Pada Senin 22 Oktober 2018, tepat setahun yang lalu,
beberapa anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera hitam bertuliskan
kalimat syahadat putih. Kejadian bermula ketika seseorang membentangkan bendera
tersebut pada saat peringatan Hari Santri Nasional di Alun-alun Limbangan, Garut,
Jawa Barat. Hal itu kemudian membangkitkan amuk massa, sebab bagi mereka bendera
tersebut bukanlah sekadar bendera bertuliskan kalimat suci, tetapi merupakan
lambang dari gerakan dan ideologi yang diusung Hizbut Tahrir.
Massa pada mulanya hendak menginjak-injak bendera tersebut,
tetapi beberapa anggota Banser berinisiatif untuk membakarnya. Rekaman
pembakaran tersebut lalu merebak di internet dan menimbulkan polemik di tengah
masyarakat. Sebagian masyarakat muslim menganggap pembakaran bendera tersebut
merupakan sebuah penghinaan terhadap agama Islam. Tagar #bubarkanbanser sempat
populer di Twitter dan beberapa unjuk rasa digelar di sejumlah kota di
Indonesia terkait insiden ini.
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, melalui akun Twitter-nya
menegaskan bahwasanya HTI tidak memiliki bendera dan bendera yang dibakar dalam
peristiwa tersebut adalah bendera tauhid bernama Ar-Rayah (panji Rasulallah)
yang berwarna hitam dan bertuliskan kalimat tauhid putih. Bendera tersebut didaulat sebagai bendera agama Islam, ujarnya.
Beragam Bendera Hitam
Masyarakat muslim mengenal setidaknya dua bendera, yakni Ar-Rayah
(berwarna hitam) dan Al-Liwa (berwarna putih). Terlepas dari kesepakatan atau keabsahan
bendera-bendera ini sebagai perwakilan dari agama/negara Islam, bendera-bendera
ini memang semakin sering kita jumpai di bentang pandang Indonesia belakangan ini. Satu hal yang
menarik ialah desain tipografi—atau dalam kosa Islami disebut khat—yang dipakai
untuk menuliskan kalimat tauhid dalam aksara Arab itu cenderung memiliki keseragaman.
Padahal, bendera-bendera sejenis sesungguhnya memiliki
berjubel variasi desain tipografi dalam perkembangannya. Kemasyhuran bendera
berkalimat syahadat, khususnya yang berwarna hitam, tidak dapat dinafikan sebab
bendera hitam itu dikabarkan akan mengiring kedatangan Imam Mahdi menjelang hari
kiamat kelak. Berdasarkan risalah inilah, beberapa kelompok gerakan Islam
mendaku, membajak atau memanfaatkan bendera hitam dengan bertuliskan La ila
hailallaah Muhammad darasulullah sebagai fasad gerakan mereka. Walaupun pada kenyataannya, tidak digambarkan apakah bendera hitam yang dimaksudkan mengiring Imam Mahdi tersebut akan bertuliskan tauhid atau tidak; dan jika iya, jenis
khat apa yang akan digunakan. Imaji tentang bendera ini lantas berkembang
langgas. Beragam desain tipografi dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan bendera yang hendak disiarkan ke hadapan umat. Sebagian menambahkan kalimat lain, sebagian menambahkan gambar atau ornamen. Berikut ini beberapa contoh bendera
hitam berkalimat Tauhid beserta gerakan penyokongnya.
Tanpa mengurangi rasa hormat, sebagian besar bendera-bendera
ini memanglah dimanfaatkan oleh kelompok militan yang mengobarkan petaka
di negara-negara Timur Tengah dan Afrika, seperti ISIS di Suriah dan Boko Haram
di Nigeria. Penggunaan besar-besaran oleh kelompok-kelompok ini tentulah
membuat citra bendera yang seharusnya dianggap mulia menjadi memburuk.
Jarangnya bendera tersebut hadir dalam konteks yang bertamadun juga menyulitkan
publik untuk menghubungkan gagasan tentang bendera tersebut dengan kesan yang elok-elok. Hubungan asosiatif antartandanya tidak terjalin sebagaimana mestinya.
Bahasa dan Parabahasa
Perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia
dan si pembakar bendera jelas begitu kentara. HTI dan kelompok afiliasinya bersikukuh bahwa
walau bagaimana pun, bendera tersebut tetap mengandung lafaz kudus. Kalimat
lainnya: walaupun bendera tersebut hadir dalam konteks yang tidak ideal dan
telah digaungkan oleh kelompok-kelompok ekstrem secara berulang-ulang selama bertahun-tahun, toh
tetap saja mengandung kalimat yang tinggi derajatnya. Artinya, Hizbut Tahrir
mengutamakan aspek kebahasaan belaka pada tulisan tersebut dan mengesampingkan apa-apa
saja yang non-bahasa yang barangkali terpaut makna dengan tulisan tersebut. Persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan tipografis.
Tipografi mampu mendedah permasalahan bahasa tulis semacam ini. Para cendekiawan
ilmu komunikasi telah lama memercayai bahwa komunikasi lisan terdiri dari dua
hal yang nyaris tak terpisahkan, yaitu aspek verbal dan non-verbal. Penelitian
oleh William Condon menunjukkan bahwa dalam komunikasi lisan, setiap ucapan
(bahasa) didampingi oleh tanda-tanda non-bahasa seperti gerak-gerik, ekspresi
muka, nada bicara dll. yang dapat memperkaya makna dalam komunikasi. Banyangkan
seseorang berkata "Aku cinta kamu" dalam dua keadaan: pertama, dengan
nada lemah lembut dan pipi merona, kedua, dengan nada tinggi, berteriak dan
mengepalkan tangan. Satu mungkin akan membuat kita tersipu malu, sedangkan
satunya membuat kita bergidik ketakutan. Mengapa dua hal dalam kalimat yang
sama mendapatkan tanggapan yang berbeda? Karena dalam memaknai komunikasi, kita
tidak hanya bertumpu dari bahasa saja.
Peristiwa yang demikian dapat pula dipadankan dalam dunia
tipografi. Teks tidak hanya memuat apa yang terbaca, teks juga dapat dimaknai
bagaimana ia tersaji secara visual. Padanan aspek verbal dan non-verbal dalam
dunia bahasa tulis adalah tulisan (bahasa) dan paratulisan (parabahasa).
Parabahasa sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis komunikasi non-verbal.
Berbeda dengan jenis-jenis komunikasi non-verbal lainnya yang dapat berdiri
sendiri, parabahasa tertaut dengan bahasa. Ia serupa dengan tipografi yang
tidak dapat hadir tanpa adanya bahasa tulis, tanpa adanya aksara. Tipografi
adalah parabahasa dalam dunia tulisan. Tipografi mampu menghembuskan
makna-makna di luar makna bahasanya. Ia dapat menandakan nuansa bicara,
kepribadian, gender, asal-usul dan banyak lagi. Sekarang banyangkan seseorang menulis
"Aku cinta kamu" dalam dua fontasi: pertama dalam fontasi Parisienne oleh
Astigmatic dan kedua dalam fontasi Horrorfind oleh Sinister Fonts (lihat gambar di bawah). Walaupun keduanya
menyatakan kalimat yang sama, tetapi tentu kita mendapati nuansa makna yang
berbeda, yang membuat kita merespons dengan cara yang berbeda pula.
Bagaimana Makna Tercipta
Kejadian pembakaran bendera tauhid boleh dikatakan disebabkan
oleh perbedaan cara memaknai bendera tersebut. Satu golongan memaknai secara
kebahasaan saja dan menepis segala kemungkinan tafsir makna yang melebar dan
meluas ke mana-mana. Sedangkan, satu golongan lain memaknai hal-hal yang telah
terasosiasi dengan bendera tauhid tersebut, memungkiri aspek kebahasaannya.
Mengesampingkan pesan-pesan yang dapat diulik di luar
ketipografian, misalkan warna, bendera tauhid sungguhnya adalah sebuah karya
tipografi. Bendera yang dipersoalkan memiliki gaya kaligrafi Sulus (Tsuluts
ثلث) yang benar sering digunakan untuk menuliskan kalimat
syahadat tauhid, seperti pada bendera Arab Saudi, Hamas, dan Barisan Pembebasan
Islam Moro (beberapa contoh bendera yang tidak menggunakan warna hitam polos).
Khat Sulus sering dijumpai menghias masjid-masjid dan naskah-naskah kitab kuno.
Huruf-hurufnya yang berjejalan rapi, tebal-tipis yang berpatutan dan
harakat-harakat dekoratifnya menciptakan kesan-kesan yang elegan dan nilai seni
yang tinggi. Dipadukan dengan kalimat suci, kaligrafi ini lengkap baik dari
sisi kebahasaan maupun kerupaannya. Akan tetapi, hal tersebut tampaknya belum
cukup membuat semua golongan bersepakat dalam memaknainya.
Meskipun telah dilengkapi dengan kalimat suci dan tipografi
yang apik, bendera tauhid sering berada pada konteks yang tidak ideal dan hal
itu berulang kali dipaparkan ke hadapan awam. Secara pribadi, ketika
membayangkan bendera tersebut, gambar-gambar yang terbayang di kepala saya
adalah peperangan, konflik Timur Tengah, arak-arakan gerilyawan, dan keriuhan
unjuk rasa; sukar rasanya menautkan simbol tersebut dengan kesan-kesan
yang indah dan damai. Saya yakin, bukan saya sendiri yang mendapati hal serupa ini.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tanpa mempertimbangkan makna
dari penggunaan aksara hijaiah itu sendiri yang mungkin tidak netral bagi sebagian
orang (masyarakat Amerika Serikat mungkin was-was dengan tulisan Arab dan sebagian
kalangan di Malaysia menolak huruf Jawi), bendera tauhid sebagai karya
tipografi telah tertaut dengan sesuatu yang lain di luar makna lugasnya. Gerrit
Willem Ovink pernah menjabarkan bagaimana tipografi pada kemasan parfum mampu
membawa makna-makna ke luar aspek kebahasaan. Ia menjelaskan tiga hal: ikonisitas,
alusi dan pengodean simbolik.
Ikonisitas (metafora) berbicara tentang bagaimana tipografi
secara langsung memiliki kemiripan, baik kemiripan fisik maupun imajinatif,
dengan sesuatu yang hendak diwakilinya. Jika Anda melihat bendera tauhid dengan
bentuk kaligrafinya yang runcing-runcing, Anda akan terbayangkan kelopak
bunga atau belati? Kuncup daun ataukah pedang? Pencitraan bendera tauhid lewat
media arustama dll. yang telah memapar Anda selama ini akan memutuskan jawaban dari
pertanyaan tersebut. Sementara itu, alusi
(metonimi) berbicara tentang bagaimana tipografi terpaut pada gagasan-gagasan
tertentu yang masih berhubungan dengan hal yang hendak diwakili. Jika Anda
melihat bendera tauhid, gambaran apa yang lahir dari pengalaman tersebut,
apakah Anda membayangkan gerakan damai ataukah gerakan yang membubarkan kedamaian?
Yang terakhir, representasi simbolik berbicara tentang bagaimana rancangan
tipografi tertentu disepakati kelompok masyarakat sebagai sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain, tanpa memandang kemiripan (metafora) ataupun keterpautan
dengan gagasan-gagasan lain (metonimi). Hal inilah yang kiranya paling genting dari kegemparan pembakaran bendera tauhid silam: tidak adanya kesepakatan antaranggota
kelompok masyarakat tentang apa dan bagaimana itu bendera tauhid, yang didaku sebagai
bendera agama Islam.
Saran
Dalam menengahi permasalahan pembakaran bendera tauhid yang
ramai setahun lalu diperlukan rembukan yang matang antara kedua belah pihak.
Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok afiliasinya seyogianya tidak cuci tangan
dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bendera, sementara senantiasa
mempromosikan panji-panji Ar-Rayah dalam pelbagai kesempatan. Keterikatan tanda
yang kuat tentu tercipta di antara keduanya, antara bendera tersebut dan Hizbut
Tahrir, serta gerakan-gerakan lainnya yang juga memanfaatkan bendera serupa. Sedangkan,
apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota Banser juga tidak dapat dibenarkan, tindakan
tanpa tenggang rasa tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kecerobohan yang
menganggu keselarasan antaranggota masyarakat.
Kiranya jika memungkinkan,
bendera Islam atau bendera tauhid perlu disepakati ulang oleh antarkalangan
dalam masyarakat Islam secara umum, sehingga baik golongan HTI (atau eks-HTI) dan golongan Nahdlatul
'Ulama menemukan mufakat dalam mengiktirafkannya. Menimbang hadis yang
meriwayatkan penggunaan bendera Ar-Rayah tidak menjelaskan apa-apa kecuali warnanya yang hitam, kreasi tipografi baru yang lebih netral dan modern
untuk menuliskan kalimat syahadat pada bendera tersebut sangatlah memungkinkan.
Tanpa mengubah makna harfiahnya, mungkin saja bendera Islam kelak dapat mengekor mode
tipografi yang dipelopori Google, fontasi-fontasi nirkait geometris yang rapi, tawar, dan jernih; berusaha suci dari praduga makna.