꦃ​ꦢꦮ​ꦒꦸꦫꦸꦁ​꧉​

Sadawa-dawané lurung isih luwih dawa gurung.
Sepanjang-panjangnya lorong, masih lebih panjang tenggorokan.
— Berita atau pembicaraan yang dituturkan oleh orang-orang pasti akan menyebar jauh.


꧋ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦲꦢꦱ꧀​ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦧꦪꦼꦩ꧀꧉​

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem.
Menyembur-nyembur adas, menyiram-nyiram bayam.
— Harapan seseorang yang terkabulkan karena berkat dan doa dari banyak orang yang mendukung dan menyayanginya.


꧋ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦸꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦩꦼꦠ꧀꧉​

Sluman-slumun slamet.
Sembarangan tetapi selamat.
— Bersikap sembarangan, ugal-ugalan, tidak berhati-hati, tetapi tetap mendapatkan keselamatan.


꧋ꦮꦱ꧀ꦠꦿ​ꦧꦼꦝꦃ​ꦏꦪꦸ​ꦥꦺꦴꦏꦃ꧉

Wastra bedhah kayu pokah.
Kain robek kayu patah.
— Seseorang yang mengalami keburukan karena tingkah lakunya sendiri.

Rabu, 30 Maret 2022

Lima Rumpun Aksara Nusantara


Aksara Latin adalah aksara utama di seluruh kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Filipina, telah beralih dari aksara lokal ke aksara Latin pada zaman penjajahan bangsa Eropa. Hal itu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan saudari-saudari mereka di kawasan Asia Tenggara Daratan. Mulai dari Myanmar hingga Thailand (kecuali Vietnam) berhasil tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan aksara leluhur hingga sintas ke zaman modern. Walaupun demikian, fakta ini janganlah membuat kita lupa tentang keberadaan aksara-aksara asli yang pernah atau masih bertahan di kawasan Asia Tenggara Kepulauan, khususnya di Indonesia dan Filipina.

Aksara-aksara asli di kawasan Asia Tenggara Kepulauan ini dapat dikelompokkan menjadi sejumlah keluarga atau rumpun berdasarkan kemiripan dan kedekatan sejarah. Secara kolektif, aksara-aksara ini sering disebut sebagai “Aksara Nusantara” oleh orang Indonesia yang keseluruhannya diturunkan dari aksara pendahulunya, yakni aksara Kawi. Uli Kozok dalam buku Warisan leluhur: sastra lama dan aksara Batak membagi aksara-aksara Nusantara tersebut menjadi lima rumpun, yakni rumpun Carakan, rumpun Kaganga, rumpun Batak, rumpun Lontara, dan rumpun Filipina.

Rumpun Carakan
Rumpun aksara Carakan—juga dikenal dengan nama Hanacaraka—digunakan untuk menulis sejumlah bahasa di bagian selatan Indonesia, khususnya di wilayah sekitaran pulau Jawa dan pulau Bali. Hanacaraka diambil dari deret lima huruf pertama dalam aksara ini, yang secara harfiah bermakna ana caraka alias “ada utusan.”

Saat ini terdapat dua bentuk baku dari rumpun aksara Carakan, yaitu aksara Jawa dan aksara Bali. Keduanya telah terdaftar dalam Unicode. Aksara Jawa digunakan untuk menulis bahasa Jawa (sebagai aksara Jawa), bahasa Madura (sebagai Carakan Madhurâ), bahasa Cirebon (sebagai Carakan Cirebon), dan bahasa Sunda (sebagai Cacarakan Sunda). Untuk bahasa Sunda, penggunaan Cacarakan Sunda sudah jarang dijumpai karena aksara Sunda Baku sudah digunakan secara meluas dan menggantikannya. Selain bahasa-bahasa itu, bahasa Tengger dan bahasa Osing juga bisa ditulis menggunakan aksara Jawa. Sementara, aksara Bali umum digunakan untuk bahasa Bali dan bahasa Sasak di Lombok. Orang Sasak menyebut aksara ini sebagai aksara Jejawan Sasak, walaupun secara bentuk lebih mirip dengan aksara Bali saat ini.

Rumpun Kaganga
Rumpun aksara Kaganga digunakan secara meluas di bagian selatan Pulau Sumatra, yakni dalam wilayah provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Kaganga diambil dari deret tiga huruf pertama dalam aksara-aksara Kaganga. Aksara dalam rumpun ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, sehingga dari satu daerah ke daerah lain mungkin memiliki sedikit perbedaan rupa huruf dan gaya penulisan. Meskipun demikian, garis besar rancangan aksara ini masih bisa terlihat di kesemua ragamnya.

Tiga aksara yang paling umum dikenal dari rumpun aksara Kaganga adalah aksara Lampung, aksara Rejang, dan aksara Incung. Aksara Lampung digunakan untuk menuliskan bahasa Lampung yang dituturkan di provinsi Lampung. Sementara itu, aksara Rejang digunakan untuk menuliskan bahasa Rejang yang dituturkan di sebagian wilayah Bengkulu dan Sumatra Selatan. Aksara Incung digunakan untuk menuliskan bahasa Kerinci dan bahasa Melayu yang dituturkan di provinsi Jambi. Sebagian dari naskah Melayu tertua yang dikenal dengan nama Naskah Tanjung Tanah juga mengandung aksara Incung. Di luar ketiganya, terdapat banyak ragam aksara lainnya yang memiliki sedikit perbedaan dan dikenal dengan namanya sendiri, seperti aksara Ogan, aksara Komering, aksara Besemah, dan lain-lain. Upaya menyeragamkan dan membakukan aneka ragam aksara dalam rumpun Kaganga ini mungkin saja bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan dengan aksara Batak. Sejauh ini, dari keseluruhan ragam tersebut, hanya aksara Rejang yang telah terdaftar dalam Unicode, sehingga ragam aksara Rejang menjadi lebih dikenal di mayantara.

Rumpun Batak
Rumpun aksara Batak sejatinya memiliki lima ragam aksara, yakni aksara Toba, aksara Angkola-Mandailing, aksara Simalungun, aksara Pakpak-Dairi, dan aksara Karo. Akan tetapi, kelimanya kini telah dibakukan menjadi satu dan berhasil didaftarkan ke Unicode di bawah satu nama persatuan, yaitu “aksara Batak”. Walau didaftarkan dalam satu payung, keunikan masing-masing aksara (misalnya variasi bentuk) tetap dipertahankan. Upaya penyeragaman ini barangkali memiliki peluang yang lebih besar daripada rumpun Kaganga karena gaya penulisan atau tipografinya cukup seragam.

Aksara-aksara Batak digunakan untuk menuliskan seluruh rumpun bahasa Batak, kecuali bahasa Alas. Orang-orang Alas kemungkinan telah lama memeluk agama Islam dan menggantikan aksara Batak dengan aksara Arab Melayu. 

Rumpun Lontara
Rumpun aksara Lontara terbentang dari daerah Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Nusa Tenggara. Namanya diambil dari media tulis daun lontar yang juga biasa dijumpai di pulau Jawa atau Bali untuk menuliskan tuturan sejarah, agama, atau karangan lainnya. Rumpun aksara ini memiliki dua ragam utama, yakni aksara Makassar (disebut juga dengan Jangang-jangang) dan aksara Bugis. Akan tetapi, aksara Makassar telah lama ditinggalkan sejak abad ke-19 bahkan oleh orang-orang Makassar sendiri. Mereka kemudian ikut menggunakan aksara Bugis untuk menuliskan naskah-naskah berbahasa Makassar. Saat ini, aksara Makassar lebih lazim disebut aksara Makassar Kuno untuk membedakannya dengan aksara Bugis yang dianggap lebih baru. Aksara Lontara lantas bersinonim dengan aksara Bugis yang digunakan meluas di Sulawesi Selatan untuk menuliskan bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa Mandar.

Aksara Lontara juga diperkenalkan hingga ke luar daerah Sulawesi Selatan. Kemungkinan pengetahuan tentang aksara ini terbawa oleh para saudagar di pelabuhan-pelabuhan Nusa Tenggara. Hubungan ini menghasilkan tertularnya budaya tulis-menulis ke pulau Sumbawa dan Flores. Ragam turunan dari aksara Lontara di Sumbawa terbagi menjadi dua, yaitu aksara Satera Jontal yang lebih bersudut untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan aksara Mbojo yang lebih membulat untuk menuliskan bahasa Bima/Mbojo. Di pulau Flores, aksara Lontara menurunkan aksara Lota yang digunakan untuk menuliskan dua bahasa yang berhubungan erat, yaitu bahasa Ende dan bahasa Li’o. Tiga ragam Lontara di Nusa Tenggara ini pada umumnya mempertahankan rancangan khas masing-masing sekalipun dapat dikatakan masih satu kesatuan dengan aksara Lontara Sulawesi Selatan. 

Rumpun Filipina
Sesuai namanya, rumpun aksara Filipina dapat ditemukan di Kepulauan Filipina. Ada kalanya, nama Baybayin atau Suyat digunakan sebagai istilah yang lebih lokal untuk memayungi seluruh aksara-aksara dalam rumpun ini. Sebagai catatan, Baybayin mungkin dapat dianggap tidak seinklusif nama Suyat (bandingkan dengan istilah ‘surat’ dalam bahasa Indonesia) karena terlalu condong pada kebudayaan tertentu. Sedangkan Suyat lebih sering digunakan untuk menyebut seluruh aksara historis non-Latin di Filipina, termasuk ke dalamnya aksara berbasis abjad Arab.

Anggota aksara dalam rumpun ini antara lain aksara Baybayin, aksara Kulitan, aksara Haninu'o, aksara Buhid, dan aksara Tagbanwa. Aksara Baybayin seringkali digunakan sebagai istilah yang melingkupi beberapa aksara yang dianggap berasal dari satu sumber yang sama, yakni aksara Kurditan, Basahan, Badlit, dan yang paling dikenal yaitu aksara Baybayin Tagalog. Aksara Baybayin Tagalog adalah ragam paling dikenal dan paling sering terlihat karena digadang-gadang pemerintahannya sebagai aksara nasional. Kesemuanya ini dipercaya diturunkan dari aksara Kawi sebagaimana empat rumpun aksara lain yang ditemukan di Indonesia. Bukti-bukti penggunaan aksara Kawi pada masa lampau di Kepulauan Filipina dapat dilihat pada prasasti Lempengan Tembaga Laguna dan stempel gading Butuan.

Rumpun aksara Filipina ragam Baybayin disebut pernah digunakan di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Bolaang Mongondow. Meskipun benar bahasa Bolaang Mongondow merupakan rumpun bahasa Filipina, tetapi belum pernah ada bukti naskah atau bukti bendawi lainnya yang dapat mengonfirmasi penggunaan aksara Baybayin di wilayah penutur Bolaang Mongondow.