Rabu, 13 Mei 2020

Logam Huruf Jawa I: Aksara Pribumi dan Teknologi Eropa

Ketika VOC mulai berdiri di Jawa pada abad 17 M, bahasa-bahasa yang digunakan di Nusantara hanya bisa dicetak dengan huruf Latin atau Arab, aksara Jawa belum mendapatkan perhatian khusus meski telah dipelajari untuk memperlancar komunikasi dengan para penguasa Jawa. Materi beraksara Jawa—jika diperlukan—hanya bisa dibuat dengan jasa para juru tulis dan penyalin pribumi. Ketika kajian mendalam mengenai bahasa Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada akhir abad 18 M, timbullah keinginan untuk menciptakan huruf cetak aksara Jawa agar materi sastra Jawa dapat dengan mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Berbagai tokoh pemerintahan, budayawan, dan misionaris mulai terlibat dalam upaya menciptakan teknologi cetak baru tersebut. Meskipun demikian, hanya sedikit dari tokoh-tokoh awal itu yang memiliki pemahaman mendalam mengenai aksara Jawa ataupun proses perancangan tipografis, dan sedikit pula di antara para tokoh tersebut yang saling bekerja sama dalam lingkungan yang kondusif. Dengan latar belakang semacam itu, masa pengembangan huruf cetak aksara Jawa memakan waktu sekitar 20 tahun, antara tahun 1817 sampai 1837, hingga suatu sistem cetak yang siap-pakai mulai digunakan secara luas di Jawa (Mollen 2000).

Huruf lepas (movable type) aksara Jawa paling awal bermula atas prakarsa Sekretaris Jenderal Batavia, JC Baud (1789–1859), yang mendelegasikan tugas perancangan aksara Jawa kepada Paul van Vlissingen (1797–1876). Rupa huruf Vlissingen rampung dan pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825. Pada periode waktu yang sama, misionaris Gottlob Brückner (1783-1857) juga tengah merancang rupa huruf aksara Jawa untuk Injil berbahasa Jawa yang ia garap. Dengan bantuan Baptist Missionary Society di Serampore, India, Brückner merampungi rupa huruf dan injilnya pada tahun 1829. Kedua rupa huruf tersebut, meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masanya, menerima kritik dari berbagai pakar yang menulis bahwa desain huruf yang mereka buat tidak memuaskan. Rupa huruf Vlissingen dinilai memiliki proporsi yang canggung, rupa huruf Brückner menggunakan langgam yang terlalu ‘Pesisir’[1], dan bentuk keduanya secara umum dianggap kurang bagus. Rupa huruf Vlissingen dan Brückner juga tidak memiliki sejumlah aksara yang dibutuhkan untuk menulis karya sastra klasik Jawa sehingga dianggap tidak cocok untuk mencetak berbagai sastra sebagaimana yang diharapkan oleh para pakar, walaupun cukup memadai untuk mencetak teks Jawa sehari-hari.


Dua rupa huruf aksara Jawa awal
Seiring kajian budaya dan bahasa Jawa kian berkembang, hal ihwal desain huruf aksara Jawa semakin banyak didiskusikan oleh para ahli dalam upaya untuk meningkatkan mutu cetak aksara Jawa. Pakar menimbang-nimbang apakah rupa huruf Vlissingen dan Brückner dapat disunting menjadi lebih baik atau tidak. Jika tidak, maka sebuah rupa huruf yang sepenuhnya baru akan dibuat. Tokoh seperti JFC Gericke (1798-1857) berpendapat bahwa rupa huruf baru sebaiknya dibuat dari awal dan menyarankan agar para perancang huruf cetak Jawa mencontoh tulisan tangan Surakarta yang dikagumi oleh berbagai penulis masa itu sebagai salah satu langgam aksara Jawa yang paling indah. Gericke, yang mendirikan Instituut der Javaansche Taal te Soerakarta (Lembaga Bahasa Jawa di Surakarta) pada tahun 1832, merupakan salah satu pakar bahasa Jawa yang paling terkemuka di kalangan Eropa masa itu dan sering dimintai pendapat mengenai desain aksara Jawa, meski sejumlah saran Gericke sulit diterapkan dalam lingkungan desain. Mengenai proporsi, Gericke menulis bahwa pasangan minimal memiliki tinggi tiga kali aksara dasar. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi para pencetak dan desainer karena rupa huruf semacam itu akan menghabiskan banyak bidang kertas dan membuat proses percetakan sangat mahal. Gericke juga memiliki saran spesifik untuk tidak menambahkan kontras garis tebal-tipis dalam desain aksara Jawa sebagaimana yang Brückner coba dalam typefacenya. Desain tipografis ideal Eropa masa itu selalu menyertakan kontras tebal-tipis yang kentara karena pengaruh tulisan tangan serif humanis Italia, dan tampaknya Gericke kurang setuju untuk mengikutsertakan aspek desain Latin ini ke dalam aksara Jawa.


 Bentuk aksara Jawa Surakarta yang ditulis dan dikirimkan oleh Gericke ke salah satu kontaknya untuk mengilustrasikan proporsi Surakarta yang ia anggap baik. Gambar disadur dari Molen (2000).
Pada tahun 1836, Taco Roorda (1801-1874) yang lama tinggal di Surakarta mulai menaruh perhatian pada masalah rupa huruf aksara Jawa. Roorda adalah seorang teolog, budayawan, dan guru besar Akademi Royal Delft (kini Universitas Teknologi Delft) dengan spesialisasi bahasa-bahasa Timur, termasuk bahasa Jawa. Ia bertukar surat dengan Gericke dan menjalin hubungan dengan percetakan Enschedé sebelum memulai proses perancangan rupa huruf Jawa. Pada tahun 1838, ia berhasil menyelesaikan rupa hurufnya. Roorda menggunakan dasar bentuk Surakarta yang disarankan Gericke namun dengan proporsi yang dipangkas agar dapat memuat lebih banyak karakter dalam satu halaman. Ia tetap menggunakan garis tebal-tipis mungkin karena keinginan untuk membuat teks Latin dan Jawa terlihat selaras dalam teks dwibahasa. Gericke awalnya memiliki beberapa kritik untuk rupa huruf Roorda, tetapi tampaknya ia tidak lagi bersikeras dengan pandangan awalnya dan pada akhirnya ia pun merestui penggunaan rupa huruf Roorda

Rupa huruf yang Roorda buat disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama berbagai kalangan pembaca. Dalam laporan yang ia tulis mengenai proses penggarapannya, Roorda menyebutkan beberapa faktor yang turut mempercepat proses desainnya: ia telah mengumpulkan berbagai masukan dan kritik yang telah ditulis pendahulunya, sebagai budayawan ia paham dengan bahasa Jawa dan berpengalaman dengan aksara-aksara Asia, dan dia juga menulis bahwa kemampuan menggambarnya ‘tidak terlalu jelek’ (Molen 2000). Beberapa tahun kemudian, Roorda dan Martinus Hübner dari Enschedé membuat rupa huruf kedua bergaya miring, dan hal ini pun disambut dengan baik.

Rupa huruf aksara Jawa yang Roorda garap.


 Bentuk dan proporsi tulisan tangan Surakarta dari tahun 1816 disandingkan dengan rupa huruf Roorda dari tahun 1838 (didigitalisasi menjadi Tuladha Jejeg oleh RS Wihananto dan Javanese Text oleh Microsoft).
Dengan tuntasnya masalah huruf cetak, publikasi dalam aksara Jawa pun bermekaran di seantero pulau dan banyak rakyat pribumi biasa terpapar dengan bacaan beraksara Jawa. Sebelum percetakan aksara Jawa muncul, perlu diingat bahwa kebanyakan teks Jawa hanya dibuat dalam jumlah terbatas di kalangan ningrat atau pelajar. Hadirnya percetakan aksara Jawa yang didukung oleh prasarana seperti rupa huruf Roorda membuat bacaan beraksara Jawa jauh lebih mudah didapat oleh rakyat biasa dan hal ini turut membuat masyarakat menjadi lebih melek huruf. Pemerintahan Hindia Belanda juga meresmikan penggunaan aksara Jawa (bersama dengan Arab-Melayu dan Latin) dalam fungsi administrasi dan sehari-hari sehingga percetakan aksara menerima dukungan dan bantuan yang signifikan dari tokoh pemerintahan Belanda (Moriyama 2003). Rupa huruf Roorda terbukti memuaskan dan awet digunakan oleh berbagai penerbit dan percetakan Jawa selama lebih dari seabad ke depannya dalam berbagai media dari surat resmi pemerintahan, makalah akademisi, hingga koran, majalah, iklan, dan uang.


Huruf cetak Jawa dalam penggunaan resmi. Atas: buletin pemerintahan Surakarta Kabar Paprentahan (edisi November 1934). Kanan: uang Gulden Hindia Belanda seri Wayang (1933-1939) yang larangan pemalsuannya ditulis dalam huruf Jawa, Arab, Latin, dan Honji Tiongkok.


Huruf cetak dalam penggunaan populer. Atas kiri: halaman judul majalah Kajawén (edisi Oktober 1927). Atas kanan: halaman isi majalah Kajawén. Bawah kiri: iklan bohlam lampu. Bawah kanan: iklan bubur havermut (oatmeal).

Plat huruf karya Roorda (disusun dalam posisi tercermin sebelum dicetak pada kertas).
Foto oleh Troy Leinster.
_______________________________________
Catatan Kaki
[1] Bentley-Taylor (1967) menuliskan bahwa pelukis Raden Saleh (1807-1880) pernah dimintakan pendapat mengenai purwarupa injil Brückner ketika sang pelukis sedang tinggal di Den Haag, Belanda. Raden Saleh berkomentar bahwa injil Brückner dapat dimengerti, namun terdapat beberapa kesalahan, tata bahasanya terlalu eropa, dan gayanya terlalu pesisir. Brückner memang lahir dan lama tinggal di Semarang, sehingga kemungkinan besar bahasa dan aksara Jawa yang ia kenal dengan baik adalah varian pesisir.

Tulisan di atas ditulis dan disumbangkan oleh Aditya Bayu Perdana.
Pranala: Instagram dan Behance.
Versi jurnal tulisan ini telah dipublikasikan dalam Manuskripta Vol 10 No 1 (2020).

Rabu, 22 Januari 2020

Lewat Ukiran Kayu, Turut Melestarikan Aksara Terancam Sedunia

Peradaban manusia telah berhasil melahirkan seratusan aksara ke dunia: salah satunya aksara Latin yang sedang Anda baca saat ini. Sebagian aksara-aksara itu berhasil melenggang langgeng hingga hari ini, sebagian yang lain telah punah ditelan kala. Di antara keduanya, terdapat berjibun aksara-aksara yang masih menimbang-nimbang nasib sendiri. Mereka ada, tetapi keberlangsungannya terancam akibat penggunaan aksara dari kebudayaan lain yang lebih kuat. Contoh yang paling nyata, aksara Latin di Indonesia menyapu keberadaan aksara-aksara daerah, seperti aksara Jawa dan Lontara, dari tempat umum dan dari buku-buku di perpustakaan. Berbagai macam upaya telah digencarkan untuk menanggulangi persoalan ini. Salah satu inisiasi yang cukup penting dipelopori oleh Tim Brookes, seorang warga Vermont, Amerika Serikat, dengan mencanangkan proyek Endangered Alphabets.
Proyek Endangered Alphabets (www.endangeredalphabets.com) berusaha untuk memberikan harapan bagi aksara-aksara terancam di seluruh dunia; mulanya melalui ukiran-ukiran indah dalam berbagai aksara pada sebongkah kayu atau perabot, kemudian sedikit-sedikit membangun kesadaran khalayak tentang betapa pentingnya melestarikan budaya-budaya yang kurang-terwakili di dunia ini.

Tim Brookes tidak memiliki latar belakang ilmu bahasa ataupun kepengrajinan, tidak pula antropologi atau kesenian. Tim adalah seorang pengarang. Suatu masa, satu hal penting terjadi pada kisaran Natal 2009: keingintahuan dan kecintaannya tentang kerajinan kayu muncul, ia lantas mencoba memberi hadiah satu papan tanda kayu mapel kepada masing-masing anggota keluarganya untuk digantung di depan rumah, kantor atau kamar. Semua orang tampak gembira dengan pemberian luar biasa itu.

Tim Brookes memperlihatkan salah satu karyanya dalam pameran LocWorld 41 di San Jose, Amerika Serikat.
Tim lantas tergerak untuk membuatnya lagi, kali ini dengan ukiran beraksara Tionghoa. Ia keranjingan membuat banyak ukiran beraksara Tionghoa kala itu sampai-sampai ia kehabisan ide untuk proyek-proyek selanjutnya. Pikirnya, Ia mungkin akan mulai dengan bahasa baru, yakni Malayalam dari India Selatan. Pencarian kilat di Google tentang aksara ini mengantarkannya pada Omniglot.com. Tim lalu terpana, betapa melimpahnya aksara-aksara di dunia yang belum pernah ia lihat. Hal tersebut membuatnya sadar bahwa sesungguhnya ada puluhan aksara-aksara lain di dunia ini yang ia belum ketahui kemolekannya.

Sebagai seorang penulis kisah perjalanan, Tim merasa telah melihat cukup banyak aksara dunia. Akan tetapi, Omniglot berhasil membukakan matanya terhadap banglasnya panorama baru, ia menyaksikan serentetan daya cipta aksara yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Sepengamatannya, pancarona aksara yang ia temukan di sana tampak lebih seperti hiasan rumit daripada sebuah tulisan. Beberapa terlihat bak barisan semak berduri, beberapa lainnya tampak begitu asing, beberapa lagi tampak seperti bukan hastakarya manusia. Dari sana ia sadar bahwa sebagian besar aksara-aksara itu sedang terancam keberadaannya.

Tim memutuskan untuk mengukir sepuluh karya kayu bertuliskan isi "Pasal 1 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia", sebuah teks contoh paling umum di Omniglot, dalam sepuluh aksara yang dianggapnya paling rentan musnah. Tahun 2010, Ia berhasil menyelenggarakan pameran pertamanya di beberapa perguruan tinggi, perpustakaan dan galeri. Masyarakat mulai penasaran dengan apa yang dilakukan Tim dengan kayu dan ukiran aksaranya. Mereka mulai membicarakannya, memberitakannya dan memfilmkannya. Hal ini mulai menyadarkan awam tentang pentingnya pelestarian bahasa dan aksara minoritas.

Ukiran berbahasa Ojibwe oleh Tim Brookes
Aksara Inuktitut, aksara silabis orang-orang pribumi di sekitaran Kanada Timur, ialah aksara terancam pertama yang Tim ukirkan pada kriya kayunya. Tim tidak menyangka bentuk-bentuk aksaranya yang geometris menjadi kesulitan tersendiri ketika diukirkan pada media kayu. Aksara tersebut harus memiliki ketepatan dan keseragaman bentuk, yang mana tangan manusia tidak dirancang untuk menggarap hal semacam itu secara alamiah.

Pameran yang diselenggarakan proyek Endangered Alphabet di Montgomery Center for the Arts.
Pada tahun 2012, proyek Endangered Alphabets menemukan arah barunya: dari yang sebelumnya sekadar berusaha menarik perhatian khalayak ramai supaya sadar akan isu kepunahan aksara, proyek Endangered Alphabets lantas melakukan hal-hal lebih nyata, yaitu untuk turut menanggulanginya. Hal ini dilakukan sejak bekerja sama dengan Maung Nyeu, seorang warga negara Bangladesh yang peduli dengan keberadaan bahasa-bahasa minoritas di daerahnya. Kerja sama ini berupa penciptaan materi pendidikan, seperti buku cerita dan permainan papan, dalam bahasa dan aksara yang terancam hilang.

Ukiran beraksara Jawa karya Tim Brookes, terbaca "pakaryan kang becik", yang artinya "pekerjaan yang baik".


Ukiran beraksara Jawa pada kayu mapel oleh Tim Brookes, rancangan tipografi oleh Aditya Bayu Perdana.
Tulisan berasal dari sebagian Pupuh 11 Seloka 82 Kakawin Ramayana, "Mĕtu ta bhaṭāra Śaśāngka sateja ring udayaparwata bhāswara rāmya kadi anumoda tumon sira mopĕk suluh ikanang daśadeśa ya māwā." yang berarti "Bulan terbit di bukit timur; terang dan anggun, seakan mengasihani Rama; melihatnya begitu terpuruk; laksana obor yang menerangi tiap sudut semesta."
Proyek Endangered Alphabets kini juga menerbitkan atlas daring untuk mendokumentasikan dan menyajikan informasi tentang aksara-aksara yang terancam punah di seluruh dunia lewat media yang lebih interaktif. Atlas ini dapat dikujungi di www.endangeredalphabets.net. Tim juga menerbitkan buku Endangered Alphabets: An Essay on Writing yang tidak hanya berkisahkan pengalaman kriyanya, melainkan juga perenungan dan pemikirannya tentang tulisan serta keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Singkatnya, Tim Brookes melalui berbagai upayanya yang telah ia tempuh selama ini punya satu tujuan pasti: mendukung masyarakat minoritas di mana pun itu untuk mendapatkan kembali jati dirinya yang terancam hilang.
Kartu permainan aksara terancam yang dikembangkan Endangered Alphabet.
Cuplikan Atlas of Endangered Alphabet, memperlihatkan persebaran aksara terancam punah di dunia.
Sebagai lembaga nirlaba, Endangered Alphabet sepenuhnya bergantung pada mereka yang peduli dan percaya akan pentingnya melestarikan budaya minoritas di seluruh penjuru dunia. Anda dapat pula mendukung gerakan ini menyumbang melalui PayPal, membeli buku atau cendera mata, memesan ukiran, atau mendukung kampanye urundana di Kickstarter. Selengkapnya dapat dipelajari di sini.

Kumpulan aksara-aksara daerah di Indonesia oleh Tim Brookes.
Kepada Naraäksara, Tim berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang peduli akan kelestarian aksara daerah untuk sadar bahwasanya masa depan kebudayaan bisa dipengaruhi dan bisa diarahkan. Tidak ada lagi yang berkata "bahasa sekarat" atau "aksara gagal" seperti hal tersebut tidak memiliki pilihan atau merupakan suatu keadaan yang tak terhindarkan. Indonesia khususnya memiliki keadaan yang menarik sebagaimana banyak orang yang terjun meneroka aksara tradisional melalui kesenian. Orang-orang ini telah berhasil memamerkan aksara-aksara tersebut ke dalam wujud yang kentara. Mempertunjukkan kecantikannya dan kemungkinan penggunaanya membuat aksara-aksara tampak jauh lebih hidup.
_________________________________________________

Seluruh foto dalam artikel ini diambil dari akun Instagram Endangered Alphabet @endangeredalphas, akun Twitter @EndangeredAlpha dan situs webnya. Hak cipta gambar-gambar tersebut dalam kepemilikan Endangered Alphabet/Tim Brookes.

Minggu, 08 Desember 2019

Bagaimana Sebaiknya Menulis Aksara Jawa secara Vertikal?

Dalam perkembangan desain grafis kiwari, aksara Jawa sering kali muncul dalam tampilan yang kurang bineka, kaku dan agaknya membosankan. Padahal, aksara Jawa dalam ranah tipografi memiliki sejarah panjang dan telah diekspresikan ke dalam begitu banyak wujud rupa. Salah satu kendala penjelajahan visual aksara Jawa modern adalah kurangnya rujukan dan kurangnya penghayatan terhadap sifat alamiah aksara Jawa yang berbeda dengan aksara Latin, aksara yang jauh lebih akrab di mata para perancang kita.

Susunan penulisan aksara Jawa yang tidak selalu segaris membuat proses penataan tipografinya tidak semudah dan seluwes aksara Latin. Sebagai contoh sederhana, aksara Jawa cukup sukar untuk ditulis pada pada bidang vertikal. Adanya unsur aksara Jawa yang ditulis pada bagian bawah atau atas baris utama, seperti pasangan dan sandangan, tidak memungkinkan penataan vertikal secara langsung seperti dalam tipografi aksara Latin, Siril, Tionghoa atau Korea. Penataan vertikal secara langsung, akan membuat aksara-aksara tampak berjejal dan tumpang tindih dengan pasangan dan sandangan yang menyertainya.
Contoh penulisan aksara Latin, Siril, Tionghoa dan Korea secara vertikal.
Salah satu usulan cerdik atas tantangan tipografis aksara Jawa ini datang dari Aditya Bayu Perdana, seorang perancang huruf yang berfokus pada penciptaan aksara-aksara di Nusantara. Mulanya ia menyadari  permasalahan desain ini setelah mengamati panji-panji bertuliskan aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Aksara Jawa yang disusun secara menurun terlihat kurang rapi, canggung, dan memiliki alur baca yang membingungkan.

Contoh penataan vertikal aksara Jawa secara langsung dalam perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Foto diperoleh dari video saluran Youtube Festival Kebudayaan Yogyakarta.
Bayu kemudian menyelidiki bagaimana permasalahan tipografis ini diakali di masa lalu. Ia lantas menemukan bahwasanya beberapa abad silam, aksara Kawi (pendahulu aksara Jawa dan aksara-aksara di Nusantara lainnya) pernah ditata pada bidang vertikal seperti gagang cermin, kentongan perunggu dan prasasti batu, dengan cara yang begitu cemerlang. Contoh sejarawi dari penerapan aksara Kawi vertikal umumnya ditemukan pada langgam aksara Kawi kuadrat yang memiliki rupa huruf mengotak. Aksara-aksaranya disusun dari bawah ke atas dengan masing-masingnya diputar sekitar 30-45 derajat berlawanan arah jarum jam. Hal ini sangat meningkatkan keterbacaannya. Dengan diputarnya "balok silabis" aksara Jawa pada derajat yang tepat, sandangan dan pasangan tidak berbenturan dengan huruf di bawah atau atasnya. Ketika pembacaan berlangsung, balok silabis juga lebih mudah dikenali dan dibedakan satu per satu.

Contoh beberapa peninggalan budaya beraksara Kawi yang disusun secara vertikal. (dari berbagai sumber)
Atas: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang mendatar. Kiri: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun secara langsung, tanpa pemutaran balok. Kanan: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun dengan pemutaran balok. (Gambar oleh Aditya Bayu)
Perbandingan alur baca penulisan standar (kiri), penulisan vertikal tanpa pemutaran (tengah; contoh panji aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019) dan penulisan vertikal dengan pemutaran (kanan) yang jauh lebih mudah terbaca, rapi dan mudah dibedakan tiap baloknya. (Gambar oleh Aditya Bayu)
Tidak perlu meniru bagaimana tabiat aksara Latin atau Tionghoa ketika disusun secara vertikal, justru nenek moyang kita telah memberikan suatu solusi praktis yang lebih sesuai dengan konteks kebudayaan kita sendiri. Bayu mangajak kita semua untuk turut mengadaptasi pemecahan masalah dalam aksara Kawi ini pada komposisi tipografi aksara Jawa dan aksara Bali modern. Susunan tipografi vertikal aksara Jawa akan tampak lebih rapi dan mudah terbaca. Dengan menerapkan komposisi tipografi ini, kita tidak hanya memiliki pemecahan masalah yang tepat, melainkan juga dapat membangkitkan kembali tradisi penyusunan huruf yang telah digunakan berabad-abad silam.

Selasa, 22 Oktober 2019

Pembakaran Bendera Tauhid dari Sudut Pandang Tipografi


Pada Senin 22 Oktober 2018, tepat setahun yang lalu, beberapa anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat putih. Kejadian bermula ketika seseorang membentangkan bendera tersebut pada saat peringatan Hari Santri Nasional di Alun-alun Limbangan, Garut, Jawa Barat. Hal itu kemudian membangkitkan amuk massa, sebab bagi mereka bendera tersebut bukanlah sekadar bendera bertuliskan kalimat suci, tetapi merupakan lambang dari gerakan dan ideologi yang diusung Hizbut Tahrir.

Massa pada mulanya hendak menginjak-injak bendera tersebut, tetapi beberapa anggota Banser berinisiatif untuk membakarnya. Rekaman pembakaran tersebut lalu merebak di internet dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat muslim menganggap pembakaran bendera tersebut merupakan sebuah penghinaan terhadap agama Islam. Tagar #bubarkanbanser sempat populer di Twitter dan beberapa unjuk rasa digelar di sejumlah kota di Indonesia terkait insiden ini.

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, melalui akun Twitter-nya menegaskan bahwasanya HTI tidak memiliki bendera dan bendera yang dibakar dalam peristiwa tersebut adalah bendera tauhid bernama Ar-Rayah (panji Rasulallah) yang berwarna hitam dan bertuliskan kalimat tauhid putih. Bendera tersebut didaulat sebagai bendera agama Islam, ujarnya.

Beragam Bendera Hitam
Masyarakat muslim mengenal setidaknya dua bendera, yakni Ar-Rayah (berwarna hitam) dan Al-Liwa (berwarna putih). Terlepas dari kesepakatan atau keabsahan bendera-bendera ini sebagai perwakilan dari agama/negara Islam, bendera-bendera ini memang semakin sering kita jumpai di bentang pandang Indonesia belakangan ini. Satu hal yang menarik ialah desain tipografi—atau dalam kosa Islami disebut khat—yang dipakai untuk menuliskan kalimat tauhid dalam aksara Arab itu cenderung memiliki keseragaman.

Padahal, bendera-bendera sejenis sesungguhnya memiliki berjubel variasi desain tipografi dalam perkembangannya. Kemasyhuran bendera berkalimat syahadat, khususnya yang berwarna hitam, tidak dapat dinafikan sebab bendera hitam itu dikabarkan akan mengiring kedatangan Imam Mahdi menjelang hari kiamat kelak. Berdasarkan risalah inilah, beberapa kelompok gerakan Islam mendaku, membajak atau memanfaatkan bendera hitam dengan bertuliskan La ila hailallaah Muhammad darasulullah sebagai fasad gerakan mereka. Walaupun pada kenyataannya, tidak digambarkan apakah bendera hitam yang dimaksudkan mengiring Imam Mahdi tersebut akan bertuliskan tauhid atau tidak; dan jika iya, jenis khat apa yang akan digunakan. Imaji tentang bendera ini lantas berkembang langgas. Beragam desain tipografi dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan bendera yang hendak disiarkan ke hadapan umat. Sebagian menambahkan kalimat lain, sebagian menambahkan gambar atau ornamen. Berikut ini beberapa contoh bendera hitam berkalimat Tauhid beserta gerakan penyokongnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, sebagian besar bendera-bendera ini memanglah dimanfaatkan oleh kelompok militan yang mengobarkan petaka di negara-negara Timur Tengah dan Afrika, seperti ISIS di Suriah dan Boko Haram di Nigeria. Penggunaan besar-besaran oleh kelompok-kelompok ini tentulah membuat citra bendera yang seharusnya dianggap mulia menjadi memburuk. Jarangnya bendera tersebut hadir dalam konteks yang bertamadun juga menyulitkan publik untuk menghubungkan gagasan tentang bendera tersebut dengan kesan yang elok-elok. Hubungan asosiatif antartandanya tidak terjalin sebagaimana mestinya.

Bahasa dan Parabahasa
Perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan si pembakar bendera jelas begitu kentara. HTI dan kelompok afiliasinya bersikukuh bahwa walau bagaimana pun, bendera tersebut tetap mengandung lafaz kudus. Kalimat lainnya: walaupun bendera tersebut hadir dalam konteks yang tidak ideal dan telah digaungkan oleh kelompok-kelompok ekstrem secara berulang-ulang selama bertahun-tahun, toh tetap saja mengandung kalimat yang tinggi derajatnya. Artinya, Hizbut Tahrir mengutamakan aspek kebahasaan belaka pada tulisan tersebut dan mengesampingkan apa-apa saja yang non-bahasa yang barangkali terpaut makna dengan tulisan tersebut. Persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan tipografis.

Tipografi mampu mendedah permasalahan bahasa tulis semacam ini. Para cendekiawan ilmu komunikasi telah lama memercayai bahwa komunikasi lisan terdiri dari dua hal yang nyaris tak terpisahkan, yaitu aspek verbal dan non-verbal. Penelitian oleh William Condon menunjukkan bahwa dalam komunikasi lisan, setiap ucapan (bahasa) didampingi oleh tanda-tanda non-bahasa seperti gerak-gerik, ekspresi muka, nada bicara dll. yang dapat memperkaya makna dalam komunikasi. Banyangkan seseorang berkata "Aku cinta kamu" dalam dua keadaan: pertama, dengan nada lemah lembut dan pipi merona, kedua, dengan nada tinggi, berteriak dan mengepalkan tangan. Satu mungkin akan membuat kita tersipu malu, sedangkan satunya membuat kita bergidik ketakutan. Mengapa dua hal dalam kalimat yang sama mendapatkan tanggapan yang berbeda? Karena dalam memaknai komunikasi, kita tidak hanya bertumpu dari bahasa saja.

Peristiwa yang demikian dapat pula dipadankan dalam dunia tipografi. Teks tidak hanya memuat apa yang terbaca, teks juga dapat dimaknai bagaimana ia tersaji secara visual. Padanan aspek verbal dan non-verbal dalam dunia bahasa tulis adalah tulisan (bahasa) dan paratulisan (parabahasa). Parabahasa sendiri adalah salah satu dari beberapa jenis komunikasi non-verbal. Berbeda dengan jenis-jenis komunikasi non-verbal lainnya yang dapat berdiri sendiri, parabahasa tertaut dengan bahasa. Ia serupa dengan tipografi yang tidak dapat hadir tanpa adanya bahasa tulis, tanpa adanya aksara. Tipografi adalah parabahasa dalam dunia tulisan. Tipografi mampu menghembuskan makna-makna di luar makna bahasanya. Ia dapat menandakan nuansa bicara, kepribadian, gender, asal-usul dan banyak lagi. Sekarang banyangkan seseorang menulis "Aku cinta kamu" dalam dua fontasi: pertama dalam fontasi Parisienne oleh Astigmatic dan kedua dalam fontasi Horrorfind oleh Sinister Fonts (lihat gambar di bawah). Walaupun keduanya menyatakan kalimat yang sama, tetapi tentu kita mendapati nuansa makna yang berbeda, yang membuat kita merespons dengan cara yang berbeda pula.



Bagaimana Makna Tercipta
Kejadian pembakaran bendera tauhid boleh dikatakan disebabkan oleh perbedaan cara memaknai bendera tersebut. Satu golongan memaknai secara kebahasaan saja dan menepis segala kemungkinan tafsir makna yang melebar dan meluas ke mana-mana. Sedangkan, satu golongan lain memaknai hal-hal yang telah terasosiasi dengan bendera tauhid tersebut, memungkiri aspek kebahasaannya.

Mengesampingkan pesan-pesan yang dapat diulik di luar ketipografian, misalkan warna, bendera tauhid sungguhnya adalah sebuah karya tipografi. Bendera yang dipersoalkan memiliki gaya kaligrafi Sulus (Tsuluts ثلث) yang benar sering digunakan untuk menuliskan kalimat syahadat tauhid, seperti pada bendera Arab Saudi, Hamas, dan Barisan Pembebasan Islam Moro (beberapa contoh bendera yang tidak menggunakan warna hitam polos). Khat Sulus sering dijumpai menghias masjid-masjid dan naskah-naskah kitab kuno. Huruf-hurufnya yang berjejalan rapi, tebal-tipis yang berpatutan dan harakat-harakat dekoratifnya menciptakan kesan-kesan yang elegan dan nilai seni yang tinggi. Dipadukan dengan kalimat suci, kaligrafi ini lengkap baik dari sisi kebahasaan maupun kerupaannya. Akan tetapi, hal tersebut tampaknya belum cukup membuat semua golongan bersepakat dalam memaknainya.

Meskipun telah dilengkapi dengan kalimat suci dan tipografi yang apik, bendera tauhid sering berada pada konteks yang tidak ideal dan hal itu berulang kali dipaparkan ke hadapan awam. Secara pribadi, ketika membayangkan bendera tersebut, gambar-gambar yang terbayang di kepala saya adalah peperangan, konflik Timur Tengah, arak-arakan gerilyawan, dan keriuhan unjuk rasa; sukar rasanya menautkan simbol tersebut dengan kesan-kesan yang indah dan damai. Saya yakin, bukan saya sendiri yang mendapati hal serupa ini.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tanpa mempertimbangkan makna dari penggunaan aksara hijaiah itu sendiri yang mungkin tidak netral bagi sebagian orang (masyarakat Amerika Serikat mungkin was-was dengan tulisan Arab dan sebagian kalangan di Malaysia menolak huruf Jawi), bendera tauhid sebagai karya tipografi telah tertaut dengan sesuatu yang lain di luar makna lugasnya. Gerrit Willem Ovink pernah menjabarkan bagaimana tipografi pada kemasan parfum mampu membawa makna-makna ke luar aspek kebahasaan. Ia menjelaskan tiga hal: ikonisitas, alusi dan pengodean simbolik.

Ikonisitas (metafora) berbicara tentang bagaimana tipografi secara langsung memiliki kemiripan, baik kemiripan fisik maupun imajinatif, dengan sesuatu yang hendak diwakilinya. Jika Anda melihat bendera tauhid dengan bentuk kaligrafinya yang runcing-runcing, Anda akan terbayangkan kelopak bunga atau belati? Kuncup daun ataukah pedang? Pencitraan bendera tauhid lewat media arustama dll. yang telah memapar Anda selama ini akan memutuskan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sementara itu,  alusi (metonimi) berbicara tentang bagaimana tipografi terpaut pada gagasan-gagasan tertentu yang masih berhubungan dengan hal yang hendak diwakili. Jika Anda melihat bendera tauhid, gambaran apa yang lahir dari pengalaman tersebut, apakah Anda membayangkan gerakan damai ataukah gerakan yang membubarkan kedamaian? Yang terakhir, representasi simbolik berbicara tentang bagaimana rancangan tipografi tertentu disepakati kelompok masyarakat sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, tanpa memandang kemiripan (metafora) ataupun keterpautan dengan gagasan-gagasan lain (metonimi). Hal inilah yang kiranya paling genting dari kegemparan pembakaran bendera tauhid silam: tidak adanya kesepakatan antaranggota kelompok masyarakat tentang apa dan bagaimana itu bendera tauhid, yang didaku sebagai bendera agama Islam.

Saran
Dalam menengahi permasalahan pembakaran bendera tauhid yang ramai setahun lalu diperlukan rembukan yang matang antara kedua belah pihak. Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok afiliasinya seyogianya tidak cuci tangan dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bendera, sementara senantiasa mempromosikan panji-panji Ar-Rayah dalam pelbagai kesempatan. Keterikatan tanda yang kuat tentu tercipta di antara keduanya, antara bendera tersebut dan Hizbut Tahrir, serta gerakan-gerakan lainnya yang juga memanfaatkan bendera serupa. Sedangkan, apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota Banser juga tidak dapat dibenarkan, tindakan tanpa tenggang rasa tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kecerobohan yang menganggu keselarasan antaranggota masyarakat.

Kiranya jika memungkinkan, bendera Islam atau bendera tauhid perlu disepakati ulang oleh antarkalangan dalam masyarakat Islam secara umum, sehingga baik golongan HTI (atau eks-HTI) dan golongan Nahdlatul 'Ulama menemukan mufakat dalam mengiktirafkannya. Menimbang hadis yang meriwayatkan penggunaan bendera Ar-Rayah tidak menjelaskan apa-apa kecuali warnanya yang hitam, kreasi tipografi baru yang lebih netral dan modern untuk menuliskan kalimat syahadat pada bendera tersebut sangatlah memungkinkan. Tanpa mengubah makna harfiahnya, mungkin saja bendera Islam kelak dapat mengekor mode tipografi yang dipelopori Google, fontasi-fontasi nirkait geometris yang rapi, tawar, dan jernih; berusaha suci dari praduga makna.