Minggu, 22 Agustus 2021

Situasi Baybayin

Pada 24 Agustus 2020 silam, peremajaan terowongan lintas bawah pejalan kaki Lagusnilad di Manila, Filipina, dinyatakan selesai dan terbuka untuk umum. Pekerjaan ini merupakan bagian awal dari proyek besar penanggulangan banjir, gelandangan, dan keamanan di kawasan Lawton.

Sejumlah papan petunjuk dwiaksara di lintas bawah pejalan kaki Lagusnilad di Manila [sumber foto Justinne Punsalang].

Menariknya, selain dihiasi dengan beragam mural dan interior yang memukau, lintas bawah ini dilengkapi dengan papan petunjuk dwibahasa dan dwiaksara. Pemerintah Kota Manila memperkenalkan penggunaan salah satu aksara prapenjajahan Spanyol, yaitu aksara Baybayin ᜊᜌ᜔ᜊᜌᜒᜈ᜔, untuk menuliskan informasi berbahasa Tagalog di samping aksara Latin yang digunakan untuk menyajikan informasi berbahasa Inggris. Misalnya, LRT1 Central Station [bahasa Inggris beraksara Latin] didampingi LRT1 Sentrong Istasyon [bahasa Tagalog beraksara Baybayin] atau Manila City Hall [bahasa Inggris beraksara Latin] didampingi Bulwagan ng Lungsod ng Maynila [bahasa Tagalog beraksara Baybayin].

Langkah pelestarian dan pengenalan budaya keberaksaraan ini bukan yang kali pertama di Manila. Pada September 2019, deret aksara Baybayin serta gambar-gambar bersejarah ditempelkan pada kaca kereta LRT-1. Para pelaju Metro Manila dapat mempelajari aksara Baybayin kembali sambil menunggu stasiun pemberhentiannya.

Stiker edukatif beraksara Baybayin di jendela gerbong [sumber foto Inside Manila].

Kendati demikian, kebijakan ini bukan berarti mulus tanpa sanggahan. Baybayin adalah aksara turunan dari aksara Kawi yang digunakan secara luas di pulau Luzon untuk menuliskan utamanya bahasa Tagalog pada abad ke-16 dan 17, sebelum kemudian tergantikan oleh aksara Latin. Karena jarak zaman yang cukup jauh itu, sebagian masyarakat Manila menganggap Baybayin adalah sesuatu yang asing. Kritikan banyak berkutat pada segi kemanfaatan aksara Baybayin sendiri dalam kehidupan masyarakat Filipina modern. Fakta bahwa kebanyakan orang Manila saat ini sebenarnya tunaaksara Baybayin membuat masyarakat berpendapat bahwa papan tanda beraksara Baybayin tersebut tidaklah lebih dari sebuah pertunjukan belaka, tanpa ada kegunaan yang nyata. Dokumen hukum, buku-buku, tidak dicetak dalam aksara Baybayin. Lebih-lebih, aksara Latin yang kini dipakai dianggap lebih tepat dalam menuliskan bunyi bahasa daripada aksara Baybayin. Aksara Baybayin tidak membedakan karakter untuk bunyi E dan I, bunyi O dan U, dan bunyi D dan R, sehingga penggunaannya mungkin malah akan membingungkan pembaca.

Selain itu, Baybayin dianggap terlalu dipaksakan untuk mewadahi kepentingan nasionalisme yang Manila-sentris, Luzon-sentris, atau Tagalog-sentris; sementara mengesampingkan aneka aksara pribumi lain di sekujur Kepulauan Filipina. Melestarikan Baybayin seyogianya diimbangi dengan perhatian yang sama besarnya untuk aksara-aksara lain di Filipina, seperti aksara Kulitan di Pampanga, aksara Kurdita di Ilocos, aksara Hanunuo dan aksara Buhid di Mindoro, aksara Tagbanwa di Palawan Utara, aksara Basahan di Bikolandia, aksara Badlit di Bisaya, aksara Jawi di Sulu, dan aksara Kirim di Mindanao.

Meskipun begitu, sejumlah pihak mengampanyekan wacana bahwa Baybayin bukanlah istilah yang eksklusif, melainkan adalah istilah payung, sebuah hipernim, untuk segala bentuk aksara Brahmik di Kepulauan Filipina. Hal ini lantas membuat penyebutan aksara-aksara Filipina misalnya menjadi Baybayin Kulitan, Baybayin Badlit, dan Baybayin Hanunuo. Sementara itu, untuk menyebut Baybayin yang Baybayin digunakan istilah Baybayin Tagalog, yakni ragam yang paling banyak dipakai dan paling terkenal. Perluasan makna Baybayin ini menimbulkan kerancuan, sebab orang-orang pada umumnya mengenal hanya ada satu Baybayin, yakni yang dimiliki oleh masyarakat Tagalog, sedangkan aksara-aksara kerabatnya dianggap sebagai aksara yang terpisah yang masing-masingnya memiliki namanya sendiri. Upaya penyeragaman istilah ini berpotensi kembali mendapatkan bantahan dari pihak-pihak di daerah. Leo Emmanuel Castro, ketua lembaga swadaya masyarakat Sanghabi, menyarankan untuk menggunakan istilah payung yang lebih netral. “Suyat” dapat menjadi pilihan yang dianggap netral oleh masyarakat luas. Ia mengaku istilah “suyat” juga telah mendapatkan persetujuan dari para peserta Kongres Baybayin Internasional pada tahun 2018. Terlebih, istilah ini telah dikenal sejak lama di berbagai daerah dengan sebutan yang mirip-mirip: surat, suwat, dan sulat.

Rentetan kesengitan antara ibukota vs. daerah ini dapat ditelusuri hingga ke Keputusan Presiden No. 134 tahun 1937 yang menetapkan bahasa Tagalog sebagai bahasa nasional Filipina. Tidak seperti bahasa Melayu yang menjadi bahasa Indonesia, bahasa nasional Filipina ini tidak sepenuhnya berterima. Kecurigaan daerah terhadap agenda suku Tagalog sebagai suku dominan di Filipina selalu mengiringi berbagai perbincangan tentang kebijakan-kebijakan nasional. Pemerintahan yang sentralistik ini bahkan memiliki sebutannya sendiri, yakni Maynilang Imperyal atau Kekaisaran Manila. Sebutan satir ini digunakan untuk mengejek kekuatan ibukota yang mencengkeram sektor ekonomi, politik, dan budaya di Filipina, dengan menganaktirikan kepentingan-kepentingan daerah.

Politikus-politikus Tagalog bahkan telah mengajukan rancangan undang-undang untuk mengangkat aksara Baybayin sebagai aksara nasional Filipina. Hal ini memicu penolakan keras dari beragam kalangan khususnya dari suku-suku lain di Filipina, sehingga sampai sekarang usulan ini pun masih terganjal. Pelestarian Baybayin yang erat kaitannya dengan masyarakat Tagalog dianggap sebagai salah satu ancaman bagi kebinekaan budaya di Filipina. Mike Pangilinan, seorang budayawan Kapampangan, menolak penggunaan aksara Baybayin secara nasional dan mengusulkan untuk mempertahankan aksara Kulitan yang lebih tepat melambangkan bunyi bahasanya sendiri.

Konten media sosial untuk memperkenalkan nama-nama burung dalam bahasa Kapampangan dan aksara Kulitan oleh Ían Manálo Salénga [via Facebook Group Kulitan].

National Script Act of 2011 atau lebih umum dikenal dengan sebutan “Baybayin Bill” itu pun sesungguhnya tidak berusaha menggeser kedudukan mutlak aksara Latin di Filipina, melainkan hanya sekadar token atau representasi semu yang tidak memiliki fungsi nyata. Rancangan undang-undang ini hanya mewajibkan penggunaan aksara Baybayin untuk keperluan yang sangat terbatas:

  • Perusahaan makanan harus menyertakan alih aksara Baybayin untuk nama merek pada desain kemasan produknya.
  • Pemerintah pusat dan daerah diwajibkan untuk menyerkatan aksara Baybayin di papan nama perkantoran dan papan petunjuk jalan.
  • Koran dan majalah harus menyertakan alih aksara Baybayin untuk judul pada bagian kopnya.

Pada 2014, setelah mandengar beragam masukan dari para akademikus, seniman, dan budayawan, rancangan undang-undang ini pun direvisi dengan pendekatan yang lebih inklusif. Judul RUU yang sebelumnya berbunyi “Undang-Undang Pelindungan dan Konservasi Aksara Baybayin, serta Pernyataan Baybayin sebagai Aksara Nasional Filipina” dirombak menjadi “Undang-Undang Pelindungan dan Konservasi Seluruh Aksara Asli Filipina, serta Pernyataan Seluruh Aksara Abugida Asli secara Kolektif sebagai Aksara Nasional Filipina.” RUU ini juga menegaskan bahwa aksara-aksara abugida Filipina tidak lagi dikelompokkan dengan istilah payung “Baybayin”, melainkan “Aksara-Aksara Nasional Filipina”. Sebagai catatan, rancangan ini mengecualikan aksara turunan dari abjad Arab, yakni Jawi dan Kirim, yang dianggap asing. Walaupun tampak lebih egaliter, rancangan undang-undang ini masih membutuhkan banyak sokongan agar menjadi produk hukum yang nyata.

Di sisi lain, Baybayin Buhayin Inc., sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada advokasi pemajuan aksara Baybayin, terus menggiatkan penggunaan dan ekspresi aksara Baybayin untuk keperluan masa kini. Ketika silang pendapat soal penggunaan aksara Baybayin di Lagusnilad mengemuka, Baybayin Buhayin yang terlibat langsung dalam pembuatan papan tanda itu menyatakan bahwa mereka tidak ingin orang-orang melihat aksara Baybayin sebagai sesuatu yang kuno, melainkan sesuatu yang berguna, luwes, dan bisa beradaptasi untuk penerapan-penerapan modern.

Kiri: aksara Baybayin di uang kertas bertuliskan Pilipino [sumber Meshroom]. Kanan: halaman paspor keluaran 2016 bertuliskan Amsal 14:34. [sumber Wikimedia Commons].

Dukungan mereka bukanlah hal yang sia-sia. Pada kenyataannya, ekspresi aksara Baybayin di ruang publik Filipina semakin signifikan di taraf nasional. Bangko Sentral ng Pilipinas mengeluarkan uang kertas Peso dengan sedikit aksara Baybayin bertuliskan "Pilipino". Paspor keluaran terbaru Filipina juga menampilkan ayat Injil dalam aksara Baybayin di setiap halaman ganjilnya. Sejumlah lambang-lambang penting negara Filipina, seperti Komisi Sejarah Nasional Filipina [Pambansang Komisyong Pangkasaysayan ng Pilipinas], Perpustakaan Nasional Filipina [Aklatang Pambansa ng Pilipinas], dan Perpustakaan Nasional Filipina [Pambansang Museo ng Pilipinas], menampilkan sedikit aksara Baybayin.

Pengajaran aksara Baybayin di sekolah dasar [foto via Pinterest].

Peta papan tombol untuk aksara Baybayin dalam Windows. Ketersediaan aksara tradisional dalam gawai mutakhir memegang peran yang penting dalam upaya konservasi.

Aksara sebuah bangsa bukan harga mati. Sejarah telah menyaksikan banyak negara mengganti aksara nasional mereka: Korea meninggalkan aksara Honji, Turki meninggalkan aksara Hijaiah, negara-negara pecahan Soviet meninggalkan aksara Kiril. Meski identitas kefilipinaan belum juga selesai diperbincangkan oleh bangsa mereka sendiri, bukan suatu yang mustahil apabila suatu saat mereka berhasil meraih modal politik yang cukup untuk menghidupkan kembali aksara Baybayin, bukan sebagai hiasan belaka, melainkan aksara yang berfungsi seutuhnya, aksara yang hidup dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan zaman modern.

Selasa, 17 Agustus 2021

Lettergieterij Amsterdam di Batavia: Berkunjung ke Grafische Tentoonstelling

Pada 1941, Lettergieterij „Amsterdam” voorheen N. Tetterode (klik untuk membaca tulisan sebelumnya) cabang Batavia/Jakarta mengadakan pameran grafis, produk periklanan, dan alat-alat percetakan. Kita beruntung dokumentasi mengenai acara ini dapat kita akses secara bebas melalui situs Digital Collections, Perpustakaan Universitas Leiden. Mari kita berkunjung ke masa lalu dan melihat-lihat apa saja yang dipamerkan dalam acara ini.

Para pengunjung menyimak pidato (mungkin pidato pembukaan pameran).

Suasana pameran, terlihat banyak poster ditempelkan di dinding. Naraäksara berhasil mengenali beberapa poster yang dipamerkan dan akan menampilkan beberapa di bawah ini.

Kiri: Poster promosi KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda yang pernah berpusat di Batavia [sumber Mad on Collections]. Kanan: Poster iklan Planta Margarine (tidak ditemukan versi berwarnanya) [sumber Desain Grafis Indonesia].

Iklan promosi pariwisata Hindia Belanda untuk Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Poster See Java menggunakan gambar candi (mungkin Candi Prambanan) dan siluet patung Buddha [sumber gambar Pinterest], sedangkan poster See Sumatra menggunakan gambar tarian perang Nias, Fataele [sumber gambar Pinterest].

Kiri: Poster iklan untuk Kris Bier menampilkan gambaran keris dan segelas bir [sumber gambar Pinterest]. Kanan: Iklan obat kina dengan bahasa dan aksara Jawa berbunyi, "Umur kula panjang, sabab salaminipun nedha tablèt Kinine. Jampi sakit malaria(h) lan inpluènsa(h)." Perusahaan tertera N.V. Bandoengsche Kininefabriek [sumber gambar Eka Angkasawan].

Kiri: Poster pariwisata Bali dengan gambaran Sasolahan Calonarang yang menampilkan sesosok Rangda dan seorang penari. Kanan: Beberapa poster lainnya yang belum teridentifikasi.

Sejumlah produk cetak yang juga dipamerkan: terlihat kartu ucapan, kalender, brosur, dan label.
Foto bersama di depan gedung pameran.

Jumat, 13 Agustus 2021

Lettergieterij Amsterdam di Batavia: Sepintas Lalu

Indonesia, meski memiliki banyak aksara asli, setia menggunakan aksara Latin dalam segala urusan literasinya, mulai dari label informasi nilai gizi hingga baliho raksasa di jalan raya. Di pentas Asia, Afrika, dan Eropa, hal ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna aksara Latin terbesar. Sementara itu, jika diukur dari seluruh negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Aksara daerah, seperti aksara Jawa, Sunda, dan Bugis, memegang peran yang sangat terbatas, tetapi tidak bisa dikatakan hilang sama sekali.

Sebagai pasar aksara yang besar dan, sampai pada titik tertentu, beragam, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Salah satu titik yang layak untuk disorot adalah ketika sejumlah perusahaan percetakan didirikan di Hindia Belanda. Pada paruh kedua abad ke-19, puluhan surat kabar terkemuka lahir di berbagai kota besar di Hindia Belanda dengan mutu cetakan yang semakin baik dan bahasa yang bermacam-macam. Pada tahun 1870 saja, terdapat setidaknya 107 percetakan di seluruh Hindia Belanda (Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1995:207-208). Besarnya industri penerbitan dan percetakan di tanah air ini membuka kesempatan bagi pemasok mesin cetak dan desain huruf Eropa untuk memasarkan dagangannya di Hindia Belanda.

Peti-peti kiriman bertuliskan Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode tiba di pelabuhan Batavia/Jakarta [gambar via Librariana].

Peluang ini telah dilihat sendiri oleh Tetterode, pendiri Lettergieterij Amsterdam, ketika melawat ke negeri jajahan, Hindia Belanda, dan negeri-negeri lainnya di Asia. Lettergieterij Amsterdam atau lengkapnya Lettergieterij „Amsterdam” voorheen N. Tetterode adalah perusahaan huruf (type foundry) kenamaan Belanda yang menjadi salah satu dari dua pemain besar dalam industri desain huruf Belanda dengan Koninklijke Joh. Enschedé sebagai pesaingnya. Kemudian Lettergieterij Amsterdam di samping memproduksi beragam desain huruf aksara Latin, juga merancang berbagai desain huruf untuk menuliskan bahasa-bahasa di Timur: Tionghoa, Jepang, Jawa, Bugis-Makassar, Arab-Melayu, hingga Batak. Hal ini lantas menjadi suatu keahlian yang dikenal baik dari perusahan tersebut. Permintaan dari Landsdrukkerij di Batavia pun berhasil mereka dapatkan. Banyak percetakan-percetakan di Nusantara mendapat pasokan mesin cetak dari Lettergieterij Amsterdam. Salah satunya yang tercatat adalah Bali Simbunsya yang kini menjadi PT. Percetakan Bali dan Sekolah Tehnik Percetakan (Grafische School) Malang yang kini menjadi SMK Negeri 4 Malang.

Buku Proeven van Oostersche Schriften yang berisikan cetak pruf aksara-aksara Timur, di antaranya Tionghoa, Koptik, Ibrani, Makassar, dan Mandailing [gambar via British Library].
 

Ketampakan halaman 109 dari spesimen huruf oleh Lettergieterij „Amsterdam” voorheen N. Tetterode, 1910 [foto via Alphabettes].

 

Contoh cetakan untuk aksara Arab-Melayu [gambar via British Library] dan Batak Toba [gambar via European Collections] bikinan Lettergieterij Amsterdam.

Contoh cetakan aksara Jawa dan Tionghoa bikinan Lettergieterij Amsterdam [gambar via Wikimedia Commons].

Pada 1919, Lettergieterij Amsterdam membuka anak perusahaan di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Jakarta merupakan satu-satunya cabang dari perusahaan ini di luar negara-negara Barat: Brussel (Belgia), New York (Amerika Serikat), dan Paris (Perancis). Meskipun demikian, hanya cabang Brusselnyalah yang memiliki alat produksi huruf sendiri, cabang lainnya berperan dalam lingkup perdagangan saja. Berselang beberapa tahun, cabang Surabaya juga dibuka sebagai perpanjangan anak perusahaan di Batavia. (Middendorp, 2004:86; Lane dan Lommen, 1998:33).

Buku tentang alat dan bahan penjilidan, di sampul menyebut beberapa cabang Lettergieterij Amsterdam: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, Batavia (Jakarta) dan Surabaya [gambar dari Koleksi Barang Djadoel].

Beberapa huruf keluaran Lettergieterij Amsterdam yang mungkin pernah populer di Indonesia, dicuplik dari artikel Grafika (Tjetak-mentjetak) oleh J. K. Nelwan, Mimbar Penerangan edisi Februari 1952.

Keadaan mulai berubah ketika Indonesia meraih kemerdekaan. NV Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode pada 1957 dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia dan berubah nama menjadi PT Lettergieterij Amsterdam v/h Tetterode (Djojohadikusumo, 1972:228). Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara Sinar Bhakti, perusahaan Lettergieterij Amsterdam dilebur ke dalam PN Sinar Bhakti bersama empat perusahaan lainnya. Pada 1964, perusahaan ini dibubarkan dan dialihkan menjadi PN Dharma Niaga. Memasuki era Orde Baru, pada 1970, perusahaan ini berubah bentuk menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Dharma Niaga. Penggabungan perusahaan kembali terjadi pada tahun 2003, PT Dharma Niaga, PT Tjipta Niaga, dan PT Pantja Niaga dilebur di bawah satu nama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia yang eksis hingga saat ini.

Kiri: Gedung Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode di Batavia pada 1941 ketika menyelenggarakan pameran grafis [foto oleh KITLV]. Kanan: PT PPI, Jl. Abdul Muis, Jakarta, 2017 [foto oleh Bintoro Hoepoedio].
DAFTAR PUSTAKA
  • Djojohadikusumo, Sumitro. 1972. Kebidjaksanaan di bidang ekonomi perdagangan. Jakarta: Jajasan Penjuluh Penerangan Perdagangan.
  • Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1995. Almanak Grafika Indonesia 1995.
  • Middendorp, Jan. 2004. Dutch Type. Rotterdam: 101 Publishers
  • Lane, John A., dan Mathieu Lommen. 1998. Dutch typefounders’ specimens. Amsterdam: De Buitenkant