Rabu, 30 Maret 2022

Lima Rumpun Aksara Nusantara


Aksara Latin adalah aksara utama di seluruh kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Filipina, telah beralih dari aksara lokal ke aksara Latin pada zaman penjajahan bangsa Eropa. Hal itu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan saudari-saudari mereka di kawasan Asia Tenggara Daratan. Mulai dari Myanmar hingga Thailand (kecuali Vietnam) berhasil tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan aksara leluhur hingga sintas ke zaman modern. Walaupun demikian, fakta ini janganlah membuat kita lupa tentang keberadaan aksara-aksara asli yang pernah atau masih bertahan di kawasan Asia Tenggara Kepulauan, khususnya di Indonesia dan Filipina.

Aksara-aksara asli di kawasan Asia Tenggara Kepulauan ini dapat dikelompokkan menjadi sejumlah keluarga atau rumpun berdasarkan kemiripan dan kedekatan sejarah. Secara kolektif, aksara-aksara ini sering disebut sebagai “Aksara Nusantara” oleh orang Indonesia yang keseluruhannya diturunkan dari aksara pendahulunya, yakni aksara Kawi. Uli Kozok dalam buku Warisan leluhur: sastra lama dan aksara Batak membagi aksara-aksara Nusantara tersebut menjadi lima rumpun, yakni rumpun Carakan, rumpun Kaganga, rumpun Batak, rumpun Lontara, dan rumpun Filipina.

Rumpun Carakan
Rumpun aksara Carakan—juga dikenal dengan nama Hanacaraka—digunakan untuk menulis sejumlah bahasa di bagian selatan Indonesia, khususnya di wilayah sekitaran pulau Jawa dan pulau Bali. Hanacaraka diambil dari deret lima huruf pertama dalam aksara ini, yang secara harfiah bermakna ana caraka alias “ada utusan.”

Saat ini terdapat dua bentuk baku dari rumpun aksara Carakan, yaitu aksara Jawa dan aksara Bali. Keduanya telah terdaftar dalam Unicode. Aksara Jawa digunakan untuk menulis bahasa Jawa (sebagai aksara Jawa), bahasa Madura (sebagai Carakan Madhurâ), bahasa Cirebon (sebagai Carakan Cirebon), dan bahasa Sunda (sebagai Cacarakan Sunda). Untuk bahasa Sunda, penggunaan Cacarakan Sunda sudah jarang dijumpai karena aksara Sunda Baku sudah digunakan secara meluas dan menggantikannya. Selain bahasa-bahasa itu, bahasa Tengger dan bahasa Osing juga bisa ditulis menggunakan aksara Jawa. Sementara, aksara Bali umum digunakan untuk bahasa Bali dan bahasa Sasak di Lombok. Orang Sasak menyebut aksara ini sebagai aksara Jejawan Sasak, walaupun secara bentuk lebih mirip dengan aksara Bali saat ini.

Rumpun Kaganga
Rumpun aksara Kaganga digunakan secara meluas di bagian selatan Pulau Sumatra, yakni dalam wilayah provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Kaganga diambil dari deret tiga huruf pertama dalam aksara-aksara Kaganga. Aksara dalam rumpun ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, sehingga dari satu daerah ke daerah lain mungkin memiliki sedikit perbedaan rupa huruf dan gaya penulisan. Meskipun demikian, garis besar rancangan aksara ini masih bisa terlihat di kesemua ragamnya.

Tiga aksara yang paling umum dikenal dari rumpun aksara Kaganga adalah aksara Lampung, aksara Rejang, dan aksara Incung. Aksara Lampung digunakan untuk menuliskan bahasa Lampung yang dituturkan di provinsi Lampung. Sementara itu, aksara Rejang digunakan untuk menuliskan bahasa Rejang yang dituturkan di sebagian wilayah Bengkulu dan Sumatra Selatan. Aksara Incung digunakan untuk menuliskan bahasa Kerinci dan bahasa Melayu yang dituturkan di provinsi Jambi. Sebagian dari naskah Melayu tertua yang dikenal dengan nama Naskah Tanjung Tanah juga mengandung aksara Incung. Di luar ketiganya, terdapat banyak ragam aksara lainnya yang memiliki sedikit perbedaan dan dikenal dengan namanya sendiri, seperti aksara Ogan, aksara Komering, aksara Besemah, dan lain-lain. Upaya menyeragamkan dan membakukan aneka ragam aksara dalam rumpun Kaganga ini mungkin saja bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan dengan aksara Batak. Sejauh ini, dari keseluruhan ragam tersebut, hanya aksara Rejang yang telah terdaftar dalam Unicode, sehingga ragam aksara Rejang menjadi lebih dikenal di mayantara.

Rumpun Batak
Rumpun aksara Batak sejatinya memiliki lima ragam aksara, yakni aksara Toba, aksara Angkola-Mandailing, aksara Simalungun, aksara Pakpak-Dairi, dan aksara Karo. Akan tetapi, kelimanya kini telah dibakukan menjadi satu dan berhasil didaftarkan ke Unicode di bawah satu nama persatuan, yaitu “aksara Batak”. Walau didaftarkan dalam satu payung, keunikan masing-masing aksara (misalnya variasi bentuk) tetap dipertahankan. Upaya penyeragaman ini barangkali memiliki peluang yang lebih besar daripada rumpun Kaganga karena gaya penulisan atau tipografinya cukup seragam.

Aksara-aksara Batak digunakan untuk menuliskan seluruh rumpun bahasa Batak, kecuali bahasa Alas. Orang-orang Alas kemungkinan telah lama memeluk agama Islam dan menggantikan aksara Batak dengan aksara Arab Melayu. 

Rumpun Lontara
Rumpun aksara Lontara terbentang dari daerah Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Nusa Tenggara. Namanya diambil dari media tulis daun lontar yang juga biasa dijumpai di pulau Jawa atau Bali untuk menuliskan tuturan sejarah, agama, atau karangan lainnya. Rumpun aksara ini memiliki dua ragam utama, yakni aksara Makassar (disebut juga dengan Jangang-jangang) dan aksara Bugis. Akan tetapi, aksara Makassar telah lama ditinggalkan sejak abad ke-19 bahkan oleh orang-orang Makassar sendiri. Mereka kemudian ikut menggunakan aksara Bugis untuk menuliskan naskah-naskah berbahasa Makassar. Saat ini, aksara Makassar lebih lazim disebut aksara Makassar Kuno untuk membedakannya dengan aksara Bugis yang dianggap lebih baru. Aksara Lontara lantas bersinonim dengan aksara Bugis yang digunakan meluas di Sulawesi Selatan untuk menuliskan bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa Mandar.

Aksara Lontara juga diperkenalkan hingga ke luar daerah Sulawesi Selatan. Kemungkinan pengetahuan tentang aksara ini terbawa oleh para saudagar di pelabuhan-pelabuhan Nusa Tenggara. Hubungan ini menghasilkan tertularnya budaya tulis-menulis ke pulau Sumbawa dan Flores. Ragam turunan dari aksara Lontara di Sumbawa terbagi menjadi dua, yaitu aksara Satera Jontal yang lebih bersudut untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan aksara Mbojo yang lebih membulat untuk menuliskan bahasa Bima/Mbojo. Di pulau Flores, aksara Lontara menurunkan aksara Lota yang digunakan untuk menuliskan dua bahasa yang berhubungan erat, yaitu bahasa Ende dan bahasa Li’o. Tiga ragam Lontara di Nusa Tenggara ini pada umumnya mempertahankan rancangan khas masing-masing sekalipun dapat dikatakan masih satu kesatuan dengan aksara Lontara Sulawesi Selatan. 

Rumpun Filipina
Sesuai namanya, rumpun aksara Filipina dapat ditemukan di Kepulauan Filipina. Ada kalanya, nama Baybayin atau Suyat digunakan sebagai istilah yang lebih lokal untuk memayungi seluruh aksara-aksara dalam rumpun ini. Sebagai catatan, Baybayin mungkin dapat dianggap tidak seinklusif nama Suyat (bandingkan dengan istilah ‘surat’ dalam bahasa Indonesia) karena terlalu condong pada kebudayaan tertentu. Sedangkan Suyat lebih sering digunakan untuk menyebut seluruh aksara historis non-Latin di Filipina, termasuk ke dalamnya aksara berbasis abjad Arab.

Anggota aksara dalam rumpun ini antara lain aksara Baybayin, aksara Kulitan, aksara Haninu'o, aksara Buhid, dan aksara Tagbanwa. Aksara Baybayin seringkali digunakan sebagai istilah yang melingkupi beberapa aksara yang dianggap berasal dari satu sumber yang sama, yakni aksara Kurditan, Basahan, Badlit, dan yang paling dikenal yaitu aksara Baybayin Tagalog. Aksara Baybayin Tagalog adalah ragam paling dikenal dan paling sering terlihat karena digadang-gadang pemerintahannya sebagai aksara nasional. Kesemuanya ini dipercaya diturunkan dari aksara Kawi sebagaimana empat rumpun aksara lain yang ditemukan di Indonesia. Bukti-bukti penggunaan aksara Kawi pada masa lampau di Kepulauan Filipina dapat dilihat pada prasasti Lempengan Tembaga Laguna dan stempel gading Butuan.

Rumpun aksara Filipina ragam Baybayin disebut pernah digunakan di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Bolaang Mongondow. Meskipun benar bahasa Bolaang Mongondow merupakan rumpun bahasa Filipina, tetapi belum pernah ada bukti naskah atau bukti bendawi lainnya yang dapat mengonfirmasi penggunaan aksara Baybayin di wilayah penutur Bolaang Mongondow.

Jumat, 11 Februari 2022

Belajar Aksara Mbojo

Di bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, terdapat salah satu suku yang bahasanya memiliki aksara tersendiri. Suku tersebut adalah suku Bima, atau orang setempat lebih mengenalnya dengan istilah Dou Mbojo. Suku Mbojo utamanya menduduki daerah Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Nama “Bima” sendiri sebenarnya adalah sebutan yang disematkan oleh orang luar kawasan Mbojo untuk penduduk di daerah tersebut. Sebutan ini kemudian menjadi lebih terkenal dan digunakan hingga saat ini.

Aksara Mbojo bisa dibilang adalah aksara yang tengah dilestarikan kembali, setelah sempat terlupakan oleh masyarakat Mbojo selama beberapa abad. Aksara Mbojo utamanya digunakan untuk menulis bahasa Bima atau Nggahi Mbojo sekiranya sejak abad ke-14. Aksara ini merupakan penyesuaian dari aksara Lontara yang diperkenalkan oleh orang-orang dari Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Bima mulai memeluk Islam dan berubah menjadi kesultanan, penggunaan aksara Mbojo diganti menjadi aksara Arab-Melayu, yang puncaknya terjadi pada pertengahan abad ke-17. Semenjak itu, naskah-naskah berbahasa Melayu juga mulai menggeser penggunaan bahasa Mbojo sebagai bahasa pernaskahan kesultanan (Prasetya, 2022:112).

Berkenalan Kembali dengan Aksara Mbojo
Aksara Mbojo adalah aksara berjenis abugida, yakni aksara yang menuliskan bunyi bahasa berdasarkan suku kata. Setiap suku katanya terdiri dari satu aksara dasar yang umumnya membawa huruf mati dan aksara sandang yang umumnya membawa huruf hidup. Oleh karena itu, aksara Mbojo pada dasarnya bekerja dengan cara yang sama dengan aksara-aksara tradisional lainnya di Indonesia, seperti aksara Batak, Bali, Jawa, dan khususnya aksara Lontara Bugis. Kesemuanya itu ditulis dari kiri ke kanan dan secara tradisional tidak mengenal tanda spasi.

Aksara Mbojo tidak mengenal huruf ki /q/, ve /v/, eks /x/, dan zet /z/. Jika suatu kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya memiliki huruf ki, maka aksara yang akan digunakan adalah huruf ka /k/; sedangkan jika terdapat huruf zet, maka akan diubah menjadi huruf je /j/.

Aksara Dasar
Beberapa aksara dasar dapat dibaca dengan dua ragam pembacaan, yakni /ba/ dan /mba/, /da/ dan /nda/, /ga/ dan /ngga/. Sebagai contoh, Nggahi Mbojo (berarti ‘bahasa Bima’) ditulis dengan ga-hi bo-jo. Oleh sebab itu, seseorang harus memahami bahasa Mbojo terlebih dahulu untuk dapat mengucapkan secara tepat tiap aksara sesuai konteksnya.

Untuk menuliskan bunyi /i/, /u/, /e/, dan /o/, dapat menggunakan huruf /a/ dengan tambahan aksara sandang yang sesuai bunyi masing-masing.

Aksara Sandang
Aksara sandang adalah lambang-lambang khusus yang ditambahkan pada aksara dasar untuk menambahkan atau mengubah bunyi. Semua aksara dasar secara otomatis telah mengandung bunyi /a/ jika tidak ditambahkan lambang sandang tertentu.

Lambang lingkaran di atas atau di bawah berfungsi untuk mematikan huruf hidup, sehingga huruf /ka/ dengan lingkaran di atas menjadi huruf /k/ saja. Sementara itu, lambang mirip burung yang diletakkan di bawah aksara berfungsi untuk menggandakan konsonan. Sebagai contoh, kata tawakkal  ditulis dengan penggandaan pada huruf /ka/ dan pemati pada huruf /la/.

Lambang adalah lambang ulang yang berfungsi untuk mengulang suku kata atau keseluruhan kata sebelumnya. Lambang ini kemungkinan berasal dari lambang serupa dalam aksara Jawa pangrangkep yang berasal dari angka dua dalam aksara Arab /٢/. Contoh penggunaan mengulang keseluruhan kata, ulama-ulama ditulis . Contoh penggunaan mengulang suku kata (tanpa membawa aksara sandang), rora  atau bebe .

Tanda Baca
Aksara Mbojo mengenal setidaknya empat tanda baca. Titik dua dan titik tiga berfungsi kurang lebihnya seperti koma atau titik pada aksara Latin yang memisahkan antara satu kalimat/frasa dengan kalimat/frasa yang lain. Sementara itu, titik dua garis berfungsi sebagai pengakhir kalimat. Pendapat lain menyatakan bahwa titik dua garis berfungsi untuk menandai akhir alinea (kumpulan kalimat). Tanda akhir bagian yang berbentuk seperti ketupat berfungsi untuk menandai akhir dari bagian tulisan atau akhir dari keseluruhan tulisan.


Berikut beberapa contoh penggunaan aksara Mbojo untuk menjelaskan nama-nama peralatan dapur dalam bahasa Mbojo berserta artinya dalam bahasa Indonesia.

 
Aksara Mbojo Hari ini
Saat ini aksara Mbojo mulai dihidupkan kembali melalui beragam program, baik oleh pemerintah maupun kegiatan swadaya masyarakat, mulai dari diterbitkannya buku mengenai warisan aksara Mbojo, bimbingan teknis aksara Mbojo di kalangan pemerintahan dan tenaga pendidikan, perlombaan menulis dalam aksara Mbojo, penulisan aksara Mbojo (diserta aksara Arab-Melayu) di plang-plang jalan di Kota Bima, serta juga rencana untuk memasukkan aksara Mbojo dalam kurikulum lokal di sekolah.

Kiri: Plang tiga aksara di Kota Bima, menampilkan aksara Latin di paling atas, aksara Jawi-Melayu di tengah dan aksara Mbojo di paling bawah [sumber Facebook Tanao Aksara Mbojo Bima]. Kanan: Aksi vandalisme orang tidak bertanggung jawab mencoret bagian aksara Mbojo pada 2022 [sumber Facebook Dewi Ratna Muchlisa].

Meskipun demikian, tidak semua kalangan menyukai gerakan pelestarian ini. Sebagian kalangan mempunyai sentimen negarif terhadap gerakan penghidupan kembali aksara Mbojo ini; bahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja mencoret aksara Mbojo pada sejumlah plang-plang jalan yang sudah terpasang. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi segenap masyarakat Mbojo agar dapat menghargai warisan budaya dengan lebih adil.

Catatan Kaki
Prasetya, Sukma Pedana, dkk. 2022. Geografi Kesejarahan Indonesia. Lakeisha.
Abubakar, Syukri. Aksara Bima Usaha Menemukenali dan Mengembangkannya.


Jumat, 07 Januari 2022

Kesalahan Umum dalam Merancang Desain Dwibahasa

Umumnya masyarakat Indonesia mampu berbicara dalam dua atau tiga bahasa, yakni bahasa daerah tempat mereka tumbuh, bahasa Indonesia yang dipelajari lewat sekolah dan media massa, serta tambahannya ialah bahasa asing, entah itu bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Kenyataan ini sedikit banyak juga tercermin dalam bahasa tulis, sehingga contoh-contoh kedwibahasaan—atau ketribahasaan—dalam dunia desain grafis Indonesia juga tak jarang dijumpai.

Sebuah persoalan kemudian muncul ketika seorang desainer grafis dihadapkan dengan permintaan desain yang harus tersedia dalam dua atau tiga bahasa. Tentu permintaan ini bukanlah permintaan biasa yang umumnya hanya terdiri dari satu bahasa saja, mungkin hanya bahasa Indonesia atau hanya bahasa Inggris. Banyak desainer grafis kemudian memperlakukan tulisan yang berbeda bahasa ini selayaknya suatu bahasa yang sama. Hal ini bisa jadi memunculkan rancangan-rancangan yang wagu dan kurang sedap dibaca. Sejumlah kesalahan umum yang dilakukan dalam merancang desain dwibahasa dan bagaimana kiat menghindarinya akan diuraikan dalam paparan-paparan kilat berikut.

Menggunakan Tanda Kurung
Sebagian desain grafis menggunakan tanda kurung atau tanda baca lainnya (biasanya tanda miring / atau tanda pisah -) untuk menyekat bahasa kedua, sehingga terlihat terpisah dari bahasa utama. Hal ini merupakan kesalahan lumrah yang barangkali terbawa dari kebiasaan-kebiasaan penulisan dokumen. Atau, desainer grafis melihat permintaan desain dengan tulisan isi yang masih mentah menggunakan tanda kurung tersebut. Lantas ia meneruskan penggunaannya pada media desain yang lain untuk keperluan pampangan (display) yang sesungguhnya mempunyai kebiasaan tata letak agak berbeda. 

Kiri: Gerbang keberangkatan Bandara Halim Perdana Kusuma via BeritaTrans. Kiri: Gerbang Keberangkatan Bandara Lombok via Detik.
Untuk menunjukkan bahwa kedua tulisan adalah bahasa yang berbeda, cara yang bisa ditempuh cukup sebatas pemberian ruang kosong di antaranya keduanya, pembedaan letak, pembedaan gelap-terang yang halus, pembedaan warna, atau pembedaan format tipografi tulisan. Garis tipis kadang juga bisa dimanfaatkan untuk memberi jarak yang jelas antarbahasa. Hal ini utamanya penting untuk pembuatan papan tanda yang bersifat kedaruratan yang butuh dibaca dengan cepat; juga ketika kedua bahasa yang ditampilkan menggunakan aksara yang sama, misalkan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda sama-sama menggunakan aksara Latin.

Tidak Menampilkan Hubungan Antarbahasa yang Sesuai
Menampilkan bahasa-bahasa yang berbeda pada sebuah bidang desain biasanya terkikat oleh peraturan tertentu, baik dalam tingkat nasional maupun regional. Desainer grafis umumnya harus memproduksi rancangan yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Kiri: Plang Bank BRI di Bali. Kanan: Papan nama toko KFC di Brunei.
Menampilkan Jenjang
Banyak negara yang memiliki bahasa-bahasa yang beraneka ragam memiliki aturan bahasa yang ketat. Sebagai contoh di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia untuk keperluan iklan, papan tanda dll. yang dapat didampingi dengan kehadiran bahasa daerah atau bahasa asing, sehingga kehadiran materi desain dalam bahasa daerah atau bahasa asing saja menjadi tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Di Brunei Darussalam, aksara Jawi wajib dicantumkan di papan tanda, plang toko, dll. dalam ukuran yang lebih besar daripada aksara Latin, dengan warna yang lebih jelas daripada aksara Latin dan diletakkan di atas aksara Latin. Hal ini seakan hendak mengukuhkan kedudukan bahasa Melayu-Jawi di atas bahasa asing Inggris-Latin. Hal itu memiliki kemiripan dengan peraturan daerah di Bali yang mewajibkan penggunaan serta peletakan aksara Bali di atas aksara Latin pada papan nama kantor dan fasilitas umum, sekalipun ukuran tulisan masih bisa dikompromikan selama masih tampak berimbang satu sama lain.

Menampilkan Kesetaraan
Ada kalanya, bahasa-bahasa dalam suatu wilayah diatur agar memiliki kedudukan yang kurang lebih setara, seperti bagaimana kebijakan bahasa Singapura (bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Tamil, dan bahasa Tionghoa) atau kebijakan bahasa Selandia Baru (bahasa Inggris dan bahasa Maori). Kesetaraan ini juga harus diwujudkan dalam desain grafis. Pengaturan format teks yang berbeda akan menimbulkan kesan bahwa salah satu bahasa dianggap lebih unggul daripada bahasa yang lain. Misalnya, orang akan menganggap suatu desain tidak adil jika pilihan bahasa Inggris dicetak tebal (sehingga lebih menonjol), sedangkan pilihan bahasa Maori dicetak tipis (sehingga kurang menonjol). Hal itu bisa dianggap mengisyaratkan adanya upaya mengesamping hak ekspresi kebudayaan suatu komunitas di atas komunitas lainnya. Oleh sebab itu, kedua tampilan bahasa harus diformat secara sama baik dari segi ukuran, gelap-terang, pemilihan fontasi, dll. bahkan penataan teks yang direkomendasikan ialah secara sejajar menyamping, bukan menurun. 

Masalah Keterbatasan Area Rancangan
Salah satu momok dalam mendesain sesuatu adalah keterbatasan area rancangan. Desainer grafis perlu mencoba-coba berbagai cara untuk memberikan titik temu paling masuk akal antara permintaan desain, luas area rancangan, dan konsistensi dari keseluruhan gaya dan gagasan desain. Banyak contoh desain yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari telah mengorbankan salah satu unsurnya sehingga tampak kurang memanjakan mata. Satu yang paling umum adalah ‘menggeprek’ teks demi mengepaskan tulisan dengan area rancangan yang tersedia sehingga proporsi bawaannya menjadi penyok tidak keruan.



Setidaknya terdapat tiga unsur yang patut Anda seimbangkan ketika merancang desain multibahasa: (1) tulisan isi dari permintaan desain, (2) luas area rancangan yang tersedia, dan (3) konsistensi terhadap gaya desain. Upaya-upaya yang mungkin bisa ditempuh ketika menjumpai permasalahan keterbatasan ini berangkat pada tiga unsur tersebut dan pemilihan unsur apa yang paling masuk akal untuk ‘dikorbankan’ alias dikompromikan.

Perbedaan Gaya Fontasi Antaraksara
Ketika bekerja dengan desain dwibahasa, tak jarang kita berhadapan dengan desain dwiaksara pula. Desainer-desainer grafis di Yogyakarta dan Bali mungkin lebih berpengalaman berhadapan dengan rancangan dwiaksara ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia, sebab penggunaan kembali aksara Jawa dan aksara Bali sedang digencarkan.

Salah satu contoh papan peringatan yang baik dengan masing-masing aksaranya (Latin-Tionghoa-Tamil) memiliki gaya yang setipe, yaitu berkesan modern, tanpa kontras atau ciri-ciri kaligrafis. Walaupun mungkin beberapa tulisan tampak sedikit penyet.
Satu hal yang mungkin menjadi sandungan ketika melakukan rancangan-rancangan dwiaksara adalah tidak adanya banyak gaya yang tersedia untuk aksara-aksara daerah. Satu contoh saja, di Bali terdapat banyak materi dwiaksara. Tulisan bahasa Indonesia beraksara Latin banyak dicetak dalam fontasi bergaya nirkait, sebut saja Helvetica, yang mampu memberikan kesan modern, tetapi fontasi aksara Bali kebanyakan hanya tersedia dalam gaya kaligrafisnya saja sehingga ketika keduanya dipadukan visualnya terasa sedikit timpang. Seakan-akan bahasa yang beraksara Latin pembawa kemodernan dan aksara Bali tetap tinggal di dunia tradisi. Hal itu sah-sah saja jika memang ingin memberi kesan etnik dengan menyorot identitas adat dan kesenian turun-temurun. Akan tetapi, jika digunakan untuk reklame rumah makan cepat saji kekinian atau papan nama perkantoran, tentu ada keputusan desain yang lebih baik daripada itu. Untung saja dalam satu dasawarsa ini, semakin banyak fontasi bergaya modern yang lahir, misalnya Noto Sans Balinese generasi kedua, dan boleh digunakan oleh sesiapa saja.

Komputer Tidak Mendukung Aksara Tertentu
Tentu tofu—alias tahu—lambang 􏿮 adalah mimpi buruk bagi mereka yang mendesain dwiaksara, atau sekedar sama-sama aksara Latin tetapi menggunakan diakritik khusus seperti â (a caping) dalam bahasa Madura atau ŵ (w caping) dalam bahasa Nias. Lambang tersebut berarti fontasi yang digunakan tidak memiliki karakter atau aksara tersebut. Oleh karena itu, seorang desainer juga harus memberikan perhatian dalam proses cetak atau pembuatan materi dwibahasa, apakah tulisan-tulisan khususnya akan dikerjakan dengan tepat di tempat percetakan.