Minggu, 10 Oktober 2021

Tanda dan Makna dalam Tipografi

Orang-orang mulai menyadari bahwa tipografi lebih dari sekadar rangkaian huruf-huruf. Walaupun demikian, menjalaskan hal tersebut tidak selalu mudah. Banyak yang telah berusaha menjabarkan pengalaman seseorang ketika memaknai sebuah karya tipografis. Pembagiannya umumnya meliputi pemaknaan bahasa, yakni kata-kata yang tertulis dengan sebuah karya tipografis, dan pemaknaan rupa, yang relatif lebih jarang, yakni nuansa rasa yang ditangkap dari perbedaan bentuk rancangan huruf.

Akademikus dan praktikus mungkin memiliki istilah-istilah yang berbeda untuk menamai dua hal tadi. Perbedaan-perbedaan ini dapat dimaklumkan sebab penulis dan perancang yang bersinggungan dengan bidang tipografi tumbuh dari berbagai latar belakang: juru cetak, desainer grafis, pengamat, seniman leter, semiotikawan, atau pakar komunikasi. Ragam istilah yang lahir pun bermacam-macam dengan arti yang mirip-mirip atau sedikit berbeda.

Surianto Rustan dalam Huruf Font Tipografi (2010) menggunakan perumpamaan tubuh/fisik dan jiwa/non-fisik untuk menggambarkan dua ranah pemaknaan tipografi ini. Aspek tubuh berkutat pada bentuk, anatomi, dan segi optis huruf, sehingga pemaknaannya bersifat rasional, objektif, dan umum. Sementara itu jika ditelisik dari aspek jiwa, huruf dilihat sebagai hal yang memiliki kepribadian, seperti feminin atau maskulin, serius atau main-main dan lain sebagainya. Hal ini membuat pemaknaan bentuk huruf bersifat naluriah, subjektif, dan personal.

Istilah serupa juga digunakan oleh Gavin Ambrose dan Paul Harris dalam The Fundamentals of Graphic Design (2009). Di sana, Ambrose menggunakan istilah makna denotatif untuk menyebut aspek visual yang dapat dipahami secara langsung dan umum; serta makna kognitif untuk menyebut aspek visual yang hanya dapat dipahami jika pemirsanya membawa pengetahuan tentang bentuk huruf tertentu. Makna kognitif melampaui makna denotatif yang gamblang dan dasar. Dalam kajian linguistik, istilah denotatif sering disebut sebagai makna kamus atau makna pertama, sedangkan untuk menyebut makna selanjutnya atau makna tambahan digunakan istilah konotatif. Pemaknaan pertama dan pemaknaan kedua pada karya tipografis ini sebenarnya bisa sejalan dengan konsep denotasi dan konotasi yang akrab dalam keilmuan bahasa.

Sementara itu, Bellantoni dan Woolman dalam Type in Motion – Innovations in Digital Graphics (2000) membagi pemaknaan karya tipografis menjadi dua jenjang, yakni citraan kata “word image” dan citraan tipografis “typographic image”. Citraan kata berhubungan dengan sisi kebahasaan dari sebuah karya tipografis, sedangkan citraan tipografis berfokus pada pemaknaan kesan bentuk huruf. Pendapat ini menarik karena telah menyadari hubungan kepaduan antara teks dan gambar, namun ia belum memberikan ruang bagi dua tingkat pemaknaan pada masing-masing unsur pembentuknya. Dalam artian, baik aspek bahasa dan aspek rupa dari karya tipografis sama-sama memiliki potensi untuk dimaknai secara denotatif dan konotatif.

Menerangkan hubungan dwitunggal antara bahasa (text) dan rupa (image) pada sebuah karya tipografis adalah hal pertama yang harus dipertimbangkan sebelum mencoba memaknai tipografi secara denotatif dan konotatif. Tipografi hakikatnya terdiri dari segi kebahasaan dan segi kerupaan yang masing-masingnya memiliki potensi makna denotatif dan konotatifnya tersendiri. Baik keduanya maupun salah satunya dapat digali berdasar keperluan dan pengetahuan orang-orang yang melihatnya.


Denotasi dari sebuah karya tipografis (segi kebahasaan) adalah makna harfiah kata atau kalimat itu sendiri, sementara konotasinya adalah pertambahan makna yang dirasakan pembaca terhadap pernyataan tersebut. Hal ini biasa dibahas dalam ranah linguistik dan sastra. Pengkajian puisi dan novel, sekalipun sesungguhnya melakukan pembacaan terhadap karya tipografis berupa buku cetakan, mengeliminasi kemungkinan pemaknaan dari sisi rupawi bentuk huruf yang dipakai. Tidak peduli sebuah puisi dicetak dalam Georgia atau Verdana, makna bahasanya adalah satu-satunya yang berkepentingan.


Perbedaan rancangan berbagai glif 'a' dapat dimaknai secara denotatif hanya sebagai grafem 'a' saja.

Sedangkan denotasi pada sebuah karya tipografis (segi kerupaan) adalah sesusunan glif-glif beserta fitur-fitur tipografisnya yang menurut penglihatan manusia dikenali sebagai aksara. Pengalaman ini menjadi kian jernih ketika kita menemui teks dalam aksara yang tidak bisa kita baca dan bahasa yang tidak kita ketahui, semisal saat melihat tulisan beraksara Malayalam atau Rusia. Kenyataan visual yang kita tangkap ketika melihat teks tersebut adalah aspek denotasi dari segi kerupaan dalam sebuah karya tipografis. Sementara itu, aspek konotasinya adalah pertambahan makna akibat pengamatan lanjutan terhadap penstiliran aksara baik secara satu per satu hurufnya maupun keseluruhan rangkaian pada konteks tertentu. Perbedaan-perbedaan ragawi antara fontasi Comic Sans dan Bodoni, misalnya, dapat memantik makna yang berbeda pula sekalipun digunakan untuk menuliskan rentetan huruf-huruf yang sama. Hal inilah yang membuat fontasi kerap dianggap memiliki kepribadian yang beraneka rupa bahkan sebelum digunakan untuk menuliskan kata-kata.

Hubungan antara aspek kebahasaan dan kerupaan dalam tipografi akan dianggap selaras ketika makna kebahasaan berhasil dipertegas dengan penggunaan gaya tipografi tertentu yang dianggap sesuai. Kesesuaian ini kebanyakan didasari oleh metonimia, yakni bagaimana suatu gagasan berhubungan dengan gagasan lain yang dianggap dekat atau sekelompok. Misalnya, tipografi rumah makan Padang dirancang sedemikian rupa sehingga mirip dengan bentuk rumah gadang dengan kedua ujungnya yang lancip. Rumah gadang adalah metonimia dari gagasan tentang budaya Minangkabau secara keseluruhan. Contoh lainnya lagi, tipografi promosi pariwisata Wonderful Indonesia dirancang dengan luwes tanpa potongan-potongan tajam. Keluwesan bentuk huruf ini bisa dimaknai sebagai kehalusan, yaitu metonimia dari gagasan ideal (pariwisata) Indonesia yang ramah dan lemah lembut.

Ironi akan tercipta ketika aspek kebahasaan dan kerupaan dalam karya tipografis dianggap tidak selaras. Sebagai contoh, pesan cinta bertuliskan ‘Aku sayang kamu’ tetapi disetel dengan fontasi Chiller yang bernuansa seram; atau jersi olahraga tetapi menggunakan fontasi Chopin Script yang halus dan melekuk-lekuk. Meski pada umumnya hal ini akan membuat kebingungan dan kesalahpahaman dalam menangkap pesan yang akan disampaikan, ironi dalam tipografi dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan yang sengaja digunakan untuk menantang konstruksi sosial atau tren arustama. Sebagai contoh, banyak kelompok musik metal menggunakan gaya huruf patah (blackletter) yang sesungguhnya berasal dari dunia tradisi agama Katolik. Hal ini mungkin bisa dimaknai sebagai upaya mendobrak, sekaligus mendesakralisasi, simbol-simbol agama.

Pemaknaan konotatif seringkali ditekan dalam keperluan teks yang lebih panjang, seperti buku atau koran, atau teks yang dicetak dalam ukuran lebih kecil, seperti label nilai gizi dan instruksi pemakaian; tulisan dikembalikan ke fungsinya yang paling dasar, yakni hanya untuk dibaca. Meskipun demikian, jika kita melihat pada cakupan yang lebih luas, segi konotatif dari karya tipografis tidak bisa benar-benar diabaikan. Utamanya ketika berurusan dengan dunia pencitraan merek, divisi seni kreatif di balik perusahaan-perusahaan besar memikirkan matang-matang jenis huruf apa yang akan mereka pakai. Huruf, sampai pada tahap tertentu, turut menunjang kepribadian korporat yang sengaja disusun sedemikian rupa sebelum ditampilkan ke hadapan publik.

Sejumlah desainer huruf diketahui berlomba-lomba untuk menciptakan fontasi-fontasi yang dianggap netral, kering akan kepribadian, seperti Helvetica atau Univers, untuk melayani keperluan pragmatis umat manusia untuk membaca, tanpa agenda memaknai perbedaan dan penggayaan bentuk-bentuk hurufnya. Lantas apakah kemudian upaya ini berhasil? Pada kurun waktu tertentu barangkali iya, tetapi nantinya juga tidak akan bisa melepaskan diri dari jerat pemaknaan konotatif. Huruf-huruf yang dibuat akan tertaut minimal dengan era saat huruf tersebut diciptakan. Helvetica dan kawan-kawan sezamannya yang digadang-gadang menjadi huruf modern yang tak bakal lekang oleh waktu, baru-baru ini juga mulai tergeser dengan banjirnya huruf-huruf nirkait bergaya geometris. Apa yang baru kemudian membuat apa yang lama tidak lagi dipandang sama. Mengganti logo Google dan Spotify pada hari ini dengan Helvetica misalnya, tidak lagi akan dianggap semodern pertama kali huruf ini diperkenalkan.

Denotasi dan konotasi adalah dua sisi yang berbeda dari satu koin yang sama. Jika seseorang tidak membalik koin tersebut tidak berarti sisi yang lain tidak berwujud. Memaknai tipografi mungkin sedikit sukar bagi mereka yang tidak berkecimpung di bidang desain atau tidak biasa mengamati visual-visual yang remeh-temeh, namun menangkap rasa yang ditimbulkan dari melihat tipografi berlangsung begitu cepat dan seseorang tidak harus membahasakannya terlebih dahulu untuk memahaminya.

0 komentar:

Posting Komentar