Senin, 21 November 2016

Mengenal Tegal Melalui Huruf

Ilham dalam berkarya bisa datang dari mana saja, mulai dari yang paling jauh hingga yang paling dekat dengan kehidupan kita. Hariyanto, salah seorang pengusaha percetakan dan grafikawan asal Adiwerna, Tegal, Jawa Tengah, tergerak untuk menciptakan rupa-rupa fontasi dengan mengambil ilham dari kampung halaman tercinta.

Nama Kabupaten Tegal mungkin termasyhur karena dua hal, yakni wartegnya [warung Tegal] yang menyediakan makanan-makanan berat mengenyangkan dengan harga nisbi terjangkau dan juga bahasa Banyumasannya atau bahasa Ngapak, yang dituturkan dalam logat yang sangat kental dan khas. Akan tetapi, itu bahkan tidak merangkum sedikit dari gagasan tentang apa sesungguhnya Tegal. Oleh karenanya, Hariyanto tergugah untuk memperkenalkan Tegal kepada khalayak, supaya kita semua tahu bahwa Tegal bukan melulu tentang warteg dan ngapak.

Langkah yang diambil Hariyanto tergolong istimewa. Ia menciptakan pelbagai desain huruf dengan mengambil ilham dari bab-bab sederhana yang bisa ditemukan sehari-hari di Kabupaten Tegal. Desain huruf perdananya bernama Huaci. Fontasi pampangan ini terilhami dari salah satu penganan khas Kabupaten Tegal, yakni tahu aci. Bentuk tahu aci berlaku sebagai pengganti kait-kait pada ujung-ujung huruf yang dirancangnya.

Tahapan perancangan desain huruf Huaci, dari penghayatan bentuk, reng-rengan di atas kertas hingga fontasi.
Karya keduanya bernama Gili Tugel. Dalam bahasa Jawa Tegal, Gili berarti pertigaan dan Tugel berarti terputus. Pertigaan ini adalah salah satu pertigaan penting di Kabupaten Tegal. Konon, pada masa silam, di sanalah tempat pertarungan sengit antara Adipati Martalaya [Kadipaten Tegal] dan Adipati Martapura [Kadipaten Jepara] karena bertelingkah paham tentang kebijakan upeti kerajaan Mataram. Baca kisah lengkapnya di sini. Hariyanto merancang desain huruf Gili Tugel dengan mengganti sekujur tubuh huruf menjadi bentuk badan jalan; dengan pengandaian tiap pertemuan antarbatang huruf sebagai sebuah pertigaan, lengkap dengan markanya.


Selanjutnya ada fontasi Pagi-pagi. Fontasi ini terilhami oleh bentuk muka bangunan Pasar Pagi Tegal yang menyerupai bidak catur. Bangunan Pasar Pagi Tegal ini merupakan bangunan bersejarah. Bangunan ini dahulunya adalah benteng Kaloran bekas kerajaan Mataram pada zaman penjajahan kompeni. Akan tetapi, bangunan ini kini sudah mengalami banyak perombakan yang menjadikannya tidak lagi tampak seperti bentuk semula.

Fontasi Pagi-pagi, yang terilhami dari arsitektur muka bangunan Pasar Pagi Tegal
Masih mengambil ilham dari sejenis bangunan, Hariyanto berhasil mengubah dengan uletnya tugu Poci menjadi sebentuk desain huruf yang apik. Tugu Poci adalah tetenger yang akan Anda lihat ketika memasuki kota Slawi, tepatnya di depan Masjid Agung Slawi dan di depan monumen Gerakan Banteng Nasional. Tetenger yang majelis ini dibangun dengan penajaan dari pabrik teh dengan nama yang sama. Tugu Poci yang kentara dan terpampang jelas di pinggir jalan ini membuat siapa pun yang bertamu ke Slawi seakan-akan disambut keramahan suguhan teh hangat yang bersahabat. Kabarnya, dahulu kala pernah ada perseteruan yang kemudian menemukan islah berkat duduk bareng berbincang dari hati ke hati sambil meminum teh dari sebuah poci. Tak ayal, rasam minum teh dengan poci terasa sangat bermakna bagi masyarakat Slawi. Karya Hariyanto yang terinspirasi tugu Poci ini diberi nama Slawi Ayu.


Beberapa fontasi lainnya ciptaan Hariyanto, di antaranya adalah Rejeka [bergaya tulisan tangan], Soto Tegal [terilhami oleh soto khas Tegal], dan Batigal [batik Tegal]. Segenap fontasi karya Hariyanto ini diterbitkan di bawah nama FonTegal [sebelumnya Tegal True Font] dan bisa dilihat selengkapnya melalui halaman Facebook ini. Dengan karya-karyanya, Hariyanto berencana menuliskan sebuah karangan buku dan memperkenalkan Tegal melalui wahana desain huruf, di samping juga memberikan sumbangsih terhadap khazanah perfontasian di Indonesia.

Catatan:
Semua gambar diperoleh dari halaman Facebook FonTegal

Selasa, 25 Oktober 2016

Yang Istimewa dari Lambang Kementerian Pekerjaan Umum

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia barangkali tidak memiliki lambang yang cukup necis, yang membuat para perancang grafis masakini bersorak wah! Padahal, kalau diamat-amati kementerian yang satu ini sesungguhnya mempunyai lambang yang istimewa, tetapi kita terlalu sering melewatkannyasecara harfiah. Lambang Kementerian Pekerjaan Umum atau yang sering disingkat PU ini dapat dengan mudah kita jumpai entah tercetak pada jembatan atau tapal kilometer di kanan-kiri jalan di sekujur Indonesia.


Departemenatau Kementerian PU [nama-nama lembaga Indonesia sering berganti dan memuskilkan; mari kita sebut Kementerian untuk selanjutnya walaupun pada waktu itu disebut departemen] tergolong sebagai pioner pada masanya. Kementerian yang sudah disemai sejak zaman penjajahan Belanda ini adalah kementerian pertama di Republik Indonesia yang memiliki lambang khusus untuk mewakili nama dan citra lembaganya. Pada bulan Agustus 1966, Kementerian Pekerjaan Umum mengadakan sayembara perancangan lambang PU yang pertama. Akan tetapi, panitia tidak mengambil dan menetapkan lambang dari para pemenang sayembara yang pertama. Panitia tersebut lantas mengadakan sayembara untuk kali kedua pada bulan September di tahun yang sama. Pada sayambara yang kedua itu, panitia akhirnya mendapatkan pemenang yang diharapkan. Karya Achmad Dzulfikar terpilih menjadi lambang Kementerian Pekerjaan Umum setelah penyesuaian-penyesuaian yang diminta. Hal ini dimantapkan dalam Kepmen PU No 150/A/KPTS/10 November 1966.



Gagasan utama dari rancangan lambang kementerian ini adalah sebentuk baling-baling. Baling-baling yang berwarna biru tua ini menandakan keadilan sosial, keteguhan hati, kesetiaan pada tugas dan ketegasan dalam bertindak. Sedangkan latar belakang kuning kunyit menandakan keagungan yang juga mengandung arti ke-Tuhanan yang Maha Esa, kedewasaan dan kemakmuran. Namun tunggu dulu, mengapa baling-baling memiliki daun-daun yang berlain-lainan ukuran? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan pokok-pokok aerodinamika? Inilah keistimewaannya.

Lambang yang diciptakan Achmad Dzulfikar hampir tepat lima dasawarsa silam ini menerapkan teori Gestalt pada rancangannya. Dibalik keberhasilannya menciptakan lambang yang sederhana tetapi mengena ini, menyelinap rangkaian huruf P.U [huruf P besar, tanda titik, dan huruf U besar] yang terbentuk dari perbedaan terang-gelap antara bidang baling-baling dan latarnya. Hal ini membuat lambang Kementerian Pekerjaan Umum sangat patut dibahas. Ini semacam cangkokan nan elok dari dua jenis lambang sekaligus: lambang-tulisan [logotipe] dan lambang-gambar [logomark] yang dirangkai menggunakan penerapan teori Gestalt. Dan rasa-rasanya hanya perancang ulung yang mampu menguasainya, terlebih pada masa-masa itu keilmuan dan pencaharian di bidang desain grafis baru dalam tahap ancang-ancang.

Meskipun bukan sarjana desain grafis, Achmad Dzulfikar yang seorang insinyur ini telah membuktikan sesuatu dalam sejarah pembikinan lambang di Indonesia. Daya ciptanya tidak dipertanyakan. Maka benar saja pada 2014 lalu, mantan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menganugrahkan penghargaan kepada Achmad Dzulfikar yang dianggap telah berjasa menciptakan lambang Kementerian PU. Lambang ini mungkin bukan lambang yang mentereng, tetapi dijamin bisa terus berlagak sepanjang masa tanpa bergaya kedaluwarsa.

Achmad Dzulfikar menerima penghargaan dari Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto

foto diambil dari http://pu.go.id

Sabtu, 22 Oktober 2016

Menikmati Kedwiaksaraan di Korea Selatan

Penduduk Korea Raya, Utara maupun Selatan, sudah sepantasnya berbangga dengan aksara Hangul. Setiap tahunnya, kedua negera Korea itu merayakan hari aksara Hangul. Korea Utara memperingatinya pada tanggal 15 Januari dan Korea Selatan merayakannya pada tanggal 9 Oktober. Aksara yang digadang-gadang sebagai yang paling baik dan paling canggih di seluruh dunia ini memiliki rekam sejarah yang jelas, dalam arti bukan kisah legenda seperti awal mula Hanacaraka atau alfabet Yunani. Sekitar abad ke-15, Raja Sejong dari dinasti Joseon merancang aksara sendiri yang jauh lebih sangkil dan mangkus daripada aksara Cina yang dianggap sulit dipelajari rakyat luas. Ia bersama satuan tugas yang ia bentuk kemudian mengerahkan daya cipta dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan aksara Hangul dengan sangat cermat.

Hangul terdiri dari sejumlah huruf mati dan huruf hidup yang dapat membentuk balok-balok suku kata. Dari pola huruf yang beberapa saja sudah dapat membentuk ribuan suku kata yang memungkinkan dan dibutuhkan dalam bahasa Korea. Hal ini sangat berhasil meningkatkan taraf melek aksara rakyat Korea kala itu, yang umumnya terkendala permasalahan begitu banyaknya huruf aksara Cina yang harus dihafal.

Keberhasilan itu membawa kemajuan bagi beradaban negeri Korea. Dari yang mulanya huruf buatan kerajaan, kemudian berhasil diterima masyarakat luas, kemudian lahir mesin cetak kayu dan logam, hingga saat ini aksara Korea berhasil mengikat masyarakatnya dalam satu kesatuan budaya. Tipografi Korea adalah salah satu tipografi non-Latin terpenting di dunia, bersama Arab, Sirilik, Yunani, Ibrani, Cina, sistem tulisan Jepang, aksara-aksara di India, dan Thai.

Di zaman yang saling terhubung secara cepat ini, atau yang Marshall McLuhan sebut sebagai Desa Global [Global Village], bangsa Barat sedikit demi sedikit berhasil membawa aksara Latin ke negeri Hangul melalui pertukaran perekonomian dan budaya. Hal ini terjadi utamanya di Korea Setalan, sebab Korea yang satunya sangatlah tertutup dan tidak memungkinkan perdagangan terjadi dengan saudagar-saudagar Barat. Dengan mudah sekali kita dapat menjumpai produk Sprite, Fanta, Pocari Sweat dan lain-lain. Istimewanya, mereka umumnya mempunyai dua logo, yakni logo asli dalam aksara Latin dan logo dalam aksara Hangul. Perusahaan-perusahaan luar negeri pun menaruh tabik kepada bangsa Korea ini dengan bersedia 'dikoreakan'. Kedua lambang tersebut, secara terampil, dirancang dengan kesan rupa yang sama. Hal ini menandakan bahwa perancang grafis berhasil mengalihrupakan lambang asli dari aksara Latin ke dalam aksara Hangul tanpa kehilangan kepribadian merek yang diinginkan.

Perlu diperhatikan bahwa kedwiaksaraan agak sedikit berbeda dengan kedwibahasaan. Hal-hal yang dwiaksara tidak selalu dwibahasa, begitu pula sebaliknya. Contoh-contoh dalam tulisan ini umumnya dwiaksara sebab yang diubah ke dalam Hangul hanyalah nama merek saja, tanpa menerjemahkan misalnya merek Minute Maid ke dalam makna bahasa Korea.

Selain produk dari luar negeri, beberapa produk dalam negeri Korea pun dirancang dwiaksara, yang barangkali untuk memudahkan kaum pendatang untuk membaca dan mengenali suatu produk; atau juga untuk memberikan kesan kebarat-baratan pada suatu citra merek. Apapun itu, inilah beberapa contoh kedwiaksaraan di Korea Selatan yang patut dikagumi karena keindahan dan keterampilan pengalihrupaannya.


Minuman soda Sprite ini yang mengilhami saya untuk menulis artikel ini. Lihat betapa terampilnya sang desainer mengolah logo Sprite dalam aksara Hangul. Jika diperhatikan tiap sisi ternyata sudah memiliki sandingan ragam dwiaksara di bawah logo utama, tetapi berukuran lebih kecil.

Minute Maid buah Maesil tidak akan dijumpai di Indonesia. Buah ini memang membingungkan pertama kalinya bagi saya, apakah ceri? apakah apel? Kemudian kawan Korea saya bilang, "Bukan. Ini Maesil. Maesil ya Maesil." Rasanya terbilang cukup unik. Awalnya saya dan teman Indonesia saya pun tidak suka. Akan tetapi karena melihat teman sekelas membawa minuman ini setiap paginya, saya coba sekali lagi dan ternyata boleh juga.

Oreo di Korea! Perhatikan fitur-fitur tipografi yang dipertahankan, utamanya pada huruf O Latin ke dalam huruf pada aksara Korea yang menandakan ketiadaan huruf mati. Juga pada potongan huruf yang dibikin sedikit membulat.



Minuman ini adalah minuman soda asli Korea yang menandingi Sprite dan 7UP. Kawan asal Singapura dan Brunai Darussalam tergila-gila dengan yang satu ini.

Produk buatan Otsuka ini terbilang cukup unik karena menggunakan nama Java alias Jawa. Java yang biasanya disangkut-pautkan dengan dunia kopi, di minuman TeJava ini malah disangkut-pautkan dengan minuman teh susu. Dengan warna tunggal coklat dan kata-kata pemanis "royal milk tea", seakan-akan ketika meminumnya kita bisa merasakan ketenteraman dari keraton Yogyakarta.


Orang Korea tidak punya huruf F atau V dalam bahasanya, sehingga kebanyakan dari mereka pun tidak mahir mengucapkan huruf tersebut. Bravo jika ditulis ke aksara Hangul menjadi BU-RA-BO. Begitu pula festival akan menjadi PE-SE-TI-BAL dan vanilla akan menjadi BA-NIL-LA. Nah, orang Sunda dan suku-suku lain di Indonesia seharusnya tidak perlu malu jika tidak bisa bicara F atau V, karena orang Korea pun melakukannya di depan umum berulang kali. Bukan karena mereka tidak bisa, akan tetapi karena semata-mata bunyi huruf tersebut tidak tersedia dalam bahasa mereka.



Beberapa contoh kedwiaksaraan dalam desain kemasan memiliki format desain yang berbeda. Seperti yang bisa dilihat pada contoh di atas, desain dengan aksara Latin dibuat tegak, sedangkan desain dengan aksara Hangul dibikin mendatar.







Tipografi pada muka kemasan Seagram ini terlihat sangat elok. Kita bisa mengamati kata Seagram dirancang dalam gaya huruf Jerman dan ciri khasnya tetap dipertahankan pada ragam logo yang beraksara Hangul.



Begitulah beberapa contoh yang saya lihat sejauh ini di Gwangju, Korea Selatan, secara berurutan berdasarkan waktu. Andai kata, Indonesia membikin aturan ketat agar aksara-aksara daerah bisa dan harus digunakan pada produk-produk yang beredar di suatu provinsi tertentu; alangkah luhur dan bermartabatnya kebudayaan kita semua.