Selasa, 19 April 2022

25 Pepatah Jawa dengan Arti dan Aksara Jawa I

Pepatah dan peribahasa Jawa adalah salah satu bentuk warisan budaya yang kaya dan mendalam dari budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah Jawa sering digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran, pengalaman, dan nilai-nilai kebijaksanaan yang telah tertanam di antara masyarakat Jawa. Melalui pepatah dan peribahasa, banyak kearifan lokal yang mampu menawarkan pandangan tentang kehidupan, kesusilaan, hubungan antarmanusia, serta keterhubungan manusia dengan alam dan kehidupan sekitarnya. Berikut 25 pepatah dan peribahasa Jawa beserta arti dan tulisan dalam aksara Jawa-nya.


꧋ꦲꦝꦁ​​ꦲꦝꦁ​​ꦠꦺꦠꦺꦱ꧀ꦱꦺ​ꦲꦼꦩ꧀ꦧꦸꦤ꧀꧉​

Adhang-adhang tètèsé embun.
Menunggu tetesnya embun.
— Menunggu datangnya sesuatu yang sedikit.


꧋ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦢꦶꦫꦶ​ꦢꦸꦩꦸꦤꦸꦁ​​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦭꦛꦶ꧈​​ꦲꦗꦶꦤꦶꦁ​​ꦫꦒ​ꦲꦤ​ꦲꦶꦁ​​ꦧꦸꦱꦤ꧉​

Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.
Nilai diri berada pada bibir, nilai badan berada pada pakaian.
— Kehormatan diri seseorang bergantung pada pada tutur katanya, kehormatan badan/ragawi seseorang bergantung pada pakaiannya/penampilannya.


꧋ꦲꦭꦁ​​ꦲꦭꦁ​​ꦢꦸꦢꦸ​ꦲꦭꦶꦁ​​ꦲꦭꦶꦁ​꧉​

Alang-alang dudu aling-aling.
Halangan bukanlah penghalang/penutup.
— Halangan yang ditemui dalam menjalani hidup bukanlah penghalang untuk terus maju dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.


꧋ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦲꦭꦺꦴꦤ꧀ꦮꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦼꦭꦏꦺꦴꦤ꧀꧉​

Alon-alon waton kelakon.
Pelan-pelan asalkan terlaksana.
— Tidak apa-apa melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, asalkan dilaksanakan dengan baik dan tuntas.


꧋ꦲꦩ꧀ꦧꦼꦒꦸꦒꦸꦏ꧀ꦔꦸꦛꦮꦠꦺꦴꦤ꧀꧉​

Ambeguguk ngutha waton.
Diam tak bergerak seperti benteng batu.
— Orang yang memiliki pendirian dan sikap yang tidak tergoyahkan sama sekali.


꧋ꦲꦗ​ꦒꦺꦴꦭꦺꦏ꧀ꦮꦃ꧈​​ꦩꦼꦁ​ꦏꦺꦴ​ꦢꦢꦶ​ꦲꦺꦴꦮꦃ꧉​

Aja golék wah, mengko dadi owah.
Jangan mencari wah, nanti jadi berubah.
— Jangan mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan pujian atau perhatian dari orang lain, nanti akan kehilangan diri dan pegangan.


꧋ꦲꦤ​ꦕꦠꦸꦂ​ꦩꦸꦁ​ꦏꦸꦂ꧉​

Ana catur mungkur.
Ada perbincangan, membelakangi.
— Menghindari pembicaraan atau desas-desus yang buruk, tidak ingin terlibat meggunjingkan keburukan orang lain.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦶꦤ꧈​​ꦲꦤ​ꦲꦸꦥ꧉​

Ana dina, ana upa.
Ada hari, ada nasi.
— Tidak perlu khawatir berlebihan dengan rezeki, karena setiap hari kita hidup dan bekerja pasti akan mendapatkan rezeki.


꧋ꦲꦤ​ꦢꦲꦸꦭꦠ꧀ꦠꦺ꧈ꦲꦺꦴꦫ​ꦲꦤ​ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦺ꧉​

Ana daulaté, ora ana begjané.
Ada berkatnya, tetapi tidak ada keberuntungannya.
— Seseorang yang memiliki berkat, kemampuan, dan pemberian untuk mendapatkan sesuatu, tetapi masih terhalang oleh keberuntungannya.


꧋ꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦩꦁ​ꦱ꧉​

Angon mangsa.
Menggembalakan musim.
— Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak atau memutuskan sesuatu.


꧋ꦲꦉꦥ꧀​ꦗꦩꦸꦂꦫꦺ​ꦲꦼꦩꦺꦴꦃ​ꦮꦠꦁ​ꦔꦺ꧉

Arep jamuré emoh watangé.
Mau jamurnya, tidak mau batangnya.
— Mau mendapatkan enaknya, tetapi tidak mau menanggung bagian yang tidak enaknya.


꧋ꦲꦱꦸ​ꦒꦼꦝꦺ​ꦩꦼꦤꦁ​​ꦏꦼꦫꦃꦲꦺ꧉​

Asu gedhé menang kerahé.
Anjing besar menang perkelahiannya.
— Mereka yang berpangkat tinggi, orang penting, para pembesar, dll. pasti lebih mudah menang dalam berpekara dengan orang yang lebih kecil atau masyarakat umum.


꧋ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦏꦼꦠꦶꦠꦶꦏ꧀ꦲꦭ​ꦏꦼꦠꦫ꧉​

Becik ketitik ala ketara.
Baik terlihat, buruk juga terlihat.
— Perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk sama-sama akan terlihat pada waktunya.


꧋ꦧꦤ꧀ꦝ​ꦠꦶꦠꦶꦥ꧀ꦥꦤ꧀​ꦚꦮ​ꦒꦝꦸꦃꦲꦤ꧀​ꦥꦁ​ꦏꦠ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦶꦂꦫꦤ꧀꧉​

Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran.
Harta titipan, nyawa pinjaman, pangkat gantungan/hiasan.
— Pencapaian duniawi tidaklah abadi, semuanya adalah pemberian dan titipan dari Yang Maha Kuasa.


꧋ꦧꦼꦫꦱ꧀ꦮꦸꦠꦃ​ꦲꦫꦁ​​ꦩꦸꦭꦶꦃ​ꦩꦫꦁ​​ꦠꦏꦼꦂꦫꦺ꧉​

Beras wutah arang mulih marang takeré.
Beras tumpah jarang kembali ke takarannya.
— Sesuatu yang sudah berubah atau rusak akan sulit kembali ke wujud atau hitungannya yang semula.


꧋ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦕꦶꦚ꧀ꦕꦶꦁ​​ꦩꦼꦏ꧀ꦱ​ꦏ꧀ꦭꦼꦧꦸꦱ꧀꧉​

Cincing-cincing meksa klebus.
Menggulung-gulung (celana), tetap saja basah kuyup.
— Maksud hati ingin berhemat atau hidup irit, tetapi justru malah semakin banyak pengeluaran.


꧋ꦝꦪꦸꦁ​​ꦲꦺꦴꦭꦺꦃ​ꦏꦼꦝꦸꦁ​꧉​

Dhayung olèh kedhung.
Dayung memperoleh telaga.
— Seseorang yang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan pengalamannya.


꧋ꦒꦺꦴꦁ​​ꦭꦸꦩꦏꦸ​ꦠꦶꦤꦧꦸꦃ꧉​

Gong lumaku tinabuh.
Gong berjalan ditabuh.
— Seseorang yang pandai yang banyak dimintai saran di mana-mana ia berada. Arti lainnya, orang yang berbicara atau menceritakan berbagai hal tanpa diminta.


꧋ꦗꦠꦶ​ꦏꦠ꧀ꦭꦸꦱꦸꦥ꧀ꦥꦤ꧀ꦭꦸꦪꦸꦁ​꧉​

Jati katlusupan luyung.
Kayu jati terkena serpihan kayu aren.
— Seseorang yang semulanya baik mendapatkan pengaruh buruk dari orang jahat.


꧋ꦏꦱꦤ꧀ꦝꦸꦁ​​ꦲꦶꦁ​​ꦫꦠ꧈​​ꦏꦧꦼꦤ꧀ꦠꦸꦱ꧀ꦲꦶꦁ​​ꦲꦮꦁ​​ꦲꦮꦁ​꧉​

Kasandhung ing rata, kabentus ing awang-awang.
Tersandung di permukaan rata, terbentur di langit.
— Mendapatkan rintangan atau cobaan di tempat yang sebenarnya baik dan aman.


꧋ꦩꦼꦕꦺꦭ꧀ꦩꦤꦸꦏ꧀ꦩꦶꦧꦼꦂ꧉​

Mecèl manuk miber.
Memotong burung yang terbang.
— Seseorang yang serba-bisa atau memiliki kemampuan yang luar biasa.


꧋ꦱꦢꦮ​ꦢꦮꦤꦺ​ꦭꦸꦫꦸꦁ​​ꦲꦶꦱꦶꦃ​ꦭꦸꦮꦶꦃ​ꦢꦮ​ꦒꦸꦫꦸꦁ​꧉​

Sadawa-dawané lurung isih luwih dawa gurung.
Sepanjang-panjangnya lorong, masih lebih panjang tenggorokan.
— Berita atau pembicaraan yang dituturkan oleh orang-orang pasti akan menyebar jauh.


꧋ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦱꦼꦩ꧀ꦧꦸꦂ​ꦲꦢꦱ꧀​ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦱꦶꦫꦩ꧀ꦧꦪꦼꦩ꧀꧉​

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem.
Menyembur-nyembur adas, menyiram-nyiram bayam.
— Harapan seseorang yang terkabulkan karena berkat dan doa dari banyak orang yang mendukung dan menyayanginya.


꧋ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦸꦩꦸꦤ꧀​ꦱ꧀ꦭꦩꦼꦠ꧀꧉​

Sluman-slumun slamet.
Sembarangan tetapi selamat.
— Bersikap sembarangan, ugal-ugalan, tidak berhati-hati, tetapi tetap mendapatkan keselamatan.


꧋ꦮꦱ꧀ꦠꦿ​ꦧꦼꦝꦃ​ꦏꦪꦸ​ꦥꦺꦴꦏꦃ꧉

Wastra bedhah kayu pokah.
Kain robek kayu patah.
— Seseorang yang mengalami keburukan karena tingkah lakunya sendiri.

Rabu, 30 Maret 2022

Lima Rumpun Aksara Nusantara


Aksara Latin adalah aksara utama di seluruh kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Filipina, telah beralih dari aksara lokal ke aksara Latin pada zaman penjajahan bangsa Eropa. Hal itu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan saudari-saudari mereka di kawasan Asia Tenggara Daratan. Mulai dari Myanmar hingga Thailand (kecuali Vietnam) berhasil tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan aksara leluhur hingga sintas ke zaman modern. Walaupun demikian, fakta ini janganlah membuat kita lupa tentang keberadaan aksara-aksara asli yang pernah atau masih bertahan di kawasan Asia Tenggara Kepulauan, khususnya di Indonesia dan Filipina.

Aksara-aksara asli di kawasan Asia Tenggara Kepulauan ini dapat dikelompokkan menjadi sejumlah keluarga atau rumpun berdasarkan kemiripan dan kedekatan sejarah. Secara kolektif, aksara-aksara ini sering disebut sebagai “Aksara Nusantara” oleh orang Indonesia yang keseluruhannya diturunkan dari aksara pendahulunya, yakni aksara Kawi. Uli Kozok dalam buku Warisan leluhur: sastra lama dan aksara Batak membagi aksara-aksara Nusantara tersebut menjadi lima rumpun, yakni rumpun Carakan, rumpun Kaganga, rumpun Batak, rumpun Lontara, dan rumpun Filipina.

Rumpun Carakan
Rumpun aksara Carakan—juga dikenal dengan nama Hanacaraka—digunakan untuk menulis sejumlah bahasa di bagian selatan Indonesia, khususnya di wilayah sekitaran pulau Jawa dan pulau Bali. Hanacaraka diambil dari deret lima huruf pertama dalam aksara ini, yang secara harfiah bermakna ana caraka alias “ada utusan.”

Saat ini terdapat dua bentuk baku dari rumpun aksara Carakan, yaitu aksara Jawa dan aksara Bali. Keduanya telah terdaftar dalam Unicode. Aksara Jawa digunakan untuk menulis bahasa Jawa (sebagai aksara Jawa), bahasa Madura (sebagai Carakan Madhurâ), bahasa Cirebon (sebagai Carakan Cirebon), dan bahasa Sunda (sebagai Cacarakan Sunda). Untuk bahasa Sunda, penggunaan Cacarakan Sunda sudah jarang dijumpai karena aksara Sunda Baku sudah digunakan secara meluas dan menggantikannya. Selain bahasa-bahasa itu, bahasa Tengger dan bahasa Osing juga bisa ditulis menggunakan aksara Jawa. Sementara, aksara Bali umum digunakan untuk bahasa Bali dan bahasa Sasak di Lombok. Orang Sasak menyebut aksara ini sebagai aksara Jejawan Sasak, walaupun secara bentuk lebih mirip dengan aksara Bali saat ini.

Rumpun Kaganga
Rumpun aksara Kaganga digunakan secara meluas di bagian selatan Pulau Sumatra, yakni dalam wilayah provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Kaganga diambil dari deret tiga huruf pertama dalam aksara-aksara Kaganga. Aksara dalam rumpun ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, sehingga dari satu daerah ke daerah lain mungkin memiliki sedikit perbedaan rupa huruf dan gaya penulisan. Meskipun demikian, garis besar rancangan aksara ini masih bisa terlihat di kesemua ragamnya.

Tiga aksara yang paling umum dikenal dari rumpun aksara Kaganga adalah aksara Lampung, aksara Rejang, dan aksara Incung. Aksara Lampung digunakan untuk menuliskan bahasa Lampung yang dituturkan di provinsi Lampung. Sementara itu, aksara Rejang digunakan untuk menuliskan bahasa Rejang yang dituturkan di sebagian wilayah Bengkulu dan Sumatra Selatan. Aksara Incung digunakan untuk menuliskan bahasa Kerinci dan bahasa Melayu yang dituturkan di provinsi Jambi. Sebagian dari naskah Melayu tertua yang dikenal dengan nama Naskah Tanjung Tanah juga mengandung aksara Incung. Di luar ketiganya, terdapat banyak ragam aksara lainnya yang memiliki sedikit perbedaan dan dikenal dengan namanya sendiri, seperti aksara Ogan, aksara Komering, aksara Besemah, dan lain-lain. Upaya menyeragamkan dan membakukan aneka ragam aksara dalam rumpun Kaganga ini mungkin saja bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan dengan aksara Batak. Sejauh ini, dari keseluruhan ragam tersebut, hanya aksara Rejang yang telah terdaftar dalam Unicode, sehingga ragam aksara Rejang menjadi lebih dikenal di mayantara.

Rumpun Batak
Rumpun aksara Batak sejatinya memiliki lima ragam aksara, yakni aksara Toba, aksara Angkola-Mandailing, aksara Simalungun, aksara Pakpak-Dairi, dan aksara Karo. Akan tetapi, kelimanya kini telah dibakukan menjadi satu dan berhasil didaftarkan ke Unicode di bawah satu nama persatuan, yaitu “aksara Batak”. Walau didaftarkan dalam satu payung, keunikan masing-masing aksara (misalnya variasi bentuk) tetap dipertahankan. Upaya penyeragaman ini barangkali memiliki peluang yang lebih besar daripada rumpun Kaganga karena gaya penulisan atau tipografinya cukup seragam.

Aksara-aksara Batak digunakan untuk menuliskan seluruh rumpun bahasa Batak, kecuali bahasa Alas. Orang-orang Alas kemungkinan telah lama memeluk agama Islam dan menggantikan aksara Batak dengan aksara Arab Melayu. 

Rumpun Lontara
Rumpun aksara Lontara terbentang dari daerah Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Nusa Tenggara. Namanya diambil dari media tulis daun lontar yang juga biasa dijumpai di pulau Jawa atau Bali untuk menuliskan tuturan sejarah, agama, atau karangan lainnya. Rumpun aksara ini memiliki dua ragam utama, yakni aksara Makassar (disebut juga dengan Jangang-jangang) dan aksara Bugis. Akan tetapi, aksara Makassar telah lama ditinggalkan sejak abad ke-19 bahkan oleh orang-orang Makassar sendiri. Mereka kemudian ikut menggunakan aksara Bugis untuk menuliskan naskah-naskah berbahasa Makassar. Saat ini, aksara Makassar lebih lazim disebut aksara Makassar Kuno untuk membedakannya dengan aksara Bugis yang dianggap lebih baru. Aksara Lontara lantas bersinonim dengan aksara Bugis yang digunakan meluas di Sulawesi Selatan untuk menuliskan bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa Mandar.

Aksara Lontara juga diperkenalkan hingga ke luar daerah Sulawesi Selatan. Kemungkinan pengetahuan tentang aksara ini terbawa oleh para saudagar di pelabuhan-pelabuhan Nusa Tenggara. Hubungan ini menghasilkan tertularnya budaya tulis-menulis ke pulau Sumbawa dan Flores. Ragam turunan dari aksara Lontara di Sumbawa terbagi menjadi dua, yaitu aksara Satera Jontal yang lebih bersudut untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan aksara Mbojo yang lebih membulat untuk menuliskan bahasa Bima/Mbojo. Di pulau Flores, aksara Lontara menurunkan aksara Lota yang digunakan untuk menuliskan dua bahasa yang berhubungan erat, yaitu bahasa Ende dan bahasa Li’o. Tiga ragam Lontara di Nusa Tenggara ini pada umumnya mempertahankan rancangan khas masing-masing sekalipun dapat dikatakan masih satu kesatuan dengan aksara Lontara Sulawesi Selatan. 

Rumpun Filipina
Sesuai namanya, rumpun aksara Filipina dapat ditemukan di Kepulauan Filipina. Ada kalanya, nama Baybayin atau Suyat digunakan sebagai istilah yang lebih lokal untuk memayungi seluruh aksara-aksara dalam rumpun ini. Sebagai catatan, Baybayin mungkin dapat dianggap tidak seinklusif nama Suyat (bandingkan dengan istilah ‘surat’ dalam bahasa Indonesia) karena terlalu condong pada kebudayaan tertentu. Sedangkan Suyat lebih sering digunakan untuk menyebut seluruh aksara historis non-Latin di Filipina, termasuk ke dalamnya aksara berbasis abjad Arab.

Anggota aksara dalam rumpun ini antara lain aksara Baybayin, aksara Kulitan, aksara Haninu'o, aksara Buhid, dan aksara Tagbanwa. Aksara Baybayin seringkali digunakan sebagai istilah yang melingkupi beberapa aksara yang dianggap berasal dari satu sumber yang sama, yakni aksara Kurditan, Basahan, Badlit, dan yang paling dikenal yaitu aksara Baybayin Tagalog. Aksara Baybayin Tagalog adalah ragam paling dikenal dan paling sering terlihat karena digadang-gadang pemerintahannya sebagai aksara nasional. Kesemuanya ini dipercaya diturunkan dari aksara Kawi sebagaimana empat rumpun aksara lain yang ditemukan di Indonesia. Bukti-bukti penggunaan aksara Kawi pada masa lampau di Kepulauan Filipina dapat dilihat pada prasasti Lempengan Tembaga Laguna dan stempel gading Butuan.

Rumpun aksara Filipina ragam Baybayin disebut pernah digunakan di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Bolaang Mongondow. Meskipun benar bahasa Bolaang Mongondow merupakan rumpun bahasa Filipina, tetapi belum pernah ada bukti naskah atau bukti bendawi lainnya yang dapat mengonfirmasi penggunaan aksara Baybayin di wilayah penutur Bolaang Mongondow.

Jumat, 11 Februari 2022

Belajar Aksara Mbojo

Di bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, terdapat salah satu suku yang bahasanya memiliki aksara tersendiri. Suku tersebut adalah suku Bima, atau orang setempat lebih mengenalnya dengan istilah Dou Mbojo. Suku Mbojo utamanya menduduki daerah Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Nama “Bima” sendiri sebenarnya adalah sebutan yang disematkan oleh orang luar kawasan Mbojo untuk penduduk di daerah tersebut. Sebutan ini kemudian menjadi lebih terkenal dan digunakan hingga saat ini.

Aksara Mbojo bisa dibilang adalah aksara yang tengah dilestarikan kembali, setelah sempat terlupakan oleh masyarakat Mbojo selama beberapa abad. Aksara Mbojo utamanya digunakan untuk menulis bahasa Bima atau Nggahi Mbojo sekiranya sejak abad ke-14. Aksara ini merupakan penyesuaian dari aksara Lontara yang diperkenalkan oleh orang-orang dari Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Bima mulai memeluk Islam dan berubah menjadi kesultanan, penggunaan aksara Mbojo diganti menjadi aksara Arab-Melayu, yang puncaknya terjadi pada pertengahan abad ke-17. Semenjak itu, naskah-naskah berbahasa Melayu juga mulai menggeser penggunaan bahasa Mbojo sebagai bahasa pernaskahan kesultanan (Prasetya, 2022:112).

Berkenalan Kembali dengan Aksara Mbojo
Aksara Mbojo adalah aksara berjenis abugida, yakni aksara yang menuliskan bunyi bahasa berdasarkan suku kata. Setiap suku katanya terdiri dari satu aksara dasar yang umumnya membawa huruf mati dan aksara sandang yang umumnya membawa huruf hidup. Oleh karena itu, aksara Mbojo pada dasarnya bekerja dengan cara yang sama dengan aksara-aksara tradisional lainnya di Indonesia, seperti aksara Batak, Bali, Jawa, dan khususnya aksara Lontara Bugis. Kesemuanya itu ditulis dari kiri ke kanan dan secara tradisional tidak mengenal tanda spasi.

Aksara Mbojo tidak mengenal huruf ki /q/, ve /v/, eks /x/, dan zet /z/. Jika suatu kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya memiliki huruf ki, maka aksara yang akan digunakan adalah huruf ka /k/; sedangkan jika terdapat huruf zet, maka akan diubah menjadi huruf je /j/.

Aksara Dasar
Beberapa aksara dasar dapat dibaca dengan dua ragam pembacaan, yakni /ba/ dan /mba/, /da/ dan /nda/, /ga/ dan /ngga/. Sebagai contoh, Nggahi Mbojo (berarti ‘bahasa Bima’) ditulis dengan ga-hi bo-jo. Oleh sebab itu, seseorang harus memahami bahasa Mbojo terlebih dahulu untuk dapat mengucapkan secara tepat tiap aksara sesuai konteksnya.

Untuk menuliskan bunyi /i/, /u/, /e/, dan /o/, dapat menggunakan huruf /a/ dengan tambahan aksara sandang yang sesuai bunyi masing-masing.

Aksara Sandang
Aksara sandang adalah lambang-lambang khusus yang ditambahkan pada aksara dasar untuk menambahkan atau mengubah bunyi. Semua aksara dasar secara otomatis telah mengandung bunyi /a/ jika tidak ditambahkan lambang sandang tertentu.

Lambang lingkaran di atas atau di bawah berfungsi untuk mematikan huruf hidup, sehingga huruf /ka/ dengan lingkaran di atas menjadi huruf /k/ saja. Sementara itu, lambang mirip burung yang diletakkan di bawah aksara berfungsi untuk menggandakan konsonan. Sebagai contoh, kata tawakkal  ditulis dengan penggandaan pada huruf /ka/ dan pemati pada huruf /la/.

Lambang adalah lambang ulang yang berfungsi untuk mengulang suku kata atau keseluruhan kata sebelumnya. Lambang ini kemungkinan berasal dari lambang serupa dalam aksara Jawa pangrangkep yang berasal dari angka dua dalam aksara Arab /٢/. Contoh penggunaan mengulang keseluruhan kata, ulama-ulama ditulis . Contoh penggunaan mengulang suku kata (tanpa membawa aksara sandang), rora  atau bebe .

Tanda Baca
Aksara Mbojo mengenal setidaknya empat tanda baca. Titik dua dan titik tiga berfungsi kurang lebihnya seperti koma atau titik pada aksara Latin yang memisahkan antara satu kalimat/frasa dengan kalimat/frasa yang lain. Sementara itu, titik dua garis berfungsi sebagai pengakhir kalimat. Pendapat lain menyatakan bahwa titik dua garis berfungsi untuk menandai akhir alinea (kumpulan kalimat). Tanda akhir bagian yang berbentuk seperti ketupat berfungsi untuk menandai akhir dari bagian tulisan atau akhir dari keseluruhan tulisan.


Berikut beberapa contoh penggunaan aksara Mbojo untuk menjelaskan nama-nama peralatan dapur dalam bahasa Mbojo berserta artinya dalam bahasa Indonesia.

 
Aksara Mbojo Hari ini
Saat ini aksara Mbojo mulai dihidupkan kembali melalui beragam program, baik oleh pemerintah maupun kegiatan swadaya masyarakat, mulai dari diterbitkannya buku mengenai warisan aksara Mbojo, bimbingan teknis aksara Mbojo di kalangan pemerintahan dan tenaga pendidikan, perlombaan menulis dalam aksara Mbojo, penulisan aksara Mbojo (diserta aksara Arab-Melayu) di plang-plang jalan di Kota Bima, serta juga rencana untuk memasukkan aksara Mbojo dalam kurikulum lokal di sekolah.

Kiri: Plang tiga aksara di Kota Bima, menampilkan aksara Latin di paling atas, aksara Jawi-Melayu di tengah dan aksara Mbojo di paling bawah [sumber Facebook Tanao Aksara Mbojo Bima]. Kanan: Aksi vandalisme orang tidak bertanggung jawab mencoret bagian aksara Mbojo pada 2022 [sumber Facebook Dewi Ratna Muchlisa].

Meskipun demikian, tidak semua kalangan menyukai gerakan pelestarian ini. Sebagian kalangan mempunyai sentimen negarif terhadap gerakan penghidupan kembali aksara Mbojo ini; bahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja mencoret aksara Mbojo pada sejumlah plang-plang jalan yang sudah terpasang. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi segenap masyarakat Mbojo agar dapat menghargai warisan budaya dengan lebih adil.

Catatan Kaki
Prasetya, Sukma Pedana, dkk. 2022. Geografi Kesejarahan Indonesia. Lakeisha.
Abubakar, Syukri. Aksara Bima Usaha Menemukenali dan Mengembangkannya.